39 | page 1, 30 November

1.1K 227 4
                                    

30 November

Hitam. Aku sengaja memilih diary warna hitam karena kupikir ini bagus dan warnanya sama seperti hidupku; kelam. Aku menulis ini ketika aku sadar hidupku mulai tidak berarti apa-apa. Apa tujuanku menulis sebenarnya tidak ada, aku hanya ingin meluapkan kehampaanku selama ini.

Kami datang ke kota ini untuk kabur, meskipun ibuku selalu membantahnya dan bilang bahwa kami sedang berlibur, bersenang-senang. Kebosananku yang hampir setiap hari berada di dalam apartemen karena ibuku jarang sekali mengajakku keluar merangsangku menulis buku harian. Aku hampir hafal apa-apa yang mesti kukerjakan selama mendekam di apartemen sambil menunggu ibu pulang. Mandi, makan, berbaring, lalu memastikan apakah semuanya baik-baik saja ketika ibuku menelepon mengatakan bahwa ia akan segera sampai di rumah dan membawakan sebungkus makanan. Tentu saja ponselku hanya bicara sendiri, mengeluarkan suara ibuku dari sana. Aku tidak menjawabnya, aku tidak bisa.

Ibuku selalu pergi pukul sembilan dan biasanya pukul lima ia sudah berada di apartemen. Awalnya, kukira ia pergi keluar karena ingin memanjakan diri dengan kesenyapan kota dengan berjalan kaki dari apartemen hingga ke pusat perbelanjaan atau tempat-tempat menarik lainnya seperti seharusnya dia bilang memang itu tujuan kami ke sini; berlibur. Hanya saja, kurasakan sikapnya mulai menjadi gelisah sekaligus aneh akhir-akhir itu. Ia pergi pukul sembilan seperti biasa dengan perasaan bersemangat di wajahnya untuk menghabiskan keindahan kota di akhir hari-hari kami tinggal di kota ini. Namun, pukul enam ia pulang, tatapannya lesu. Kala itu ia tidak membawa buah tangan. Aku menawarinya makan malam, namun aku menjadi serba salah karena ibuku tiba-tiba marah padaku tanpa sebab.

Hari-hari setelahnya, ia jarang keluar dan aku mulai khawatir padanya. Ibuku jadi sering marah-marah padaku. Tidak jarang ia mogok makan tanpa sebab yang kutahu pasti. Sampai suatu hari kutanya padanya apakah sebaiknya kami pulang saja ke Islandia, mengingat waktu itu juga hanya tinggal beberapa hari lagi waktu kunjungan kami berakhir karena itu sudah bulan November.

Ibuku berkata sambil menangis. Katanya, ia bertemu seorang lelaki asal Islandia yang mirip dengan ayahku. Mereka bertemu di taman kota hampir setiap hari Kamis. Kata ibuku, wajah lelaki itu sebenarnya tidak mirip sama sekali dengan ayahku. Lekuk di wajahnya tidak ada yang menunjukkan kemiripan, namun ada satu hal yang mengingatkan ibu akan ayahku. Mata lelaki itu berwarna hijau terang, persis seperti milik ayahku dulu. Ibuku bilang ia jatuh cinta dengan lelaki yang ia temui di taman. Lelaki itu memperlakukan ibuku dengan lembut, mengingatkan ibuku pada ayah. Ibuku selalu teringat ayahku setiap kali melihat sosok lelaki yang ia temui di taman. Cara-cara lelaki itu memperlakukan ibuku, sangat persis dengan yang ayahku lakukan ketika muda dulu.

Malam itu, aku menyadari tubuh ibu yang begitu rapuh. Aku memeluknya dan kusadari tubuhnya sangat lemah. Lelaki yang akhir-akhir ini menjalin hubungan dengan ibuku mencampakkannya. Lelaki itu ternyata telah berhubungan dengan wanita lain.

Mulai kurasakan hidupku yang tidak berarti sejak itu. Aku tidak pernah benar-benar bisa membuat ibuku tersenyum, hampir-hampir tidak pernah. Bahkan saat ia menangis pun, aku tidak bisa berbuat apa pun selain diam dan seolah masuk ke dalam kesedihannya. Ia sering bersedih, lalu kemudian, kubuat marah dengan kecerobohanku, lalu ia bersedih lagi, lalu marah lagi, begitu seterusnya hingga kutulis buku ini. []

So, ini diari Julia wkwkwk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

So, ini diari Julia wkwkwk.
—yan

Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang