22 | Julian

3.5K 450 14
                                    

Aku pernah mendengar Mrs. Steinberg(guru bahasa Inggris-ku) bilang bahwa hukum sebab-akibat dalam kehidupan itu hukum mutlak. Bahwa apa yang terjadi di masa lampau, akan berakibat di masa depan. Sebelumnya aku pikir itu hanya omong kosong belaka para guru di sekolah sebagai pembekalan kata-kata bijak di kemudian hari bagi para murid—yang pada akhirnya hidup mereka akan berakhir sama saja. Namun ketika malam menjelang pagi hari ini, aku dituntut untuk percaya.

Julian. Duduk di sebelahku. Sibuk dengan setir mobil yang ia pegang. Sesekali lengannya memutar kemudi ketika mobil harus berbelok di persimpangan. Rambut pirangnya yang lurus kadang-kadang juga berkilau ketika lampu jalan mengenai helaiannya.

Julian. Terakhir kali aku mendengar namanya disebut adalah ketika aku baru saja siuman gara-gara Julian menonjok mukaku. Kata Penelope, Julian kena skors, dan setelah itu, aku tidak lagi tahu kabarnya.

Julian. Laki-laki seumuranku itu tiba-tiba saja sudah memarkirkan mobilnya di depan rumahku saat aku sedang pusing sendiri di dalam kamar, memikirkan bagaimana cara pergi ke rumah sakit kota saat tengah malam tanpa menggunakan cara-cara bodoh.

Waktu aku keluar dari pintu rumah, Julian langsung meneriakiku, "Cepatlah, bung! Masuk ke mobil!"

Saat dia menyuruhku untuk buru-buru masuk ke mobil, tidak sempat kupikirkan alasan mengapa Julian melakukannya. Jadi, langsung saja aku mengikuti perintahnya.

Kataku, "Kau..." namun di bagian akhir, suaraku menghilang karena Julian telah melajukan mobil dengan lumayan menyendal serta deru mesin yang menggeram, membuatku agak kaget. Tadinya aku ingin bertanya apakah Julian mabuk atau tidak karena bau alkohol di mobilnya benar-benar menusuk hidungku.

"Kita ke rumah sakit," cetus Julian tiba-tiba. Aku hampir-hampir tersedak ludahku sendiri karena apa yang kudengar barusan membuatku harus memikirkan berbagai kemungkinan terbesar mengapa dengan kebetulannya Julian memberiku tumpangan ke rumah sakit ketika aku sedang membutuhkannya.

"R-rumah sakit kota?" tanyaku meyakinkan.

"Yup."

Aku sempat menoleh pada Julian, mencoba membaca wajahnya apakah anak itu sedang berbohong padaku atau tidak. Bisa saja dia berbohong, atau, bisa saja ... dia orang asing yang memakai topeng replika wajah Julian si anak besar. Tapi, jika dilihat dari postur orang ini, ukurannya memang persis seperti milik Julian sendiri.

Tiba-tiba Julian menoleh padaku, mendapati ekspresi terkejut dari wajahku sehingga dia berkata, "Kenapa kau tegang begitu?" tanyanya, dengan nada santai seolah wajahku tidak ada harganya sama sekali ketika sedang was-was.

"Tidak ada." Lalu, aku terdiam. Kami tidak melanjutkan pembicaraan lagi setelah itu. Aku hanya perlu menunggu jawaban apakah benar Julian benar-benar membawaku ke rumah sakit kota atau malah membawaku terjun ke jurang bersamanya.

---

Mrs. Steinberg benar. Hukum sebab-akibat itu ada. Julian benar-benar mengantarku ke rumah sakit kota. Anak itu bagaikan superhero yang datang tepat waktu ketika seseorang membutuhkan bantuan. Julian yang dulu brutal, kini telah berubah (meskipun setidaknya itu hanya sembilan puluh derajat dari kebrutalannya menonjokku).

Julian menyuruhku turun ketika sampai di halaman depan dan membiarkanku masuk ke rumah sakit lebih dulu sementara ia memarkirkan mobil di basement.

Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang