4.2 : Lee Jeno

382 95 18
                                    

- ending fairy -

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

- ending fairy -


Pemuda tampan dengan kaus putih serta bawahan hitam, kini tengah berlari kecil di lorong rumah sakit. Parasnya yang rupawan pun berhasil menyita perhatian orang-orang yang ada di sekitar. Lee Jeno, dia datang setelah mendapatkan kabar tentang Jeje.

"Kau—hah, Jisung?" Dahi Jeno mengernyit menimbulkan beberapa lipatan kecil di sana.

"Hai, Jen." Jisung menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman kecil.

"Bagaimana bisa kau ada di sini? Bukannya kau sudah meninggalkan Seoul waktu itu?" cecar Jeno.

"Ceritanya panjang. Jeje membutuhkan dirimu, aku tidak tau kenapa dia bisa pingsan tiba-tiba. Rawat dia baik-baik, sampai jumpa," pamit Jisung sembari menepuk pundak Jeno. Namun, tidak sampai selangkah lengannya sudah ditahan oleh pemuda tersebut.

"Kau masih menyukainya?" tebak Jeno dengan nada begitu dingin disertai tatapan cukup tajam di sana.

Jisung terdiam, ia tidak bereaksi apapun atau mengatakan satu patah kata. "Kau kembali ke Seoul karena dirinya, bukan?"

"Bagaimana jika aku mengatakan tidak? Dan apa yang akan kau lakukan jika aku mengatakan iya?" Jeno terdiam, kedua tangannya perlahan terkepal.

"Kau mau merebutnya dariku?" tebak Jeno sekali lagi. Jisung tersenyum.

"Tentu saja

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Tentu saja. Kau takut?"

"Jauhi Jeje, dia itu milikku. Kau tidak akan bisa mendapatkan dirinya, aku ini kekasihnya," desis Jeno. Saat itu pula Jisung tertawa. Seketika dia mengingat perkataan Jwi tentang Jeno, sebuah cerita bagaimana Jeje menerima cowok ini sebagai kekasihnya.

Lee Jeno yang cukup malang.

"Kenapa? Kau takut? Memangnya itu akan menjadi masalahku jika kau kekasihnya? Tidak sama sekali. Dirimu ini hanya belum tau bagaimana hati Jeje yang sebenarnya, kau tidak akan pernah tau harapan terbesar apa yang ada di dalam dirinya," tutur Jisung seraya meratap Jeno yang ada di hadapannya.

"Aku tidak akan mencoba merebutnya secara paksa, karena aku tau ... suatu hari nanti dia yang akan berjalan ke arahku. Bukan dirimu," lanjut Jisung. Dia tersenyum penuh keangkuhan, lalu berbalik pergi dari hadapan Jeno yang terbungkam.

"Begitukah? Kau pikir Jeje semudah itu untuk didapatkan? Jangan pernah bermimpi di siang bolong, Jisung!" seru Jeno. Langkah kaki Jisung berhenti.

Ia menoleh sebentar, masih dengan sebuah senyuman di wajahnya. "Kau mungkin lupa kalau ini sudah sore menjelang malam, Jen. Jadi, aku tidak bermimpi saat ini juga," sarkasnya.

Sorot tajam itu masih menatap punggung Jisung yang perlahan menghilang dari hadapannya. Napasnya sedikit memburu, dan Jeno bisa merasakan bahwa hawa di sekitarnya menjadi panas. Kepalan tangan itu semakin kuat ketika mengingat kembali sikap Jisung yang begitu angkuh padanya.

Padahal, waktu mereka masih bersekolah. Sikap Jisung tidak seperti ini, dia itu terlalu polos dan juga bodoh. Namun, kali ini berbeda. Auranya jauh lebih mendominasi. "Sial, apa yang sebenarnya terjadi pada bocah itu?"

"Jeje tidak akan seperti yang dia katakan. Aku percaya itu, kita lihat nanti siapa yang menang, Sung," gumam Jeno sebelum mengembuskan napasnya kasar.

Kini, ia pun memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan Jeje. Tatapannya menghangat kala ia melihat gadis itu terbaring di atas bangsal dengan infus di tangan kanannya. Jeno mendekat, dia menarik sebuah kursi dan duduk di samping bangsal Jeje.

"Maaf ya, aku telat," ucap Jeno dengan nada pelan.

Jeje masih belum sadar, napasnya begitu teratur dan kedua kelopak matanya terkatup begitu rapat. Jeno tersenyum, dia meraih tangan gadis itu dan mengelusnya pelan. "Cepat sembuh ya? Aku tidak mau kau merasa kesakitan lagi."

"Tadi, aku bertemu dengan Jisung. Dia bilang ingin merebut dirimu dariku, itu tidak mungkin terjadi, kan?" Jeno menunduk, kedua bahunya merosot beriringan dengan helaan napas yang baru saja keluar. Dia memejamkan matanya sejenak sambil bersandar pada kursi.

"Aku tidak akan membiarkan dirinya berhasil mengambilmu dariku," katanya.

"Je, cepat bangun. Katakan padanya kalau apapun yang ia katakan tidak akan terjadi sampai kapanpun itu. Aku tidak mau kehilangan dirimu, walau aku tau ... kau tidak mencintaiku," sambung Jeno yang masih setia mengusap punggung tangan Jeje.

"Aku tau kau merasa tidak nyaman jika bersamaku. Tapi, terima kasih karena memberiku sebuah waktu untuk membuka hatimu. Jeje, aku boleh minta satu hal lagi? Tolong jangan tinggalkan aku." Jeno mengecup singkat punggung tangan Jeje yang ada di genggamannya.

"Aku memang egois. Aku tau itu. Tapi, aku janji kalau ini adalah permintaan terakhir dariku. Kumohon kabulkan itu, aku akan merasa sangat bahagia jika kau mau mengabulkan permintaan terakhirku," ujar Jeno. Kedua matanya memanas, dan bibirnya mulai bergetar.

Hatinya sakit. Bagaikan diremukkan oleh beberapa palu. Jeno meneteskan air matanya, kedua bahunya terlihat gemetar—terisak. "Aku benar-benar tidak punya siapapun di dunia ini. Orang tuaku, saudaraku, semuanya tidak ada di sini. Mereka sudah meninggalkan diriku. Lalu, kau orang yang hadir untuk mengisi hariku."

"Jeje, kau benar-benar cinta pertamaku. Aku tau ini pasti sulit bagimu untuk menerima semuanya, bukan? Tapi, semua orang pasti punya sisi serakahnya sendiri. Akupun begitu, aku ingin kau tetap bersamaku hingga tua nanti," papar Jeno. Jarinya pun mulai menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah Jeje.

"Aku akan menyayangi dirimu dengan segenap hati, sungguh. Cepatlah bangun, kita harus bisa membuktikan pada Jisung kalau apapun yang dia katakan tidak akan terjadi sama sekali."

Jeje masih enggan membuka matanya. "Ji-Jiji."

Jeno mendongak ketika suara lemah milik Jeje terdengar. Tapi aneh, yang dikatakan oleh Jeje bukanlah namanya ataupun nama orang lain. Jadi, siapa yang dimaksud oleh Jeje?

"Aku ti—dak mau." Jeje mengigau.

"Jiji ...." Jeno semakin tak mengerti. Dia pun menekan sebuah tombol di samping bangsal. Tak lama, seorang dokter pun datang menghampiri mereka berdua.

"Pasien mulai tersadar. Mungkin beberapa menit lagi."

"Baik, Dok."

Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh sang Dokter, kini kedua kelopak mata itu mulai terangkat perlahan. Jeje meringis kecil ketika sebuah cahaya lampu menusuk ke dalam matanya—silau.

"Nona, apa yang anda rasakan?"

"Haus." Jeno dengan sigap langsung membuka tasnya dan menyodorkan sebuah botol pada Jeje.

"Pasien sudah membaik, tapi tetap harus diawasi dengan ketat. Saya permisi dulu." Jeno mengangguk. Setelah sang dokter dan suster sudah keluar, dia pun kembali duduk di kursinya.

"Tidak ada yang sakit lagi, kan?" tanya Jeno.

"Jisung di mana? Tadi seingatku dia bersamaku." Jeno terdiam di tempatnya, hatinya sangat tertohok dengan pertanyaan Jeje.

"Aku tidak tau."

- TBC -


🌚🌝✨

Apa kabar kalian semua?

Jadi gimana chapter kali ini? Kasian sama Jeno gak sih? Wkwkwk

Makasi ya udah mampir, dan have a nice day semuanya-!💚💚💚

Ending Fairy | Park Jisung✓Where stories live. Discover now