33| Melawan Dunia

47.5K 5.6K 826
                                    

I love you against reason,

against promise, against peace,

against hope, against happiness,

against all discouragement that could be.

(Charles Dickens)

⏱️

Seminggu berlalu sejak kehadiran Rully di kamarnya, seminggu itu pula waktu yang Lea habiskan untuk memasuki babak baru dalam tahap patah hati miliknya sendiri.

Jika selama ini orang mengenal konsep patah hati dengan menolak kenyataan, kemarahan, lalu menerima, maka Lea tak lagi mengenal konsep yang sedemikian rupa.

Penolakan kenyataan dan kemarahan telah ia lewati dalam satu waktu. Kini, gadis itu sudah berdiri di tahap yang lebih ekstrem. Lea tengah berpura-pura bahwa tak pernah ada yang terjadi.

Gadis itu bangkit dari ruang gelapnya, memunguti keping demi keping kekuatannya. Melangkah seperti ia tak pernah mengenal sosok Ken ataupun Mahesa. Lea membangun kepompong dalam dunianya sendiri. Ilusi bahwa badai yang baru saja memporak-porandakan hidupnya beberapa hari belakangan hanya seringan angin yang berhembus di musim gugur.

"Gila kali ya! Ini matkul statistik kapan selesainya, sih?!" Lea mengacak rambutnya sebal, merepet pada tabel angka yang berderet di hadapannya. Alisnya berkerut-kerut mencoreti beberapa kolom di bukunya.

Kania dan Bryan yang belakangan ini selalu mengekor hanya saling melempar pandangan sebelum mengedikkan bahu mereka.

"Le, tugas itu kan udah lo kerjain dari kemarin." Kania menunjukan kolom tabel yang sudah terisi, berikut kesimpulan soal yang berbaris di bawahnya.

"Eh? Memang ya? Kok gue nggak sadar?" Lea tertawa hambar, meneliti buku di hadapannya. Kania benar, tak ada lagi soal yang tersisa. "Hahaha, yaudah kalau gitu gue kerjain apa ya? Tes TOEFL aja kali ya? Apa Pertekom?" racau Lea lagi seraya mengacak-acak buku di hadapannya.

"Itu juga udah."

"Kan, giliran gue udah rajin aja, nggak ada yang bisa dikerjain!" Lea menyentakkan kepalanya sebal, bibirnya mengerucut. Tapi hanya sedetik sebelum matanya kembali berbinar-binar.

"Kita ke karaoke aja, gimana?!" seru Lea dengan mata menyala-nyala, persis anak yang terobsesi pada wahana Dufan.

Kania dan Bryan lagi-lagi berpandangan, lalu menghembuskan napas pelan. Sejak Lea kembali berkuliah, gadis itu seperti berusaha melarikan diri dari dunia realitas. Lea mencoba mendobrak berbagai dinding yang mengukungnya dalam kesedihan. Tapi bukan berarti Lea dengan gagah berani menghadapinya.

Gadis itu menyibukkan kepalanya dengan soal-soal dan tugas kuliah, sehingga dosen dan soal bisa menjadi pelampiasan segala kemarahannya. Lalu, ketika tak ada lagi tugas maupun soal yang tersisa, setiap pulang kuliah, Lea akan menyeret Kania dan Bryan menuju bilik karoke, ia akan bertingkah seolah ia adalah gadis paling bahagia di dunia, sebelum setelahnya, ketika Kania dan Bryan yang mengambil alih microphone Lea akan duduk di pojok ruangan sambil menatap kosong ke arah gelas minumannya.

Seperti sebuah kaset lama yang sengaja di replay berulang kali, kegiatan Azalea pun berputar di sekelumit kejadian yang serupa. Tak ada perubahan dari hari ke hari.

"Gimana Ian? Kania?" Lea menatap kedua sahabatnya dengan sorot memohon. "Yayaya?"

Bryan tersenyum lalu menepuk tangannya. Baiklah, jika Lea ingin melarikan diri, maka ia dan Kania akan menarik tangan Lea dan berlari bersamanya.

About ForeverWhere stories live. Discover now