14 | what the hell?

4.3K 508 39
                                    

Aku sedang berlari pagi di hari Minggu yang sejuk yang belum terlampau siang untuk hawa panas di liburan musim panas kali ini. Berlalu terlalu cepat tanpa adanya suatu kejadian yang berarti bagi hidupku yang juga tidak berarti ini, mungkin bisa kuhitung berapa hari lagi aku akan kembali masuk sekolah dan menempati tahun keempatku sebagai murid senior.

Pelantang telinga yang terhubung ke ponselku terpasang di kedua telingaku, memutarkan lagu-lagu akustik berinstrumen gitar klasik. Aku paling suka jika menikmati lagu-lagu santai ketika berolahraga. Itu tidak akan memaksaku berolahraga dengan tempo yang cepat. Tidak akan ada bawaan emosi yang meluap tidak seperti ketika aku mendengarkan musik rock yang malah membuatku mual.

Penelope Miller berseru memanggil namaku ketika aku baru saja melewati depan rumahnya. Aku tidak menoleh, masih melanjutkan lariku, tidak menghiraukan seorang Penelope yang kini tengah berlari-lari kecil menyusulku yang sudah lumayan jauh dari rumahnya. Karena aku tidak mau terjadi sesuatu gara-gara ulahnya, aku mencoba untuk memacu langkah lebih cepat, meskipun aku tahu hal itu akan sia-sia pada akhirnya.

Penelope telah sampai di sampingku, mensejajarkan langkahnya dengan langkahku. "Pagi, Jason." Aku bisa mendengarnya menyapaku, namun aku diam saja, menatap lurus ke depan. Biar saja, aku kan sedang menikmati musikku, kenapa aku harus menanggapinya?

"Jason," panggilnya. Aku masih diam.

"Jason," panggilan kedua, dan aku masih akan tetap membisu hingga dia mulai menyerah lalu pergi.

"Jason!" kali ini suaranya meninggi, marah. Tangannya tiba-tiba menarik pelantang telingaku dengan paksa, membuat benda itu kini berayun-ayun di bawahku. Bukannya mengomel pada Penelope karena ulahnya yang telah mengganggu kenyamanan Minggu pagiku, hal yang kulakukan malah memasang kembali kabel tersebut di lubang telingaku.

"Jason, apa-apaan?!" Sedetik kemudian Penelope melakukan hal yang sama lagi, melepaskan pelantang telingaku, tetapi kali ini agak berbeda karena ia juga menarik ponsel dari saku celanaku dengan paksa.

Kali ini aku menoleh, memandangi ponselku di tangannya. "Kembalikan," suruhku.

"Tidak akan."

"Kenapa?"

"Karena kau tidak mau mendengarkanku, maka aku juga tidak mau."

Aku mendengus lalu berkata, "Apakah itu perlu? M-maksudku, apakah mendengarkan ocehanmu itu di pagi yang sejuk ini sangat perlu untukku?"

"Tentu saja," katanya dengan nada angkuh.

"Kenapa?" Ini yang kedua kalinya aku bertanya kenapa.

Penelope melirikku—aku benci tatapan itu, tatapan menyelidik seolah aku telah melakukan sesuatu yang salah. Aku jadi merasa risih, apalagi jika mengingat cewek ini memberiku kado tempo hari lalu saat aku berulang tahun seolah-olah aku ini pacar sepihaknya.

"Harusnya aku-lah yang bertanya," katanya dengan angkuh lagi, seperti nada bicara seorang majikan yang memaksa pesuruhnya untuk melakukan sesuatu—dan aku adalah pesuruhnya. "Kenapa? Kenapa kau melakukannya seperti itu?" tanyanya.

Aku tidak mengerti apa maksud perkataannya, jadi aku hanya bisa mengernyit sambil bertanya balik, "Kau bicara apa? Bicaralah yang jelas!" sentakku, karena aku muak dengan omong kosong Penelope selama beberapa kali terakhir.

"Kenapa kau melakukan itu? Hal yang terjadi kemarin. Kau yang menuruni atap rumah Carpenter dan akhirnya aku sadar kau baru saja keluar dari kamar Julia."

Aku terheran, "Apa?!" kenapa dia bisa tahu? "A-aku tidak—"

"Tentu saja. Aku tahu itu. Kalian pasti melakukannya, kan?" Penelope mendengus dan memandangku dengan tampang meremehkan—seolah ia benar-benar tahu apa yang kulakukan di rumah Carpenter, padahal sebenarnya tidak. Penelope sama sekali tidak tahu.

Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang