7 | the warming party

6.8K 776 35
                                    

Aku kembali membaca kartu invitasi housewarming keluarga Carpenter yang kini ada di tanganku. Sengaja kubawa hanya sekadar untuk berjaga-jaga semisal diminta harus menunjukkan kartu undangan jika ingin masuk—sebagaimana di kebanyakan acara-acara formal. Akan tetapi, acara ini tergolong acara tidak formal, jadi yah, untuk apa aku membawa kartu undangan itu sesungguhnya aku tidak yakin tahu.

Pada kartu tertera bahwa acara akan dimulai pukul delapan malam. Namun semenjak aku pertama kali masuk ke ruangan utama di rumah keluarga Carpenter, aku bahkan masih bisa menghitung berapa sedikitnya orang-orang di Jalan Fess yang hadir hingga detik ini. Kurang lebih hanya delapan orang dimana keempat diantaranya adalah aku, Mom, Dad dan Seth. Dua diantaranya yang kukenali adalah Tuan dan Nyonya Andrew yang tinggal tepat di depan rumahku, di sisi lain dari Jalan Fess.

Nahasnya, sekarang waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan dan tamu yang hadir hanya bertambah dua orang saja sehingga sekarang totalnya sepuluh orang yang hadir di acara ini. Ke manakah orang-orang di Jalan Fess? Apakah hanya karena malam ini adalah malam dimana reality show nomor satu se-Amerika sedang tayang, maka mereka lebih memprioritaskan acara menontonnya daripada menghadiri acara tetangga baru sekaligus mungkin keluarga baru mereka di Jalan Fess?

Tuan dan Nyonya Carpenter memasuki ruangan utama. Nyonya Carpenter kemudian mengambil mikrofon, dilanjutkan dengan membuka acara pada malam hari ini. Pasangan itu kemudian memperkenalkan diri mereka. Menurutku Nyonya Carpenter lumayan ramah dan baik; aku hanya menduga saja. Dan Tuan Carpenter, pria itu pandai membuat lelucon yang membuat seisi ruangan tergelak, tidak termasuk aku.

Aku pikir, di mana Julia? Kenapa tidak menampakkan diri dan kemudian... mengenalkan di—oops, astaga aku lupa; Julia mungkin malu akan kondisi dirinya. Tetapi apa salahnya hanya sekadar muncul dan berbaur seakan-akan komplek perumahan di Jalan Fess beserta orang-orangnya hidup tentram dan damai tanpa adanya perselisihan? Toh ini hanya untuk beberapa jam ke depan dan bisa jadi setelah acara ini selesai, Mom akan membuat berita-berita tidak benar tentang keluarga ini lagi. Apakah yang satu itu termasuk 'pembalasan' dari Mom?

Aku jadi teringat, keluarga kami dulu juga mengadakan acara seperti ini waktu pertama kali tinggal di Jalan Fess dan seperti yang terjadi sekarang ini, yang hadir hanyalah segelintir orang di sisi kanan-kiri rumah. Dan aku juga masih ingat bahwa Tuan dan Nyonya Andrew-lah yang pertama kali datang ke acara kami dan pulang yang terakhir kali.

Aku mengedarkan indera pengelihatanku ke seluruh isi ruangan, menelisik satu-persatu orang-orang yang hadir berbahagia, terlihat berbincang satu sama lain. Mom dan Dad mengobrol dengan Tuan dan Nyonya Andrew, sementara Seth, bocah itu sesekali mengikut di belakangku dan sesekali—apabila orang tidak sedang mengamatinya— Seth akan mengambil tiga kue sekaligus dan itu terus berulang selama kurang lebih tiga kali. Oh, omong-omong, umurku dan Seth hanya terpaut dua tahun. Umurku sekarang sudah menginjak tujuh belas dan tentu saja umur Seth lima belas.

Selepas Tuan dan Nyonya Carpenter memberi sambutan dan beberapa obrolan umum seputar 'keluarga', aku lekas menyusul Nyonya Carpenter yang berjalan menuju meja penjamuan. Pertama-tama kusapa dia, "Selamat malam Nyonya Carpenter."

Wanita yang kira-kira seumuran dengan Mom yang sedang mengambil salah satu minuman di meja  berpaling padaku dan balas menyapa, "Oh, halo... Selamat malam?"

"Jason. Jason MacMillan." Aku segera menjulurkan tanganku seraya menambahkan, "Tetangga sebelah rumah anda."

"Oh, ya. Tentu saja. sepertinya Julia pernah bilang padaku bahwa kau sempat mengantar kue waktu itu. Terima kasih banyak atas kuenya, Jason."

"Ah, tidak perlu berterima kasih pada pengantar kue. Berterima kasihlah pada pembuatnya, Mom-ku," aku menjeda pembicaraan basa-basiku sambil memandang Nyonya Carpenter yang mengangguk pelan. Lalu ketika aku teringat akan Julia, aku bertanya, "oh, ya. Omong-omong, di mana Julia, Nyonya Carpenter?"

Nyonya Carpenter menyunggingkan senyum tipisnya begitu mendengar aku bertanya soal Julia. Entah kenapa wanita itu justru membisikkan sesuatu di telingaku, "Mungkin dia di balkon. Gadis itu tidak suka keramaian, apalagi pada orang-orang yang belum dikenal."

Aku menyanggah tidak setuju, "Tapi Nyonya, bukankah tujuan acara ini adalah agar kita bisa saling mengenal satu sama lain?"

Ketika itu juga, suami Nyonya Carpenter rupanya memanggil istrinya dan Nyonya Carpenter mengatakan ia harus benar-benar ke sana sekarang—atau malah hanya menghindari pertanyaanku saja.

Aku bergerak ke tangga yang menuju ke lantai dua, barangkali aku bisa menemukan Julia tengah menangis di sudut lemari karena tidak diperbolehkan keluar oleh ibunya untuk bergabung bersama para tetangga di Jalan Fess.

Begitu aku menginjak lantai atas, pandanganku tertuju pada sebuah sudut ruangan yang berukuran sedang di sisi kiri tangga dengan kaca tembus pandang di setiap sisinya, menghadap ke luar, sisi Jalan Fess. Aku tidak mendapati Julia di ruangan berkaca itu, namun aku memutuskan untuk mendekati sisi kaca transparan; mengagumi dengan pemandangan di luar yang gelap alih-alih mencari keberadaan Julia.

Kusentuh permukaan kaca di hadapanku. Mungkin aku terlalu naif untuk hal-hal semacam ini; seolah-olah aku kembali menjadi seperti anak kecil. Di rumahku tidak ada kaca sebesar ini, so, wajar sajalah jika aku sangat memalukan. Sekadar iseng, kuhembuskan napasku pada permukaan kaca, sehingga menempellah uap air dari mulutku. Aku baru menulis namaku di sana, Jason, tetapi ketika baru sampai pada huruf a, terdengar seseorang berteriak. Yang kudengar adalah samar-samar tidak jelas. Lumayan keras namun terdengar putus asa—seperti raungan penuh siksa.

Teralihkan perhatian, aku berhenti menulis; meninggalkan kaca dengan tulisan 'Ja' di permukaannya; dan mendekati asal suara seseorang yang berteriak samar tadi. Aku rasa yang tadi adalah suara cewek, tetapi aku tidak begitu yakin.

Aku berjalan perlahan, kemudian berseru "Halo, ada orang di sana?" Ruangan lengang sejenak karena aku berhenti melangkahkan kaki. Bahkan suara degub jantungku sendiri saja bisa terdengar dan memenuhi otakku sendiri. Aku tidak takut terhadap sesuatu yang kasat mata—hei, apa itu namanya, huh? Hantu? Malahan hantu sendiri yang takut terhadapku. Aku justru terlalu takut untuk menghadapi pencuri di malam hari karena bisa saja dia akan menyerangmu dari belakang dan kemudian menyergapmu; membiusmu lalu merampas harta bendamu atau kalau perlu rumah juga diambil sekaligus. Apa mungkin itu.... Julia?

Aku berseru kembali, "Julia? Apakah itu kau?"

Dan akhirnya seseorang kembali berteriak—masih dengan suara mengigau tidak jelas penuh derita—dan aku pikir jelaslah seseorang di dalam salah satu kamar di lantai itu pasti meminta tolong. Dan sekarang akhirnya aku tahu bahwa dia adalah Julia.

Maka aku segera lebih mendekat ke arah pintu kamar di mana suara Julia berasal. "Julia, Julia kau tidak apa-apa?" tanyaku tergesa-gesa sembari mencoba membuka pintu. "B-bagaimana kau bisa terkunci di dalam?"

Astaga, aku lupa. Julia 'kan tidak bisa bicara. Hell, no. []

 []

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang