49 | "nothing ever goes away..."

1K 183 12
                                    

Sabtu pagi, sehabis sarapan, Herbert Carpenter meneleponku lewat nomor pribadi. Pria itu sempat mengucapkan selamat pagi dari seberang sana sebelum kutanyakan ada apa dan kenapa ia menelepon pagi-pagi.

"Tidak ada apa-apa Jason, aku hanya ingin berbicara denganmu untuk terakhir kalinya."

Otakku heran mengapa Herbert Carpenter berkata demikian seolah-olah dia tahu tentang takdir yang mengatakan bahwa kami mungkin akan berpisah dan tidak akan bertemu lagi. Maka, kutanyakan padanya dengan penuh kekhawatiran yang melanda, "Apakah Anda baik-baik saja, Tuan?"

Hening sejenak, mungkin jika kini aku berhadapan dengan Herbert Carpenter, mungkin, memang terjadi sesuatu dengannya. Itu sebabnya dia menelpon, karena tidak mau aku mengetahuinya secara langsung padahal rumah kami hanya bersebelahan.

"Dengar, ada satu hal yang belum kukatakan padamu tentang istriku."

"Apa itu?" tanyaku. Hening lagi, namun aku masih menunggunya—lanjut bicara—dengan tetap membungkam mulut, menghitung detik-detik angka di layar ponselku yang terus berjalan.

Lalu akhirnya ia berkata, "Kau tahu apa itu bipolar disorder?"

Astaga ... Bipolar disorder ... Itu gangguan kejiwaan yang menyebabkan penderitanya mudah sekali berganti suasana hati.

"Ya, sedikit tahu," jawabku kemudian. Perasaanku mendadak tidak nyaman. Ada semacam dugaan kecil mengenai penyakit kejiwaan itu serta merta kaitannya dengan Olivia Carpenter. Apakah benar wanita itu....

"Dia penderita bipolar."

"B-bagaimana Anda bisa mengatakannya?"

"Kutemukan surat keterangan dokter. Surat itu dibuat Januari lalu, dan itu asli."

"Aku tidak—aku tidak menyangka...."

"Aku sering mendapatinya begitu bahagia ketika bersamaku. Ia memperlihatkan wajah penuh kebahagiaan setiap kali berhadapan denganku."

Herbert Carpenter berhenti bicara dan aku belum akan meresponnya karena kuyakin sekali dengan nada akhir bicaranya yang menggantung itu, ia belum menyelesaikan ceritanya. Kutunggu selama hampir lima detik, namun ia masih belum melanjutkan hingga akhirnya kuputuskan untuk mengecek apakah ia masih di sana.

"Tuan Carpenter?" panggilku.

"Jason ... Aku juga sering mendengarnya menangis sendirian di kamar ketika aku pulang larut malam. Isakannya sangat dalam, menusuk, dan berarti. Pertama kali kudapati ia menangis malam-malam, kupikir itu hanya akan berhenti di situ dan tidak akan berkelanjutan. Namun aku salah; malam-malam sesudahnya, ia tetap seperti itu. Kemudian, dia mulai membuka diri; ia mau membicarakannya. Diceritakan padaku bahwa ia punya masa lalu yang kelam."

"Akhirnya, kumaklumi perbuatannya perlahan-lahan. Dirinya yang sering emosional pada Julia kuanggap sebagai hal yang wajar."

"Apakah Anda pernah melihatnya melakukan kekerasan kepada Julia?" tanyaku akhirnya.

"Pernah sekali, ketika Olivia benar-benar marah dan ketakutan sewaktu Julia mencoba kabur. Tapi waktu itu, aku hanya bisa membayangkannya sebagai hal yang wajar karena aku tidak tahu yang sebenarnya terjadi di antara mereka."

"Apakah ... Apakah Julia juga ... Punya bipolar disorder?"

"Kurasa tidak. Gadis itu jarang menunjukkan gejala-gejala seperti perubahan emosi yang drastis."

Kuhembuskan napas, lega mendengar pernyataan bahwa Julia tidak kenapa-napa (dalam artian, gadis itu normal). Tidak bisa kubayangkan apabila Julia menderita gangguan emosi seperti ibunya, apa yang kira-kira qkan terjadi dengan mereka berdua? Bisa-bisa rumah mereka akan meledak berhari-hari kalau mereka terus emosi dan bertengkar. Ah, bodohnya, mendadak aku menjadi merindukan Julia, sialan.

"Menurut Anda, mengapa Julia mencoba kabur?"

Pertanyaanku mengambang begitu saja di udara ruangan kamarku. Seketika hening sejenak karena Herbert Carpenter dari seberang sana tidak berkata apa pun.

"Tuan? Kau masih di sana?"

"Ya—eh, entahlah Jason, aku tidak tahu alasannya. Julia bukan putri kandungku."

Mendengar ia berkata pasrah seperti itu, aku langsung menyahut, "Tapi setidaknya Julia telah menjadi bagian dari keluargamu."

"Aku tidak begitu akrab dengan Julia, Jason."

"Julia gadis yang baik, Tuan. Anda tahu itu."

"Ya, dia gadis yang baik...."

"Tuan? Anda tidak apa-apa?"

"Tentu saja. Maaf aku harus segera pergi, Jason. Kalau kau melihat keluar sekarang, aku sudah di mobil."

"Anda pergi bekerja?"

"Aku akan kembali ke Minnesota lagi, dan menetap di sana."

"Mengapa begitu?" tanyaku.

"Karena di sini tidak tersisa apa-apa lagi."

Telepon ditutup dari seberang, menyisakan nada terputusnya panggilan telepon di ponselku. Buru-buru aku berlari menuju jendela kamarku, menyibakkan gorden penutupnya. Sial, aku tidak melihatnya. Halaman depan rumah Herbert Carpenter tertutup bangunan rumah dan aku hanya bisa melihat sisi samping tembok rumah itu. Tanpa pikir panjang aku langsung turun melalui tangga dan berlari menuju pintu depan. Aku mendengar deru mesin mobil yang dinyalakan dari sisi kanan rumahku begitu aku mencapai ambang pintu.

Herbert Carpenter telah menyalakan mobilnya dan langsung melaju, pergi meninggalkan rumahnya, meninggalkan Bloomington tanpa sempat kupanggil ia untuk berhenti. Kini aku mematung di halaman rerumputan, menyaksikan mobil pria itu yang perlahan mengecil di kejauhan, melintasi lurus dan sempitnya Jalan Fess sebelum akhirnya menghilang di persimpangan Jalan Henderson. []

 []

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang