11. Tentang Rindu

3.6K 457 156
                                    

"Jika bicara tentang rindu, aku susah menjelaskannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jika bicara tentang rindu, aku susah menjelaskannya. Memang aku ini tidak hanya merindukanmu saja. Namun, dari deretan orang yang aku rindukan―kamu selalu berada di posisi paling depan. Kamu menyisihkan yang lainnya, seolah-olah di dunia ini hanya ada kamu." ―Nayyara Judistia Putri Hartadi

-oOo-

Nara meletakkan ponselnya. Dia menatap benda itu hambar menunggu teleponnya berdering karena hampir tiga hari Javas tak mengabarinya. Pria itu seolah hilang ditelan bumi. Nara tidak mendapatkan jejaknya sama sekali sehingga sekali lagi harus menyimpan rindu untuknya sembari pura-pura bahagia.

Wira sempat mengusulkan agar Nara yang menghubungi Javas terlebih dahulu. Jelas, Nara langsung menolak―lebih tepatnya dia takut ditolak. Nara masih mengingat Javas yang terlihat marah saat pertemuan terakhir mereka. Bagaimana jika Javas memang sengaja menghindarinya? Hm, jangan-jangan saat Nara berusaha mencari Javas, pria itu justru membentaknya. Ah, Nara pasti jauh lebih patah hati. Oleh karena itu, Nara lebih memilih diam dan menunggu.

"Lo kayak orang bodoh, tau gak?" itu ejekan Wira saat Nara membantu si pianis untuk packing. Wira kesal mendapati Nara bengong, linglung kayak orang yang kurang makan. Wira kan jadi tak tega kalau Nara ditinggalkan dalam kondisi begitu.

Wira akan kembali ke Jakarta, memulai aktivitasnya lagi. Dia berencana menghadiri audisi New South Wales Philharmonic. Wira ingin memulai kariernya lagi dari titik nol. Meskipun, mereka yang berkecimpung di dunia musik telah mengenal seorang Mahawira Adyasta. Wira beranggapan, jika yang mereka kenal adalah Adyasta dengan tangan sempurnanya, kini Wira memiliki banyak kekurangan dengan jari-jari baru sembuhnya. Tentunya, dari segi teknik serta cara bermainnya akan berbeda. Wira harus belajar lagi, lagi, dan lagi.

"Kamu ini uda mau pergi masih ngajak berantem," kata Nara, dia cemberut. Tangan gadis itu melipat baju-baju Wira ke dalam koper. "Perasaan waktu datang ke sini kamu cuma bawa tas buluk itu, pulangnya bawa koper besar," Nara mengomel.

"Ya kan gara-gara lo yang ngajakin dan beliin gue baju tiap keluar―"

"―Baju dari aku bisa ditinggal di sini aja. Kamu kan punya baju banyak di Jakarta," potong Nara enggan kalah.

"Kenapa minta gue ninggal baju? Hm, pasti biar lo punya alasan buat minta gue balik atau kalau gue ke sini sewaktu-waktu bisa nginep tanpa bingung baju ganti," goda Wira yang kala itu memakai celana training norak berwarna hijau neon dan kaus merah muda.

"Ih ge-er!" Nara memukul Wira.

Wira cengengesan. "Gak apa-apa, Nara. Kalau lo kangen gue, tinggal telepon aja. Gue pastikan segera ke sini―"

[Selesai] Perfectly Imperfect Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang