21 | what happen; why Penelope calling?

3.6K 431 28
                                    

Julia tidak menghilang. Mereka pembohong. Kalau suatu hari nanti seseorang bertanya padaku apakah aku tahu di mana Julia berada, aku hanya akan menjawab seperti ini, "Dia di rumah."

Dan kalau seseorang itu bertanya balik, "Bohong. Bagaimana kau tahu?" Aku hanya tinggal memberikan pernyataan, "Aku bukan pembohong. Para Carpenter-lah yang pembohong."

"Hei, Jason!" Seth menepuk pundakku, membuatku sadar bahwa semenjak tadi ternyata Seth sudah berusaha memanggil namaku dari kejauhan sebelum akhirnya berdiri di samping mejaku. Tepatnya, tadi ia berada di depan meja counter kafetaria—tempat untuk memesan makanan.

"Ya?" tanyaku seraya mengusap wajah dengan telapak tangan, seolah hal itu bisa membuatku kembali normal dari pikiran-pikiran negatif tidak masuk akal. Kusapukan pandangan ke beberapa meja di sekitar kami, lalu kembali pada Seth.

"Kau mau spaghetti?"

"Ya," jawabku singkat, tidak peduli apakah Seth mau memesankan spaghetti yang lezat ataukah pancake basi yang menjijikkan. Aku tidak bisa fokus sejak tadi malam. Aku telah melihat Julia lagi dan gadis itu benar-benar nyata berada di rumah itu, seolah semua yang telah berlalu—perihal Julia yang tiba-tiba lenyap—benar-benar berlalu. Maksudku, Julia hilang atau Julia muncul lagi, tidak ada yang peduli sama sekali. Seolah keluarga mereka bukanlah sebuah masalah besar bagi para tetangga. Ah iya, aku baru ingat sekarang. Hanya aku dan Seth yang mengetahui bahwa—

"Jason!!!" Seth meneriaki wajahku. Refleks, tubuhku menghindar. Mulut Seth bau sekali. Aku benar-benar baru tahu sekarang ini bahwa aku mempunyai adik yang bau mulutnya seperti daging busuk. Pantas saja gadis-gadis tidak ada yang mau padanya.

"Kapan terakhir kali kau menyikat gigi?" tanyaku.

"Hah?!"

"Mulutmu bau."

"Benarkah?" Seth menghirup napasnya sendiri yang sudah ia hembuskan di telapak tangan. Anak itu melakukannya berulang kali, lalu menggerutu, "Tidak, napasku wangi. Oh, hei! Kau mau kupesankan minum apa?"

"Terserah."

Seth bergeming di tempatnya berdiri, sementara aku duduk terdiam seribu pikiran, bertopang dagu. Tiba-tiba aku bisa merasakan Seth menampar pipiku. Cukup keras sehingga membuatku mengaduh pelan. Aku hampir-hampir roboh ke samping akibatnya. Sialan Seth.

"Kenapa kau melakukannya?!" bentakku marah.

"Itu tadi tidak lebih sakit dari pukulan Nyonya Carpenter tadi malam. Kau lemah!" Seth memelotot, lalu mengacungkan telunjuk ke arahku, seperti layaknya Mom yang setiap Minggu pagi selalu naik darah ketika Seth sendiri kerjaannya hanya menonton televisi. "Berhenti melamun, atau kau bukan lagi kakakku. Berhenti memikirkan gadis itu. Dia bukan siapa-siapa."

"Bukan urusanmu."

"Ya, aku tahu," Seth menyergah. "Aku tahu, dia telah menjadi seseorang di hatimu."

Aku bergeming mendengarnya, seolah-olah aku baru saja mendengar kalimat paling menyedihkan yang pernah kudengar seumur hidupku. Seth berbalik, berjalan menuju counter lagi. Ah, kini anak itu benar-benar sudah memiliki rencana untuk memesan apa. Dan aku, aku masih mematung.

Aku bisa melihat Seth yang sedang berbincang dengan penjaga kafetaria di seberang sana, namun pikiranku tidak tertuju pada apakah Seth jadi memesankan spaghetti atau tidak, minuman bersoda atau air putih, aku sama sekali tidak berpikir ke arah situ.

Semuanya mengarah pada Julia. Aku tidak yakin apakah aku terlalu berlebihan serta norak jika selalu mengungkit-ungkit peristiwa tadi malam dalam pikiran. Rasanya kami telah dibohongi. Tidak, tunggu. Mengingat bahwa dari seluruh keluarga di perumahan Jalan Fess, satu-satunya orang yang peduli pada keluarga misterius itu sepertinya hanyalah aku saja. Tidak Seth, tidak Mom, apalagi Dad.

Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang