3.2 : faded (2)

441 112 26
                                    

- ending fairy -

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

- ending fairy -

"Terima kasih," ucap Jiji yang baru saja tersadar. Jeje mengangguk, dia pun segera memberikan nampan berisikan semangkuk bubur pada pemuda tersebut.

"Makan sesuatu, setelah itu kembalilah beristirahat." Jeje beranjak dari tepi kasur Jiji. Namun, laki-laki itu langsung menahan lengannya. Jiji menghela napas dan menyingkirkan nampan itu dari hadapannya.

Suasana kembali hening, tidak ada yang berbicara sama sekali. Jiji mendekat, kedua tangannya kini melingkari sekitaran perut Jeje. Ia memejamkan matanya sejenak kala aroma tubuh yang dia rindukan kini menyeruak. Jeje terdiam, enggan bergerak dan mengatakan apapun.

"Maaf," bisik Jiji.

Jeje masih diam di tempatnya sembari meremat erat ujung pakaian yang dia kenakan. Tiba-tiba saja hatinya terasa sesak ketika suara berat itu mengucapkan kata tersebut.

"Semua ini salahku. Aku sudah mendengarnya, tentang sikap Wonyoung itu," lanjut Jiji yang masih setia memeluk Jeje dari belakang. Ia menenggelamkan wajahnya ke ceruk leher Jeje dan menghirup aroma tubuh itu sedalam mungkin.

"Jangan seperti ini. Aku tidak terbiasa. Jangan putus, ya? Jadi pacar Jiji lagi yuk," bujuk Jiji.

Jeje menoleh hingga ujung hidung mereka saling bersentuhan. Debaran jantung itu kini menyerang Jeje secara brutal. Tatapan Jiji membuatnya semakin tidak tega untuk meninggalkan pemuda itu. Namun, tidak bisa. Ia tidak boleh melakukan kesalahan fatal nantinya.

Jika Jiji tidak punya hubungan apapun lagi dengan Jeje, otomatis dia akan aman sampai waktunya di dunia sudah berakhir, bukan?

Lagi pula, mereka beda alam. Jiji seorang peri dan juga putra mahkota di bangsanya. Pemuda itu harus kembali dengan kondisi sehat, tanpa paksaan karena kehilangan tanda Schutz.

"Tidak," putus Jeje sambil menghempas kedua tangan itu dari tubuhnya. Jiji tertegun, kedua matanya kini menatap sendu ke arah Jeje seakan-akan meminta sebuah alasan.

Gadis itu bisa melihat bagaimana sorot terluka Jiji di matanya. "Tidak bisa. Aku sudah tidak menyukaimu, sama sekali. Kita harus berpisah, tidak bisa seperti dulu lagi."

"Tapi-"

"Jisung, hubungan kita sudah berakhir tiga hari yang lalu. Itu tidak akan berubah sampai kapanpun," potong Jeje.

"Kita tidak bisa bersama lagi, kau dan aku cukup sampai di sini saja. Dan juga, setelah kau sembuh lebih baik kau tinggal bersama Chenle. Dia temanmu, dan kalian sama-sama peri. Kurasa itu jauh lebih baik daripada tinggal bersamaku," sambungnya.

Jiji masih terpaku dengan sosok gadis yang ada di depannya. Ia tersenyum getir kala sesuatu yang tajam bagaikan mengoyak lubuk hatinya. Begitu dalam dan sangat sakit. Gadis itu kini beranjak menjauh dari hadapannya, meninggalkan sebuah hantaman besar bagi Park Jiji.

Jiji memegang dadanya sendiri menahan sesak yang datang. Tak terasa, kedua matanya memanas dan menjatuhkan setetes air mata dari sana. Seperti inikah yang namanya patah hati? Tidak terlihat, tetapi berhasil menusuk dirimu begitu dalam.

"Jeje ...." Jiji memandang nanar pintu kamar yang masih terbuka, ia berharap sosok gadis itu berbalik arah dan merengkuhnya sekarang. Namun, tidak. Itu semua hanya khayalan miliknya sendiri, tidak ada Jung Jeje yang kembali padanya.

"Apa ini benar-benar berakhir? Begitukah?" gumam Jiji.

Jiji tersenyum pedih, ia pun memutuskan untuk meninggalkan tempat ini. Sesuai dengan permintaan dari Jeje tadi. Yang gadis itu katakan semuanya masuk akal, tidak baik jika dia berlama-lama di tempat ini.

Tak lama, ia membawa tas ransel berisi pakaiannya dan keluar dari kediaman Jung. Setiap langkah yang diambil oleh Jiji terasa begitu berat, seperti ada sesuatu yang menahannya agar tidak pergi.

Itu ... kenangan mereka yang menahannya. Semua waktu yang ia habiskan dengan Jeje, membuat Jiji semakin tidak ikhlas untuk pergi dari tempat ini. Dia menarik napasnya dalam-dalam, lalu benar-benar pergi dari sana.

Tujuan Jiji sekarang adalah rumah Chenle, yang ada di seberang rumah Jeje. Mungkin, nanti ia akan mencari tempat tinggal baru. Jadi, sementara ia menetap dulu di rumah temannya.

Di sisi lain, Jaehyun baru saja pulang setelah ada beberapa urusan dari luar. Kerutan di dahi pun terlukis saat dia masuk ke dalam rumahnya. Ini aneh, kenapa tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini? Jaehyun pun berinisiatif untuk pergi ke kamar adiknya.

"Je, kau sudah makan?"

Tidak ada jawaban.

"Jeje," panggil Jaehyun sekali lagi.

Ini aneh. Tidak biasanya Jeje seperti ini.

Gadis itu akan langsung menyahut setiap kali Jaehyun memanggilnya. Namun, kali ini berbeda. Pria tersebut menjadi cemas, ia pun mengetuk pintu kamar itu berkali-kali berharap kalau Jeje tidak kenapa-kenapa di dalam sana. "Jeje, buka pintunya!"

Masih belum ada jawaban sama sekali. Jaehyun semakin gelisah, dia pun memutuskan untuk mendobrak pintu yang dikunci dari dalam.

Brak!

Jaehyun membelalakkan kedua matanya tatkala melihat Jeje tidak sadarkan diri di atas lantai kamarnya. Jaehyun segera membawa adiknya ke dalam pangkuan, diliriklah genggaman tangan Jeje yang memegang obat asmanya. Itu berarti, penyakit Jeje kambuh.

"Jeje, hei! Jeje, ayo bangun!" Jaehyun gelagapan.

"Jiji! JIJI!" seru Jaehyun dengan suara lantangnya.

"Astaga, di mana dia?!" Tak mau ambil pusing, Jaehyun segera menggendong tubuh adiknya dan keluar dari sana. Sial, ia lupa kalau mobil mereka sudah dia jual untuk membayar hutang.

Mau tak mau, Jaehyun segera mencari taksi untuk membawa Jeje ke rumah sakit segera. Degupan jantungnya semakin berpacu cepat, belum lagi saat ia mengingat kembali apa perkataan dokter kala itu.

"Penyakitnya sudah akut."

Sial, Jaehyun takut sekarang.

- TBC -

🌚🌝👍

Mulai besok mpe hari Selasa(?) Aku ujian( ꈍᴗꈍ), mohon maaf lahir dan batin kalau nanti aku lupa up:')

Dan buat yg lagi ujian atau yg mingdep ujian, semangat gais-! Jangan lupa berdoa sebelum kerjain soal T_T

Oke sip. Bubay kalian semuaa💚💚💚

Next gak? Wkwkwk

Ending Fairy | Park Jisung✓Where stories live. Discover now