07 | Pijar dari Mata Cokelat

68.6K 7.8K 371
                                    

I had never been at peace

with my own reflection,

untill i saw it

in your eyes.

(Renata Suzuki)

Harapan Azalea untuk bertemu dengan Mahesa di kampus nyatanya juga tidak terkabul. Pemuda itu tidak masuk kuliah, bahkan sampai satu minggu kemudian. Sebisa mungkin Lea menyembunyikan kekhawatirannya, tapi Bryan dan Kania tahu alasan Lea berlama-lama di perpustakaan atau makan siang di kantin bersama setiap hari.

“Masih nyariin juga?” tanya Kania seraya membuka kotak makannya di atas meja. Seperti biasa, hari ini mereka kembali makan di kantin, namun Mahesa tetap belum terlihat batang hidungnya.

“Ada dijudesin, nggak ada dikangenin, gimana sih dese?” kini giliran Bryan yang berbisik, membuat Lea mencebikkan bibirnya kesal.

“Apa sih? Siapa juga yang nyariin Mahesa?”

“Loh, kita kan nggak nyebut Mahesa ya, Yan?” dengan wajah polos Kania menoleh pada Bryan yang dijawab Bryan dengan anggukan setuju.

Lihat kan, kalau soal begini aja, kompak.

Lea baru saja ingin menggerutu, ketika matanya menangkap sosok seorang. Pemuda itu tengah berjongkok, memberi seekor kucing makanan, tangannya yang bebas bergerak-gerak mengusap kepala kucing kampung tersebut dengan sayang. Dari tempatnya, dapat Lea lihat bagaimana kelembutan terpancar dari mata Mahesa.

Kania dan Bryan yang tadinya tak peduli, akhirnya mengikuti arah pandang Azalea, karena gadis itu terpaku dengan sorot mata kagum.

“Astaga dragon, udah ganteng panjang umur lagi itu lekong, baru diomongin udah nongol. Pengen dong jadi kucingnya, dielus-elus manja.”

Tepat setelah Bryan mengatakan kalimat tersebut, Mahesa menoleh. Seperti de javu dua mata gelap itu langsung tertuju pada manik mata Azalea. Mahesa menyugar rambutnya, sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman.

“Astagfirullah, itu orang gantengnya nggak pake Bismillah, ya?”

Tak ada yang menyahut Kania, Azalea terlalu fokus pada keterkesimaannya. Dalam bentuk kata apapun, tak bisa Azalea jelaskan apa yang membuat Mahesa begitu tampak ethereal. Tak nyata. Terlalu indah untuk menjadi suatu yang kasat mata.

Azalea tak tahu, bahwa di tempatnya berjuta pikiran di kepala Mahesa berkecamuk. Ia tahu, bahwa setelah Ken menemukan Azalea, maka ada banyak hal yang mungkin akan berubah.

Mungkin ia harus menebas jarak, atau justru mungkin ia berdiri di samping Azalea, menjaga gadis itu dari cerminan dirinya sendiri. Dari seseorang yang paling dekat dan paling mengenalnya, namun juga bisa jadi paling menginginkan kematiannya.

“Hai,” dengan kikuk Mahesa menyapa Azalea, meskipun kekakuan itu hanya ia yang merasakannya.

Azalea mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum kesadarannya pulih sempurna. Sebisa mungkin ia menyembunyikan senyumannya.

Judes harus konsisten, bos!

“Ya?”

“Masih ada kelas?” tanya Mahesa yang dijawab Lea dengan gelengan kepala.

“Nggak ada. Kenapa?”

Mendengar kalimat Lea, Bryan dan Kania sontak melotot.

Icikiwir, nggak mungkin kan dese mau cabut lagi?

About ForeverDove le storie prendono vita. Scoprilo ora