40 | Tak Pernah Ada Hari Esok

47.6K 6.4K 1.8K
                                    

Saying goodbye

made me realise

that forever with you,

was the most beautiful lie

I could ever have

hoped to be true.

(Niocra Kladsflem)

⏱️

Azalea tiba di rumah sakit lebih pagi dari biasanya. Senyumnya terekah lebar, begitupun pedar matanya yang cemerlang. Sekilas, tak akan ada orang yang menyadari bahwa gadis itu terjaga semalaman.

"Kamu sudah siap?" Lea melongokan kepalanya ke kamar perawatan Mahesa. Menyapa riang pemuda yang tengah mengancingkan pergelangan kemejanya.

Pagi itu, tubuh tegap Mahesa dibalut oleh kemeja denim berwarna gelap. Rambutnya yang hitam mengkilap jatuh sempurna di kening pualamnya. Tak ada jejak pasien di sosoknya. Mahesa tampak sempurna, seperti pemuda yang dulu mengembalikan ponselnya.

"Sudah, tadi Om Prama juga sudah mengecek keadaan saya," ujar Mahesa seraya mengenakan jam tangannya. Seperti yang direncanakan, Mahesa dan Lea akan jalan-jalan ke Dufan. Namun, mengigat kondisi Mahesa, beberapa perawat dan pengawal sudah disiapkan untuk membuntuti beberapa meter di belakang mereka.

"Yaudah, yuk!" Lea berseru semangat. "Kita harus mampir ke suatu tempat dulu, habis itu baru deh kita main di Dufan, nanti sebelum pulang kita sempatin lihat sunset di—"

Kalimat Lea terputus, ketika Mahesa menggenggam tangannya. Jemari pemuda itu menyelinap di sela jari-jarinya. Terasa pas dan begitu hangat.

"Bawa saya kemana pun kamu mau, Lea." Mahesa tersenyum lembut. "Kemana pun kamu pergi, saya ikut."

Lengkungan bibir Mahesa, seberkas sinar mentari yang menyelinap di balik tirai, serta sorot mata yang Mahesa layangkan, membuat Lea terhenyak untuk sesaat.

Ada gemuruh yang bergema dalam dadanya. Napas Lea tersekat, hanya untuk menyadari bukan Mahesalah yang berdiri di sampingnya.

Beberapa detik terlewat, sampai Lea mengeratkan genggaman tangan mereka, lantas tersenyum penuh kelembutan.

Iya, akan saya bawa kamu, kemana pun saya pergi, Kenandra.

⏱️

Taman pemakaman itu masih hening. Embun belum sepenuhnya lenyap dari atas rerumputan. Bau petrichor menguar di udara, menguap bersama mentari pagi yang masih terasa hangat.

Berbeda dengan beberapa bulan yang lalu, kini petak makam yang ia singgahi tak lagi tampak terawat. Batu nisannya kusam, bunga lilynya telah kering. Mungkin karena orang yang biasa merawatnya kini mendekam di balik jeruji penjara.

Lea berjongkok, untuk mencabuti rumput liar yang mencuat di atas gundukan tanah. Lima belas tangkai bunga lily ia letakan tepat di bawah batu nisan, lantas menggeser tubuhnya agar Kenandra—yang masih berpura-pura jadi Mahesa—bisa duduk di sampingnya.

"Selamat pagi Kak Radin," Lea mengusap nisan Radin dengan lembut. Sapaannya hanya dijawab oleh angin dan gemerisik daun. "Kenalkan, aku Lea, aku pernah ke sini beberapa bulan yang lalu. Kakak ingat?"

About ForeverWhere stories live. Discover now