34 | too late to say goodbye

2.4K 336 105
                                    

Berapa lama? Tidak ada cahaya yang mengalir, semuanya gelap. Apa aku masih hidup? Tidak ada yang bisa kukenali, sialan! Aku saja tidak tahu di mana diriku berada sekarang karena oh, sialan lagi, tempat ini benar-benar hitam, dan dingin.

Kedua kakiku melangkah ke arah yang aku tidak tahu pasti ke mana tapi kupikir adalah arah selatan. Aku tidak merasakan adanya tanda-tanda perumahan Bloomington sama sekali karena tidak ada lampu jalan atau lampu rumah di tempat ini seolah-olah aku telah tersedot ke sebuah tempat antah-berantah, terbuang.

Dengan bodohnya, kuteriakkan, "Mom? Dad?" dan hening selama lima detik setelahnya. "Seth? Oh ayolah, man, setidaknya kalian menjawabku."

Aku terus melangkah ke selatan—entah apakah ini arah yang benar—tanpa memedulikan apa pun (karena pada dasarnya, tidak ada apa-apa di sini) hingga tahu-tahu, jemari kakiku yang terbungkus sepatu menabrak sesuatu. Cukup kaget romaku hingga lututku malah tertekuk, dan jatuh di atas sesuatu—astaga, ketika kuraba, tanganku mendapati tangan seseorang. Dingin dan kaku, membeku. Cepat-cepat kusentuh bagian tubuh lainnya (karena indera mataku tidak bisa melihat apa pun) hingga menemukan wajah seseorang itu. Hidungnya, mulutnya, alisnya, tulang pipinya kutelusuri satu persatu hingga kemudian aku menyadari sesuatu setelah jemariku meremas rambut pendek di kepala orang itu.

Secercah cahaya putih muncul dari arah selatan, menyilaukan pandangan. Tanganku berusaha menutupinya, dan pandanganku berpaling dari cahaya ke arah tubuh seseorang tadi. Kini semuanya mulai kelihatan. Cahaya putihnya memberiku penglihatan akan siapa sesosok orang yang terbujur kaku di bawahku.

Itu wajahku. Penuh darah di kepala, sebagian telah melebar ke permukaan lantai. Sekonyong-konyong aku mundur jauh-jauh dari tubuh itu. Apa yang sudah terjadi?! Aku benar-benar ketakutan setengah mati. Oh sial, apa diriku telah benar-benar mati?

Kini cahaya putih dari selatan makin terang dan melebar hingga akhirnya kudapati kemudian, tiba-tiba tempat itu menjadi putih seluruhnya. Aku sampai harus menutupi pandangan mata ketika prosesnya berlangsung berubah dari hitam menjadi putih. Sialannya, tubuhku tadi tiba-tiba hilang. Kali ini benar-benar tidak ada apa pun meskipun terang benderang. Tidak ada perkotaan, pepohonan, atau pun keluargaku. Seperti ruang kosong di film kartun Spongebob Squarepants di mana aku adalah Squidward yang tersesat.

"Jason? Jason?" tahu-tahu kudengar seseorang dari arah belakangku berdiri.

"Julia?" butuh beberapa detik aku tersentak kaget mengetahui Julia tiba-tiba ada bersamaku, di tempat ini. "Di mana kita? T-tunggu, kau—kau bisa.... bicara?"

"Ya Jason, aku bisa bicara sekarang."

"A-apa yang—"

Julia tertawa. Ini pertama kalinya kudengar gadis itu tertawa dengan cara yang sempurna namun ada aksen berbeda dari suaranya. Seolah itu tawa yang dibuat-buat, tawa yang sumbang, tawa seseorang yang... licik. Aku tidak mengerti. Sedetik kemudian gadis itu malah berlari menjauhiku sementara aku masih tetap berdiri di sini karena aku tidak mempunyai alasan untuk mengejarnya hingga akhirnya, bayangan Julia lama kelamaan mengecil dan mengecil. Awalnya menjadi sebuah titik, lalu kemudian lenyap.

"Julia?" kupanggil dia. "Julia?" Tidak ada jawaban. Kubalikkan bahu, menoleh ke belakang, lalu ke kanan, lalu ke kiri. Tidak ada apa pun. Semuanya putih. Seperti selembar kertas putih yang benar-benar baru kubuka segelnya.

"Jassseonnn."

Oh astaga, apa itu?

"Jassseonnn." Lagi, suara itu lagi. Memanggil namaku dengan lamat-lamat disertai gema di setiap suku katanya, membuatku bertanya-tanya apakah benar namaku terpanggil. Kutoleh sisi kanan dan kiri dari tempatku berada namun sungguh tidak ada apa-apa.

Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang