30 | a ticket, to Iceland

2.6K 378 52
                                    

Mom menggedor pintu kamar yang membuat tubuhku tersentak, hampir-hampir menggelinding dan jatuh ke lantai. Bayangan kemarahan wajah Mom tadi malam seketika berada di otakku. Sebelum Mom semakin menjadi-jadi, kuputuskan beranjak dan membuka pintu.

"Hari ini kau hanya akan sarapan lalu di kamar. Tidak ada kata keluar rumah." Mom mengatakannya dengan nada seperti membacakan sebuah deklarasi kemerdekaan. Yah, sepertinya hari-hari belakangan ini Mom hanya akan mengurungku hingga aku menjadi sukses secara dadakan.

Tadi malam, setelah kepulanganku dari rumah Julia, ketika satu kakiku baru melangkahi ambang jendela kamarku untuk masuk, Mom memergokiku. Berdiri persis di tengah-tengah kamar sambil melipat kedua lengan di depan dada. Mom tidak berkata apa pun selain menyebutkan nama panjangku dengan lengkap seraya membiarkanku masuk. Begitu aku berada di depannya, Mom hanya diam saja, justru pergi keluar kamar, dan setelahnya, satu malam, terkuncilah diriku. Secara harfiah, jika dipikir-pikir, tidak ada gunanya juga Mom mengunciku di kamar jika jendela kamar saja masih bisa diakses secara bebas kecuali jika dikunci dari luar secara permanen menggunakan papan kayu yang dipaku.

Minggu pagi ini aku sarapan bersama Mom, Seth juga Dad, dan setelahnya, mandi pagi. Tidak ada kegiatan yang benar-benar berarti karena Mom hanya akan kembali mengunci kamarku. Seth juga tidak berkomentar ketika anak itu melihat sendiri tindakan naif Mom. Yah, setelah ini mungkin aku juga akan bisa tetap kabur, santai saja.

---

Ponselku bergetar tepat di sisi kepala, bagian telinga. Oh sial, berisik sekali.

Ternyata Mom menelepon. Kuduga pasti ia sedang berdiri di depan pintu kamar dengan muka masam karena aku tidak kunjung membuka pintu, disamping juga, Mom pasti menduga aku telah kabur lewat jendela padahal sejatinya, sedari pagi kuhabiskan waktuku hanya untuk tidur. Aku tahu Mom tidak kuat mendobrak pintu kamar dengan meja belajar di baliknya, menutupi pergerakan engsel. Ya, hal bodoh itu benar-benar kulakukan sehingga Mom mungkin hanya bisa kesal di luar sana.

Setelah menggeser meja belajar dengan separuh tenaga, aku mendapati muka masam Mom menyerangku. Kata Mom, aku lama sekali seperti anak perempuan. Aku digiring ke meja makan dan setelahnya benar-benar hal yang membosankan; makan siang, lalu kembali dikurung di kamar.

Sore ini, tanpa sempat membujuk Mom untuk mengeluarkanku dari hukuman, kuputuskan untuk menuruni jendela rumah, melompati pagar, dan memanjat jendela kamar Julia. Semuanya berjalan sukses, tidak ada yang memergokiku mengendap di halaman rumput rumah keluarga Carpenter layaknya maling. Keluargaku juga tidak ada yang menyadari kepergianku beberapa langkah dari kamar termasuk Mom sendiri. Sampai, ketika langkahku mendarat di permukaan karpet paling dekat dengan jendela kamar Julia, rasanya seolah kakiku mati rasa mendadak.

Tidak ada Julia. Hanya ada beberapa kardus besar-besar seukuran sofa terletak di bagian kamar, menutupi pandanganku terhadap benda-benda. Astaga, bahkan kusadari, hampir tidak ada benda. Hanya meja belajar, almari, dan ranjang besar yang masih utuh di tempatnya. Tidak ada lampu kamar yang hidup, kamar Julia gelap. Hanya ada beberapa cahaya yang masuk melalui celah-celah, di antaranya adalah jendela yang kulewati serta pintu kamar yang agak terbuka; mempersilakan secercah cahaya ruang depan masuk melewati pintu.

Kuangkat kakiku melewati kardus-kardus besar yang berdiri itu, bertanya-tanya kira-kira apa isinya dan mengapa bisa tiba-tiba ada di kamar Julia. Sempat kuhantamkam tinju tangan kiriku ke salah satunya, namun yang ada malah tulang jemariku ngilu mengenainya. Sial, apa isinya?

Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang