26 | he is the hero, again

3.3K 391 30
                                    

Telingaku berdenging, seolah gelombang ultrasonik tengah melintasi tubuhku dan membuat kepalaku bisa meledak kapan saja. Kedua kelopakku terasa sangat berat untuk dibuka, seperti ada beban berat yang menggantung di setiap ujung bulu mata. Kepalaku terlampau pening akibat benturan. Aku masih dalam keadaan sadar, namun tubuhku mati. Badanku remuk dan teronggok tak berdaya di atas trotoar, di depan laki-laki persetan yang menyerangku tiba-tiba. Sementara Seth, adikku, kubayangkan ia masih berdiri ketakutan dengan menempelkan tubuhnya di sisi pagar perumahan Jalan Kirkwood Avenue.

Aku menunggu selama beberapa detik, menunggu lelaki sialan itu menyerangku lagi. Akan tetapi, aku tidak merasakan pergerakan kaki lelaki itu mendekatiku dan justru kudengar langkahnya malah menjauh. Astaga, ia pasti akan menyerang adikku.

Ya, sedetik kemudian, adikku menjerit ketakutan dan ... bugghh!!!Kudengar suara tumbukan tangan mengenai tubuh adikku. Secepat itu juga, aku bisa mendengar salah satu dari mereka berlari menjauh. Aku yakin itu pasti Seth dan bukannya sosok sialan itu. Pergilah yang jauh Seth, cepatlah kembali dengan bantuan, batinku.

Kucoba untuk membuka mata karena sekarang kepalaku sudah agak mendingan. Alhasil, kutemukan bayangan samar lelaki tadi masih berdiri di tempatnya. Aku kira, dia tidak mengetahui akan pergerakan tubuhku yang mencoba bangkit karena, sejak Seth kabur sedetik lalu, lelaki itu hanya bergeming di sana.

Tanganku meraba-raba sesuatu untuk tumpuan, namun hanya permukaan trotoar yang bisa kutemukan. Aku tetap tidak bisa bangkit karena rasanya sulit sekali untuk bergerak. Kakiku sepertinya juga mati rasa. 

Pikiranku bertanya-tanya mengapa lelaki itu hanya diam saja di sana tanpa terus menghabisiku saja dan kalau perlu sampai mat—

Buugghh!!! Kudengar suara jotosan tangan, lagi. Mataku buru-buru mencari sumber suara sembari berharap bahwa itu bukanlah Seth yang sekonyong-konyong kembali lagi dan sejurus kemudian langsung dipukuli oleh pria tolol bertopi flatcap itu.

"Sialan," umpatku dalam sebuah bisikan. Aku jadi terus-terusan menggerutukan umpatan-umpatan karena nahasnya, penglihatanku masih belum jernih. Dari tempatku teronggok babak belur, inderaku hanya bisa menangkap dua sosok bayangan dimana entah mengapa—apakah perasaanku saja atau memang betulan-keduanya sama-sama bertubuh besar. Tidak, jelas itu tadi yang datang bukanlah Seth. Tubuhnya tidak akan tiba-tiba berubah ukuran menjadi dua kali lipat lebih besar dariku hanya dalam beberapa menit berselang.

Meski aku setidaknya tahu rupanya ada seorang superhero kesiangan yang bertarung melawan pria sialan itu, hanya saja, di antara dua bayangan di depanku, aku tidak bisa membedakan yang mana si jahat dan yang mana yang bukan. Keduanya sama-sama bertubuh gempal seperti si Ralph (dalam film Wreck it Ralph) dan mereka saling bertarung dengan tangan kosong. Sementara aku, aku manusia tidak berguna yang hanya bisa menonton sembari berdoa konyol supaya maut tidak menjemputku detik ini.

Tahu-tahu, salah satu sosok dari mereka tersungkur. Aku tidak yakin sungguhan apakah itu adalah pria jahat yang menjotosku tadi atau bukan, namun asumsiku berkata, adalah pria bertopi flatcap yang kalah tarung. Lantas, pria itu buru-buru kabur, berlari ke arah selatan.

"Jason? Apa kau tak apa?" seru seseorang itu. Suaranya ... aku seperti familiar dengan aksen Amerika Latin yang kental itu ... serta tubuh besar...

Dan benar. Sosok itu memang kukenal. Sewaktu ia mendekati tubuhku, mataku langsung menangkap wajah cemas Julian si pirang. Dia lalu buru-buru membangunkanku.

Aku terbengong-bengong, membiarkan lengan-lengan besar Julian membopong badanku hingga berdiri di sisinya. Ketika Julian bertanya sekali lagi padaku, "Jason, kau tak apa?" aku masih melamun sambil menatap terus-terusan ke arah Julian yang berwajah cemas mengkhawatirkan kondisiku.

---

"Pelan-pelan, bodoh," pekikku, lalu mendesis kesakitan karena seolah wajahku sudah benar-benar bonyok seluruhnya.

"Maaf."

"Sialan kau, Seth. Apa kau hanya akan terus-terusan menyakitiku meski aku sudah mau mati begini?" cerocosku.

Julian yang sedang berbaring di sofa seketika tertawa mendengarku menggerutu karena Seth. Rambut pirangnya bergoyang di permukaam sofa yang tidak jauh dari tempatku dan Seth duduk. Katanya, "Pantas saja Seth meninggalkanmu. Kau jahat begitu pada adikmu sendiri."

"Diam kau Julian," gerutuku, memasang muka masam, menimbulkan guratan-guratan kekesalan memunculkan rasa nyeri merasuki kulit wajahku.

Omong-omong soal Julian, si besar Ralph, aku berutang budi padanya dua kali. Julian, adalah penolongku waktu aku membutuhkan tumpangan ke rumah sakit, serta, pahlawan di saat dimana rasa tidak berdaya terus menempel pada tubuhku yang teronggok di Jalan Kirkwood Avenue.

Julian merangkul tubuhku sepanjang jalan menuju rumahnya yang kebetulan hanya berjarak satu kilo dari tempat dimana aku dihabisi oleh orang sinting bertopi flatcap hitam. Ya, sekarang aku berada di rumah Julian (setidaknya untuk sementara waktu sampai aku bisa berjalan sendiri ke rumah, atau sampai salah satu dari Mom dan Dad menjemputku pulang). Sementara Seth, tadi anak itu langsung sampai di sini beberapa menit setelah kutelepon.

"Omong-omong, apa kau ingat bagaimana wajah orang sialan itu?" tanyaku pada Julian, seraya kuingat-ingat seperti apa bentuk dan rupa orang asing di Jalan Kirkwood Avenue ketika aku mengecek ke belakang punggung-saat dimana dia belum menjotos wajahku tiba-tiba dengan kepalan tangannya.

Julian belum menjawab pertanyaanku. Aku menangkap wajah melongo Julian yang menatap kosong ke arahku. Hingga kutunggu anak itu selama beberapa detik kemudian, rupanya pirang tidak berkutik. Sialan, mengapa dia tiba-tiba bengong?

"Julian?! Yo, man!"

"Eh? Apa?!" pekik Julian, yang tiba-tiba terbelalak dari masa melamun konyolnya.

Kuulangi ucapanku tadi tentang si lelaki misterius, namun dengan pertanyaan yang berbeda, "Apa kau tahu siapa orang itu?"

Julian yang duduk berseberangan denganku dan Seth, kutangkap ia sepertinya memberiku tatapan oh, tentu saja aku tidak tahu, membuatku hanya bisa tersenyum kecut karenanya. Dia menambahkan, "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Mungkin dia orang tidak waras. Dan kalau memang perlu, besok akan kulaporkan ke polisi." []

" []

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang