03 | Gadis Ekspatriat

103K 9.1K 519
                                    

It's hard to wake up

from a nightmare

if you aren't even

asleep.

(j.s)

⏱️


Prama Ilyas sedang duduk di kursi kebesarannya, membaca beberapa dokumen yang harus ia tangani sebelum visit pukul lima sore nanti. Namun, kegiatannya harus terhenti ketika seseorang mengetuk pintu ruangan pribadinya. Dari balik pintu sesosok pemuda muncul, tersenyum letih ke arahnya.

Butuh beberapa detik bagi Prama untuk mengenali Mahesalah yang datang menemuinya. Setelah sekian lama memutus kontak, akhirnya pemuda itu menemuinya lagi. Prama bangkit, lantas merentangkan kedua lengannya untuk menyambut kedatangan pemuda tersebut. Anak dari sahabat lamanya, Geraldi Januar.

“Apa kabar kamu? How about Baltimore? Betah kamu di sana?” tanyanya seraya mengiring Mahesa untuk duduk di sofa, sementara ia menghampiri telepon untuk meminta seseorang membawakan dua cangkir kopi.

“Lebih suka di Indonesia, Om,” jawab Mahesa diplomatis. Pemuda itu melirik pada foto yang terpajang di dinding. Senyum tercetak di bibirnya mengingat pertemuannya dengan seorang gadis siang kemarin.

“Kenapa nggak bilang sama Om, kamu sudah pulang? Kan  bisa Om jemput.”

“Nggak mau ngerepotin, Om.”

“Siapa yang bilang merepotkan? Kamu udah Om anggap anak sendiri.”

“Saya bahkan lebih sering merepotkan Om, daripada Papa.” Esa mengatakannya sambil tersenyum, namun ada getir dalam suaranya.

Prama menatap pemuda di hadapannya tidak tega. Beruntung tak lama kemudian pintu diketuk, seseorang mengantarkan kopi yang Prama pesan sebelumnya. Selepas mengucapkan terima kasih, Prama berdeham untuk memghilangkan atmosfer sendu sebelumnya.

“Om sama Tante apa kabar?” tanya Mahesa, bukan sekadar basa-basi, ia sungguh peduli.

“Alhamdulillah baik, Tante juga masih ceriwis kayak dulu, kangen sih nggak pernah di hubungi sama kamu.” Prama tertawa kecil, yang dibalas Mahesa dengan senyuman. Senang rasanya mendengar keluarga kecil itu bahagia.

“Kemarin saya ketemu Azalea, Om nggak cerita dia kuliah di kampus saya?”

“Kamu sendiri yang susah sekali dihubungi, jangankan cerita soal Azalea menanyakan kabar Om saja tidak pernah.”

Raut Mahesa yang awalnya kaku, semakin mengendur. Ada hangat yang menjalar setiap kali berbincang dengan Prama. Rasanya seperti berbincang dengan Ayahnya sendiri. “Maaf Om.”

“Nggak masalah, asal tetap rajin menghubungi Om ya.” Prama menyesap kopinya, lalu menoleh ke arah Mahesa. “Kamu masih nggak berniat main ke rumah Om, atau bertemu Tante, Sa?”

Pertanyaan Prama otomatis membuat Mahesa menatap foto keluarga yang tadi sempat ia lirik. Foto yang mau tak mau membuatnya teringat soal kedatangan Ken. Tak banyak kenangan yang tersisa dalam ingatannya mengenai keluarga tersebut, namun yang jelas ia ingat sosok Kinara Ilyas. Wanita itulah yang memeluknya ketika ia tak pernah mengenal sosok Mama. Wanita itu juga yang mengecup puncak kepalanya, seraya berkata bahwa segalanya akan baik-baik saja, Wanita itu yang pernah mengatakan bahwa Mahesa masih memiliki keluarga Ilyas sebagai tempatnya berteduh.

About ForeverWhere stories live. Discover now