38 | Permintaan Terakhir

45K 5.9K 926
                                    

My demons are screaming louder,

trying to eat away the rest of me.

And this time,

i'm not going to fight back.

(d.j.k)

⏱️

Mungkin mereka harus menyebutnya sebagai sebuah mukjizat. Atau bisa juga keajaiban yang tak ada habisnya.

Dokter memang belum bisa mengatakan bahwa Mahesa sembuh total. Fisioterapis yang menangani Mahesa tak bisa menjamin apa-apa, namun setidaknya lima panca indra pemuda itu berfungsi dengan baik.

Mulanya Dokter mengira bahwa Mahesa akan mengalami kerusakan tengkorak, atau amnesia permanen. Tapi ternyata tidak, Mahesa hanya mengalami gagar otak ringan. Kelumpuhan dan amnesia yang sempat ia alami hanya bersifat sementara.

Selama di rumah sakit, Lea rutin mengunjungi pemuda itu, bahkan ia sering ikut menemani Mahesa melakukan terapi. Untuk orang yang menderita koma selama empat bulan, pemulihan Mahesa terhitung cepat. Sesekali, Kania dan Bryan ikut menjenguk, sekadar membawakan makanan atau menceritakan postingan terbaru akun lambe kampus.

Seperti siang ini, padahal Lea sudah memperingatkan Kania dan Bryan untuk tidak mengunjungi Mahesa, karena pemuda itu butuh istirahat. Tapi, siapa memangnya yang bisa menahan kelakuan semena-mena mereka berdua?

"Hallo Kak Esa!" seruan Kania membuat Lea dan Mahesa sontak menoleh. Lea mendelik ketika Bryan dan Kania menghampiri Mahesa dengan heboh.

"Kan udah gue bilang, lo berdua nggak usah jenguk hari ini!" Lea berkacak pinggang menatap dua temannya, yang dihadiahi mereka dengan cibiran.

"Ih, orang kita mau jenguk kak Esa, bukan jenguk lo kok! Lagian memang kenapa sih, kita nggak boleh jenguk?" Kania melayangkan protesnya pada Lea.

"Lo berdua nggak sadar? Kalau kalian ada tuh Esa nggak bisa istirahat!" Lea berdecak sebal, lantas melirik tumpukan mainan yang tergeletak di atas meja dekat sofa. "Lupa ya, orang lagi sakit malah diajak main UNO, monopoli sampai ular naga panjang?"

Kania dan Bryan langsung merapatkan bibir mereka. Mereka lupa masalah yang satu itu.

"Yaudah sih, itu kan bagian dari terapi! Menghibur! Ya nggak kak Esa?" Kania menaikkan sebelah alisnya.

"Betul tuh!" Bryan mennganggukan kepalanya kalem.

Sejak kembali dari rumah Mahesa, Bryan memang banyak berubah. Pemuda itu jadi jauh lebih pendiam. Begitu pula dengan pakaian dan cara berbicaranya. Pengakuan gamblangnya kepada Kenandra membuat Bryan bertekad untuk kembali menjadi laki-laki tulen. Ia bahkan kembali mendaftar terapi yang dulu sempat ia tinggalkan.

Bisa dibilang, Kenandra mengubah hidupnya, mengembalikan Bryan pada rel yang benar.

"Nggak apa-apa Lea, saya senang mereka datang," ujar Mahesa seraya melempar senyum ke arah Kania dan Bryan.

Lea masih ingin mengomel ketika ponselnya tiba-tiba berdering, nama Papanya tertera sebagai pemanggil.

"Hallo iya, Pa?" tanya Lea seraya menjauh dari ketiganya. Setiap menerima panggilan dari Ayahnya, Lea sebisa mungkin menjauh dari Mahesa, meminimalisir kemungkinan pemuda itu mendengar percakapan mereka.

"Kamu di rumah sakit, Le? Papa mau bicara penting," kata 'penting' yang Papanya ucapkan membuat Lea otomatis melirik ke arah Esa. Pemuda itu masih tertawa bersama Kania dan Bryan.

About ForeverWhere stories live. Discover now