06| Harga Sebuah Maaf

71.3K 7.6K 615
                                    

It's okay to fell broken,

To want to

Destroy everything in sight.

To tear things from the walls

Because nothing should be able

To be intact,

While you're shattered, screaming

To everyone who doesn't listen.

(a.e.b)

⏱️

Cahaya itu menyelinap di balik tirainya, menyebar di seluruh ruangan sebelum akhirnya sampai pada rentina mata Mahesa. Butuh waktu yang lama sampai dirinya mampu beradaptasi dengan cahaya. Ia mengedarkan mata ke seluruh penjuru kamarnya, lalu meringis saat merasakan sakit luar biasa di kepalanya.

Keramaian di luar kamar, membuatnya memaksakan diri untuk menyeret kakinya turun dari tempat tidur. Namun, langkahnya terhenti ketika ia lihat Ken berdiri, wajahnya babak belur, tapi seringai tak lepas dari bibirnya.

“Ken...?” Mahesa mencari suaranya yang lenyap entah kemana.

“Lo nggak pernah bilang kalau Azalea kuliah di kampus lo?”

Wajah Mahesa sontak kaku mendengar kalimat Ken. “Tahu darimana?”

Bukan jawaban yang Mahesa dapatkan, justru hantaman pada wajahnya. Tubuhnya terlempar di atas karpet, terguling bersama tubuh Ken. Selanjutnya tanpa mampu Mahesa cegah, Ken menghajarnya tanpa ampun.

⏱️

Geraldi Januar sudah tak ingat kapan terakhir kali ia datang ke rumahnya atau menemui putranya. Terlalu banyak luka di sana, hingga baginya menjauh adalah hal terbaik daripada membunuh.

Pria dingin itu disambut oleh Rendra, sekertaris kepercayaannya. Rendra menjelaskan ulah yang di perbuat anaknya sehingga ia harus turun tangan datang ke sini. Secara garis besar, dapat ia simpulkan, bahwa Ken nyaris membunuh dua belas orang di rumah sakit, empat orang petugas keamanan dan delapan sisanya anak buahnya.

“Delapan orang habis hanya untuk menghadapi satu biang onar? Kalian saya pekerjakan untuk apa? Nonton bola sambil minum kopi?” tanyanya dingin membuat kepala semua pelayannya di sana tertunduk.

Pria itu menghisap cerutunya dalam-dalam, sebelum menghembuskan kepulan asapnya ke udara. Sekilas sesak melintas di dadanya ketika ia menangkap lukisan ia dan istrinya di ruang tamu.

Apa kabar Rosalinenya? Mawar merahnya? Tahukah ia bahwa pria superpower ini selalu merindukannya?

Geraldi memejamkan matanya, mengeraskan hatinya. Lebih dari dua puluh tahun berlalu, namun lukanya belum sembuh. Ada ngilu melintas di jantungnya. Cintanya perlahan-lahan membunuhnya.

Jika sudah begini, Geraldi Januar membutuhkan pelampiasan. Alkohol dan cerutu selalu menjadi sahabatnya, namun kali ini ada yang lebih berhak untuk menerima bentuk cintanya.

“Dimana dia?” tanyanya dingin.

“Di kamar Tuan Muda Mahesa, Tuan.”

“Rendra, ambil barang saya, saya perlu berbincang-bincang lebih lama dengan putra kesayangan.”

About ForeverDonde viven las historias. Descúbrelo ahora