22

79.6K 5.8K 301
                                    

Meninggalkan Indonesia melegakan untuk Alana, negara yang penuh dengan kenangan buruk memang cocok untuk ditinggalkan tapi bukan berarti ia tidak merindukan negara kelahirannya tersebut. Ia rindu suasananya, orang-orangnya dan semua kenangan indah dirinya bersama Azkil.

4 bulan tinggal di Australia membuat Alana bahagia, berada di antara keluarga Varel yang hangat begitu nyaman, ia bahagia berada di sini rasanya sudah tidak ingin kembali.

Hari-hari Alana begitu menyenangkan. Saat pagi ia membantu Safira —ibu Varel— di kafe, setelah pulang dari Kafe, ia bermain dengan Zio —adiknya Varel— yang berumur lima tahun.

Seperti saat ini Alana sedang menemani Zio mengerjakan pr matematika yang diberikan oleh gurunya tadi pagi.

"Zio, 1+1 bukan 11 tapi 2," Alana berkomentar terhadap hasil pekerjaan Zio. Sementara Zio mengerutkan keningnya bingung karena setahunya satu ditambah satu sama dengan sebelas.

"Ganti jadi 2, Zio!"

Zio menggelengkan kepalanya. "Kata abang, jari telunjuk kiri dan jari telunjuk kanan kalau disatukan jadi bentuk 11."

Varel ikut bergabung bersama Alana dan Zio dengan membaca 3 cangkir cokelat hangat. Ia tidak bisa menahan tawanya mendengar ucapan Zio.

"Rel, kamu jangan sesat. Ajarin yang benar. Masa 1+1 sama dengan 11!"

Varel semakin tidak bisa menahan tawanya membuat Alana mendelik kesal dan kembali menatap Zio.

"Setelah angka 1 ada angka apa Zio?"

Tanpa berpikir lama Zio langsung menjawab. "2!"

"Nah, jari telunjuk kanan 1 dan jari telunjuk kiri 1 kalau digabung jadi berapa?"

"2."

Alana mengangguk mengacak gemas rambut gantengnya Zio.

"Zio nggak mau belajar lagi sama Abang. Abang sesat."

Sekarang bukan saja Varel yang tertawa ia juga ikut tertawa.

"Zio, nanti mau ikut kakak cek jenis kelaminnya dedek bayi?"

Mata Zio langsung berbinar bahagia dan mengangguk antusias. "Mau, kak. Zio harap nanti cewek biar bisa Zio cium setiap hari."

Varel langsung menjitak kepala adiknya itu membuay Zio meringis. "Nggak boleh main cium anak orang."

"Kenapa? Mama sama papa aja sering cium, 'kan Zio juga pengin merasakan manisnya bibir seorang cewek. Kalau Zio cium teman cewek Zio nanti Zio akan ditampar tapi kalau Zio cium dedek bayi nggak mungkin ditampar 'kan masih bayi."

Mulut bawel Zio menjadi hiburan tersendiri untuk Alana, anak kecil yang baru berumur 5 tahun tapi pikirannya seperti orang dewasa dan gaya bicaranya pun seperti orang dewasa, entah dia belajar dari mana. Yang jelas Zio ini tampan dan menggemaskan.

"Kalau dedek bayinya cowok Zio nggak mau cium?"

"Enggak, 'kan Zio masih normal, nggak suka sesama jenis."

"Zi, makanya tontonannya kartun aja jangan film barat, biar otaknya nggak geser!" ujar Varel mendapat pelototan tajam dari Zio.

"Kan Zio cuma ikutan Abang," bela Zio.

Alana tertawa terbahak-bahak mendengar perdebatan kakak beradik ini. "Makanya Rel, ajarin yang benar adiknya."

Varel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sebenarnya ia tidak menonton film bokep atau semacamnya, ia hanya menonton filn-film romance, nah pasti ada satu dua scene muncul adegan dewasa dan itu yang kadang meracuni otak polos Zio.
Varel sudah melarangnya tapi dasar Zionya saja yang susah dibilangin.

Alana (Sudah Terbit) ✔Where stories live. Discover now