36 | new neighbor, isn't it?

1.3K 232 12
                                    

Bodoh. Sebuah kebodohan konyol membawaku ke halaman samping bekas rumah milik keluarga Julia yang berumput hijau. Instingku mungkin sangat gila sampai-sampai aku sampai di sini, detik ini. Berdiri mendongak ke atas, ke arah jendela kamar Julia yang tertutup rapat, berharap kalau sewaktu-waktu jendelanya terbuka dan menampilkan wajah ceria Julia di pagi hari ini. Apa aku hilang ingatan? Tidak. Aku masih waras. Jelas aku mengingat bahwa Mom sendiri yang bilang bahwa keluarga Carpenter telah terbang ke Islandia beberapa hari yang lalu, mengarungi Samudera Atlantik dan sampai di negara itu. Sekarang rumah itu pasti telah kosong, tidak akan ada apa-apa kecuali jika Julia sengaja meninggalkan sesuatu—catatan atau pun sebuah kode rahasia tentang hidupnya.

Pagi tadi aku pulang dari rumah sakit pukul delapan dan langsung masuk kamar dengan Mom yang menggiringku. Mom juga melarangku pergi ke mana-mana sebelum esok hari ketika aku mulai kembali sekolah. Tapi aku melanggarnya. Jelas aku keluar tidak melewati pintu dan lewat jendela kamar, hingga akhirnya berujung di sini.

Aku masih mematung selama lima detik sebelum akhirnya kuputuskan memanjat atap. Tanganku rupanya cukup kuat untuk menopang tubuh mengingat aku baru saja mengalami kecelakaan parah. Sudah kubilang, kan? Aku baik-baik saja.

Aku mengangkat tubuh dengan kedua telapak tangan yang menggantung berpegangan pada atap sebelum akhirnya seluruh tubuhku benar-benar sudah terangkat. Kakiku berjalan pada genteng perlahan-lahan, menuju jendela kamar yang dulu ditempati Julia, tempat aku biasanya masuk melaluinya. Kini aku telah berdiri di depan jendela kaca transparan dimana aku masih tetap bisa mengintip ke dalam ruangan. Kosong, jelas saja tidak ada apa pun. Aku lalu mencoba membuka jendela dengan mencongkelnya menggunakan jemariku meskipun aku tahu, hal itu akan sia-sia karena jendela pasti dikunci dari dalam.

Namun, ini aneh. Jemariku berhasil membuka jendela dan menciptakan sedikit celah. Jendela itu kini terbuka. Namun seluruhnya ikutan diam begitu aku mematung di tempat, mengamati seluruh penjuru kamar Julia. Ya, benar-benar kosong. Lalu kemudian aku mempunyai harapan kecil. Ini bodoh, aku tahu. Tapi kuharap, Julia tiba-tiba muncul dari balik pintu itu.

Lima detik aku menunggu, masih di posisi luar ruangan. Ya, aku tahu. Memang tidak akan ada Julia di sana yang muncul. Bodoh sekali rasanya mengharapkan sesuatu yang sangat tidak masuk akal akan terjadi. Hanya saja, aku terlalu naif untuk menerima kenyataan bahwa Julia dan keluarganya telah pulang tanpa pamit denganku ke negara mereka. Ya, ya, ya, kuharap, dengan cepat aku bisa melakukan sebuah usaha untuk melupakan (meskipun rasanya aura Julia masih ada di sini).

Kakiku melangkah masuk melewati jendela dan mendaratkan keduanya. Segera setelahnya, jendela kututup untuk menghindari kalau-kalau seseorang melihat lalu mencurigainya—keberadaan maling atau keberadaanku. Aku melewati ranjang besar yang tertutup kain putih, lalu berhenti pada meja belajar Julia. Penutup kursinya kubuka untuk kududuki. Serta, kain pada meja belajar juga kusibakkan karena aku terlalu penasaran dengan apa yang dikerjakan gadis itu sepanjang tinggal di sini.

Hanya saja, semuanya telah benar-benar menghilang. Tidak ada barang-barang di atas meja belajar, semuanya lenyap. Julia membawanya, pasti. Dan kupikir adalah tindakan bodoh jika Julia dengan sengaja meninggalkan catatan—atau buku rahasianya—untukku. Ah, sialan. Itu bodoh, pasti.

Belum lima menit aku duduk di depan meja belajar, aku sudah tidak betah. Kuputuskan untuk beranjak pergi ke ruangan lain dan membuka pintu kamar. Di ruangan yang lainnya, hanya kutemukan penutup-penutup kain putih sama seperti yang kulihat sebelumnya. Tidak ada yang menarik, kurasa. Kuyakin isinya hanya perabot rumah tangga biasa dan itu terlalu berat untuk dibawa ke Islandia.

Aku menuruni tangga dengan buru-buru, menimbulkan suara berisik dug dug dug di kakiku karena terlalu cepat. Langkahku melambat ketika tiba-tiba aku mendengar sesuatu di telinga. Suara permukaan aluminium—atau stainless—yang beradu dengan sesuatu yang lain, menimbulkan suara pukulan aluminium yang bergema. Aku ragu apakah aku memang benar-benar mendengar sesuatu. Namun, suara itu terdengar jelas lagi ketika aku menuruni satu anak tangga lebih rendah.

Suara aluminium beradu dengan aluminium. Lalu selama lima detik, suara itu berhenti, bergantian dengan suara yang lain dengan tempo yang cepat. Seperti tumbukan kayu—atau persis seperti ketika Mom sedang mengiris acar dengan pisau di atas talenan kayu. Aku menunggu, menerka-nerka dari mana asalnya suara itu, dan oh, kupikir dari dapur, mungkin. Apakah, orang baru sudah pindah ke sini? Secepat itu? Ya, ya, ya, mungkin saja....

Lalu suara itu berhenti, bergantian dengan suara penggorengan yang berbunyi berisik, persis seperti ketika Mom memasukkan potongan bawang ke minyak goreng mendidih di wajan. Aku bergegas menuju pintu yang terhubung ke dapur sambil bertanya-tanya kira-kira siapa yang sedang memasak.

Ketika aku sampai di ambang pintu dapur, kedua bola mataku menangkap seseorang di sana, sedang menggoreng sesuatu, membelakangiku. Seorang lelaki. Berperawakan agak tinggi dan gempal, kurasa lebih gempal dari Dad. Rambutnya hitam pekat, tanpa uban, sepertinya—entahlah. Aku bertanya-tanya apakah aku harus menyapanya untuk berkenalan dengan tetangga baru samping rumah atau tidak. Selama beberapa menit aku benar-benar bingung, sialan. Mematung di ambang pintu bukanlah jawaban untuk pertanyaan siapakah tetangga baruku, jadi, baiklah, akan segera kusapa orang itu.

"Halo, tuan?" seruku. Nada bicaraku sumbang dan aku sampai harus berdeham untuk memperbaikinya. "Maaf menyelinap masuk, tapi, aku tetanggamu, dan namaku Jason MacMillan. Aku datang hanya untuk berkenalan—oh, maaf tiba-tiba datang dan, aku lupa membawa sesuatu untukmu dari rumah. Jadi, yah...."

Aku tersenyum kikuk meski kutahu pria itu tidak melihat wajahku karena ia sedang sibuk menggoreng. Kurasa ia benar-benar sibuk dalam artian tidak mau diganggu tetangga-penyusup-pagi-hari sepertiku karena selama lima detik, tidak ada respon atau tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pria itu akan berbalik lalu sekadar melihatku. Jadi, aku lalu berkata, "Tuan? Eh—aku minta maaf karena lancang. A-aku—"

Kudapati pria itu berbalik, melihatku, melihat mataku. Aku kenal mata itu. Aku kenal sekali pemilik mata biru itu. Tidak mungkin ia ... ada di sana.

"Jason?" serunya.

"Tuan Carpenter?"[]

"Tuan Carpenter?"[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang