30. Ketenangan Yang Sebentar

3.9K 394 239
                                    


-Huhuhu Wattpad lagi error jadi gak bisa upload gambar. Padahal pengen pasang foto Pak Javas dan Bu Nayyara 😣

-oOo-

"Setelah menikah, bukan berarti semuanya bakal selesai dan hidup bahagia selamanya. Tentunya, masih ada krikil sebesar dinosaurus yang kadang harus kita lewati, Sayang."

-oOo-

“Aduh, duh duh sayang geli,” keluh Javas karena Nara masih mencubitinya.

Nara kesal karena Javas justru senyum-senyum melihat sang istri cemburu. Nara tadi sudah melakoni adegan kabur dari acara pernikahan Wira dan Aria. Dia hendak pulang sendiri, tapi Javas tiba-tiba menyusul pun menarik Nara ke mobil mereka yang terparkir di basemen hotel. Nara yang kesal melampiaskan dengan mencubit dada Javas. Terlihat seperti wanita mesum, namun kelemahan Javas ada pada dada.

“Kamu nyebelin! Kenapa coba datang ke pesta sama Aruna?” Tanya Nara emosional. Dia mengabaikan surainya yang berantakan akibat menyeruduk Javas. “Kamu juga tidak ijin ke aku,” lanjut Nara sambil mencubit Javas lagi kali ini di lengan. “Eh, ya ampun, Chatu!” Ups, tanpa sengaja Nara mencakar lengan Javas. Ada darah di luka goresan itu.

“Sayang, sakit,” perkataan Javas berlainan dengan ekspresinya yang tersenyum lebar. Javas mengabaikan cakaran Nara, ia justru semakin mendekati istrinya dan tidak kapok.

“Chatu, kamu sinting ya? Kenapa malah senyum-senyum?” Nara yang khawatir melihat Javas berdarah.

Hm, ini kayaknya adegan berdarah yang dimaksud Theo tadi.

“Aku kan sudah ijin sama kamu,” balas Javas yang membuat Nara menjambaknya. Meskipun Nara merasa kasihan dengan Javas yang tercakar, Nara tetap tidak bisa menerima kebohongan! Sudah jelas dia pergi sama Aruna dan Nara tidak merasa Javas pernah bicara kepadanya perihal itu.

Nara semakin menarik surai Javas sampai rasanya mau lepas. Javas mulai merintih. Pak Javas yang terhormat bisa botak mendadak kalau begini ceritanya. Eh, tapi kalau yang bikin Javas botak itu Nara, dia rela.

“Sayang perih nih,” rengek Javas. Sebenarnya tidak seberapa sakit hanya saja Javas ingin manja sedikit.

“Bodo amat!” Nara malah mencubit dada Javas lagi.

Astaga, apa ini dapat dikategorikan sebagai kekerasan di rumah tangga? Tapi, Javas tampak bahagia dianiaya istrinya. Hmmm.

Mereka sudah main cubit-cubitan hampir sepuluh menit sampai Javas lupa cara berhenti tertawa. Nara semakin kesal, keringatnya mulai banyak. Javas yang paham pun segera membalik keadaan.

“Sayang, dengerin aku dulu,” Javas menangkap tangan Nara. Dia mencium punggung tangan istrinya. “Aku sudah pamit bakal datang dengan sepupuku. Kamu lupa, ya?”

Nara menarik tangannya dari rengkuhan Javas. Dia mendengus. “Iya, aku gak lupa. Masalahnya, kamu datangnya bukan sama sepupu kamu, tapi Aruna!” Nara dongkol. Padahal, biasanya Nara dapat menyembunyikan rasa cemburu dengan sangat rapi.

“Aruna itu sepupu aku,” gumam Javas.

“Bohong.”

“Sepupu jauh, tapi kami masih satu generasi. Dia anak Om Jaya sama istri keduanya.”

Hah?”

“Om Brawijaya Mavendra berselingkuh dengan wanita Ekandata. Jadilah Aruna.” Javas menghembuskan nafas kasar. Dia lalu melanjutkan,
“Kami menyebutnya saudara jauh sebab Aruna lahir dari pernikahan tidak resmi. Aku sering ketemu Aruna karena dia ingin akrab dengan saudaranya yang lain, Theo, Thiery, dan Theresia. Tapi, Theo terlalu membenci Aruna.”

[Selesai] Perfectly Imperfect Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang