21

41 6 2
                                    

Hari ini, Kwonjoo kembali melakukan sesi konseling bersama dengan Fater. Namun, kali ini ada yang sedikit berbeda. Kwonjoo tidak melakukan sesi ini sendirian, melainkan bersama dengan keempat rekan Tim Golden Time-nya. Mereka melaksanakan sesi konseling bersama itu di salah satu ruangan yang ada di bangsal psikiatri.

"Baiklah semuanya, terima kasih untuk hari ini." Fater menepuk tangan sekali sambil tersenyum, kemudian memandang berkas file yang diletakkan di atas meja. "Bagaimana jika kita melanjutkan sesi berikutnya di minggu depan?"

"Ya, semoga saja tidak ada kasus darurat saat itu," balas Joongki sembari tertawa kecil. Punggungnya dipukul pelan oleh Gwangsoo.

"Jangan mengatakan hal yang aneh-aneh, hyungnim," balas Gwangsoo.

"Baiklah, kalau begitu kami permisi dahulu. Sampai jumpa, Direktur Kang," ucap Eunsoo, yang lain pun ikut mengucapkan salam perpisahan. Kwonjoo mengangguk kecil sembari tersenyum membalas mereka.

"Anda juga bisa beristirahat untuk hari ini, Nona Kang," ujar Fater kalem.

"Ah, baiklah. Sampai jumpa dokter Fater, Perawat Jang."

Yeoul yang memang sejak tadi berada di belakang Fater untuk membantu sang dokter itupun ikut membalas ucapan Kwonjoo dengan riang. Setelahnya, dirinya kembali mencatat sesuatu di papan dadanya.

"Sepertinya Nona Kang terlihat semakin membaik," celetuk Yeoul usai menulis.

Fater mengangguk-angguk pertanda setuju. "Jika perkembangannya terus berlanjut seperti saat ini, bisa saja dia keluar di awal tahun nanti."

"Benarkah?"

"Tentu saja. Tak baik baginya untuk terus berada di tempat ini padahal kondisinya sudah jauh lebih baik dibanding sebelumnya," ucap Fater. Namun, ekspresinya sedikit surut saat ia membaca berkas yang ada di tangannya. "Namun, sepertinya Nona Kang masih belum menuntaskan masalahnya terutama hubungannya dengan teman lamanya. Bagaimana menurutmu, Perawat Jang?"

"Sepertinya memang begitu. Nona Kang terlihat sedikit berbeda setiap kali pembahasan tentang rekan lamanya muncul," ucap Yeoul sembari membuka laporan miliknya.

Fater hanya mengangguk-angguk mendengar ucapan sang perawat muda. Dirinya juga sempat beberapa kali mengamati Kwonjoo yang terkadang menghindari atau terlihat tak nyaman setiap membahas tentang rekan lamanya, termasuk yang ia amati ketika sesi konseling bersama rekan sesama polisinya. Meskipun sesi terapi yang ia berikan menunjukkan hasil yang sangat baik, tetapi Fater merasa dirinya perlu melakukan hal lain untuk membantu menuntaskan masalah Kwonjoo sebagai pasiennya sepenuhnya.

Helaan napas kecil keluar dari mulut Fater. "Sepertinya aku bisa sedikit berdiskusi dengan Tuan Baek."

Fater bangkit dari duduknya dan sedikit merapikan pakaian serta jas dokternya yang agak kusut. Saat menegakkan tubuhnya, matanya menangkap ekspresi Yeoul yang terlihat ingin menanyakan sesuatu.

"Uhm, omong-omong soal Tuan Baek ... Apakah dia juga bisa keluar? Berdasarkan pemeriksaan terakhir, dia juga sudah jauh membaik dibanding saat dia baru masuk. Selain itu, kemarin Anda bilang halusinasi Tuan Baek menghilang, bukan?"

"Benar," Fater mengangguk sekali. Matanya menerawang ke arah pintu. "Namun, kau juga tahu jika seseorang yang masuk ke bangsal ini atas keinginannya sendiri dapat memutuskan sendiri kapan ia keluar. Tuan Baek ... mungkin masih ada alasan mengapa dirinya masih bertahan di sini."

.

.

.

Senyuman tipis terukir di bibir Kwonjoo sepanjang langkahnya menyusuri koridor. Tak segan ia menyapa setiap orang yang berpapasan dengannya. Entah mengapa, Kwonjoo merasa kondisi hatinya akhir-akhir ini tak sesuram sebelumnya. Jika saat pertama kali datang Kwonjoo hobi melamun sembari memandang jendela, kini dirinya mulai sering jalan-jalan menyusuri koridor dan sedikit bercengkerama dengan perawat maupun pasien lainnya.

Termasuk menyapa seseorang yang terlihat amat menyendiri di sudut kursi.

"Halo, Nambong-ssi."

Yang dipanggil hanya sedikit mengangkat kepala bersurai putih cepak berantakannya, memandang Kwonjoo sekilas, dan kembali berfokus pada rubik mainan di tangannya. Kwonjoo sama sekali tak ambil pusing dengan sikap acuh tah acuh pria itu dan memilih duduk di sebelah Nambong, dengan sekat pemisah satu kursi di antara mereka. 

"Ada yang ingin kau tanyakan?" celetuk Nambong saat menoleh sekilas ke arah Kwonjoo. 

"Sejenak, kupikir Anda bisa membaca pikiran," canda Kwonjoo sembari terkekeh pelan.

"Tak ada hal semacam itu," Nambong memutar bola matanya bosan. "Mood-mu sepertinya terlalu membaik setelah bertemu dengan rekanmu, huh?"

"Benarkah?" Kwojoo memandang kosong dinding di hadapannya. Senyuman tipis tersungging di bibirnya. "Yah, sepertinya begitu ...."

"Omong-omong soal itu ...," Kwonjoo kembali menatap Nambong dengan raut penasaran. "Sepertinya selama ini saya tak pernah melihat seseorang mengunjungi Anda."

Sedetik kemudian, Kwonjoo menyadari apa yang ditanyakannya dan seketika tersentak. "Ah, maafkan saya kalau itu adalah pembahasan yang sensitif—"

"Aku menolak mereka semua."

"Eh ...?"

Kwonjoo mengatupkan bibirnya saat Nambong tak menjawab pertanyaannya yang terakhir. Keduanya hanya terdiam selama beberapa saat.

"Perasaan bersalah itu sungguh menyiksa, bukan?"

Kali ini Nambong menoleh ke arah Kwonjoo. Wanita itu tengah memandang kosong ke depan. Nambong bisa melihat cukup jelas ekspresi yang muncul pada Kwonjoo. Sebuah ekspresi yang sangat jelas di mata Nambong, tetapi sangat rumit untuk dirasakan.

"Meskipun banyak orang yang mengatakan bahwa hal yang sudah terjadi bukanlah kesalahan kita sepenuhnya, rasa ingin menyalahkan diri sendiri itu sangat sulit untuk dihindari. Setiap kali gagal menyelesaikan panggilan darurat, kehilangan orang-orang terdekatku ... perasaan itu selalu saja muncul."

"Bagaimana dengan Anda?" tanya Kwonjoo, membalas tatapan lurus Nambong. Sejenak, Nambong menutup kelopak matanya.

"Selama hampir tiga puluh tahun, aku tak tahu rasanya memiliki emosi semacam itu," gumam Nambong. "Dan saat mengetahuinya ... Aku tak yakin apa aku bisa menerimanya."

Senyuman tipis tersungging di bibir Kwonjoo.

"Meskipun begitu, bukankah perasaan-perasaan itu sedikit membuktikan bahwa kita adalah manusia yang masih memiliki hati?"

.

.

.

Singkat? Aneh? Yah, begitulah.

Jujur saja, aku sedikit merasa demotivasi semenjak bab kemarin di-update. Karena pusing menentukan alur cerita selanjutnya dan sulit buat nyari beberapa referensi, rasanya semakin sulit buat nulis panjang lebar. Belum lagi terbayang-bayang ujian akhir yang pasti bakal dihantui tugas, bayanginnya aja udah pusing.

Enggak, ini bukan pernyataan mau hiatus lama, kok (semoga saja), tetapi aku cuma mau curhat aja sih, wkwkwk.

(Kenyataan: pengen rebahan santuy doang)
/plak

Yap, balik ke pembahasan cerita. Kalau nggak ada banyak perubahan signifikan, harusnya sekarang kita sudah berada di titik balik konflik, dimana saatnya permasalahan-permasalahan yang dialami Kwonjoo maupun Nambong mulai terselesaikan satu persatu. Jadi, aku butuh riset tambahan untuk menyelesaikannya. Contohnya seperti teknik konseling kelompok apa yang cocok diberikan untuk GTT. Jujur, aku masih belum menemukan bayangan yang pas, mungkin ada yang ingin sharing denganku amat sangat boleh 😁

Sekian untuk kali ini, stay safe and see you all~~ 😊😊

Guilty - Dr. Frost x VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang