41 | page 3, 10 December

1.5K 275 19
                                    

10 Desember

Sejak hari itu hubunganku dengan ibuku semakin rumit. Ibuku seperti membuat jarak di antara kami dan aku tidak tahu apa sebabnya. Aku mengkhawatirkan keadaannya, yang semakin hari sikapnya berubah-ubah. Ketika ia bersedih, ia begitu sedih sampai-sampai tidak keluar kamar seharian. Ketika ia marah, ia bisa sampai benar-benar marah kepadaku. Aku pernah ditamparnya ketika kulakukan hal ceroboh.

Kurasa sejak hari di mana ia dikhianati cintanya oleh lelaki yang ia temui di taman—yang katanya mirip ayahku dulu—ibuku menjadi depresi, kurang lebih. Perbuatan lelaki itu, mengingatkan ibu pada ayah, enam bulan lalu....

Aku selalu menyayangi George Whitney, ayahku, melebihi aku menyayangi ibuku, meskipun ayahku menghabiskan separuh hari-harinya di kamar, dengan laptopnya, mengetik sesuatu yang tidak pernah selesai-selesai. Ia belum menyelesaikan buku lagi sejak dua tahun lalu, buku pertamanya terbit. Ibuku lama-kelamaan dongkol pada ayahku. Ayahku terlalu muluk-muluk dengan janji-janjinya sebagai penyair. Katanya, bukunya akan segera selesai. Katanya, ibuku tidak usah khawatir, ayahku pasti bisa menyelesaikannya. Namun kami butuh uang, untuk sekolahku dan Aimee yang akan masuk ke jenjang menengah pertama. Dan begitulah, hingga aku dan Aimee kelas 8 (di sekolah yang berbeda) pun, ayahku belum menghasilkan apa pun. Ibuku mulai masa bodoh dengan ayah, lama-kelamaan, mereka saling berjarak—aku tahu itu sejak ibuku mulai pindah kamar ke kamar tamu.

Sampai akhirnya, ayahku menjadi orang yang tidak kukenal. Ia bagai orang asing. Ayahku, berkhianat dari ibu, tidur dengan wanita lain.

Hidup seolah semudah itu ia jalani, mengambil jalan yang salah. Akhirnya ketika aku dan Aimee di kelas 9, mereka bercerai. Semudah itu. Awalnya memang (seperti yang kutulis di buku ini sebelumnya), aku kira ibuku tidak pernah memberikan kasih sayang dengan porsi berbeda kepada kami, namun pada hari-hari menjelang sidang perceraian, kurasa aku tahu yang sebenarnya.

Ibuku mulai menjauhiku, lalu mendekati Aimee, berbisik pada Aimee bahwa saat persidangan agar ia memilih bersama ibu, bukannya ayah. Lalu ayah? Dia sama sekali tidak peduli. Hari-hari menjelang sidang, ayahku tinggal di rumah kekasihnya. Dan aku, tidak ada yang benar-benar menginginkanku untuk tinggal dengan mereka karena ibuku jelas-jelas menginginkan Aimee. Ketika ibu menemani Aimee tidur, aku meringkuk di kamar sendirian. Aku tahu bahwa Aimee tidak tahu mengapa ibu lebih sering memperhatikannya daripada aku. Tetapi yang jelas, begitu sidang berlalu, hakim menyebutkan bahwa hak asuh atas Aimee jatuh ke tangan ayahku, bukan ibuku. Aku, tentu saja akan bersama ibuku.

Lalu beberapa hari setelahnya, sesudah Aimee diambil dan menyisakan aku dan ibu di rumah, aku tidak pernah diperhatikan. Ibuku selalu murung bahkan ketika kami berkunjung ke rumah kekasih ayah untuk menilik Aimee.

Ketika tiba liburan musim panas, aku dan ibu pergi ke Minnesota, sebuah kota kecil di Amerika yang cukup kami tempuh dengan pesawat dari Islandia. Sampai sekarang pun, aku tidak tahu alasan ibuku memilih Minnesota padahal jelas-jelas tidak ada yang menarik sama sekali di tempat ini.

Aku ingin ibuku senang, aku ingin ia tidak lagi bersedih menyesali takdir. Hari ini akan kucoba menjadi Aimee. Aku akan menjadi Aimee dengan caraku. Kusukai rasa taro meskipun itu memualkan, kucoba melukis meskipun jariku sangat kaku, juga, kucoba menoleh pada ibu ketika ia suatu pagi tahu-tahu memanggilku dengan nama, "Aimee." []

Gatel pengen cepet-cepet selesai tapi kok gatau kenapa gak selesai-selesai hiiihhh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gatel pengen cepet-cepet selesai tapi kok gatau kenapa gak selesai-selesai hiiihhh

Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang