09 | Laut Menjadi Saksi

64.3K 7.2K 439
                                    

Learning into the afternoons,

I fling my sad nets to that sea that is trashed

By your oceanic eyes.

(Pablo Neruda)

Sepanjang perjalanan, Lea menolak menjawab semua pertanyaan Ken. Gadis itu terus bungkam, hanya sesekali mengeluarkan desisan penuh kebencian. Ia bahkan tak berkomentar ketika mobil yang mereka tumpangi memasuki pelabuhan dibilangan Jakarta Utara.

Tak ada yang menarik di sana, selain kontainer-kontainer yang tersusun, juga suara kapal dari kejauhan. Biasanya, Lea dengan senang hati menghirup bau asin air laut, tapi kali ini tidak sama sekali. Alih-alih menikmati, otaknya justru berputar memikirkan cara untuk mendorong Kenandra ke laut lepas.

Biar aja ini playboy satu hanyut di laut jawa.

“Turun,” kata Ken seraya melepaskan ikatannya pada kursi Lea. Tidak membiarkan Lea membantah, Ken melanjutkan kalimatnya. “Kalau nggak mau turun, gue gendong lo.”

Mata Ken berbinar senang saat Lea melompat turun. “Gitu dong nurut.”

Mereka berjalan beriringan menuju pinggir laut, membiarkan angin laut membelaai wajah keduanya. Rambut Lea berterbangan tidak gadis itu hiraukan, ia hanya perlu tahu alasan Ken membawanya ke sini.

“Pas banget, sebentar lagi sunset,” gumam Ken seraya menatap langit yang berwarna jingga.

“Nggak usah sok romantis deh,” Lea berdecak sebal. “Lo ngapain ngajak gue ke sini?”

Ken mengerjapkan matanya sekali. Sebenarnya, pemuda garang itu sekilas terlihat seperti anak kecil yang polos, namun sayang Lea sama sekali tak peduli. Sejak Ken memeluknya di kampus tadi, maka cowok itu sudah kehilangan sembilan puluh sembilan persen rasa simpatiknya.

Satu persen masih tersisa karena Ken tetap saja mengingatkannya pada sosok Mahesa Januar.

“Kan mau ngerayain hari jadian kita,” kata Ken lugu, membuat Lea benar-benar mendengus.

Jadian? Ngimpi aja lo, mending kembaran lo kemana-mana.

“Sekarang waktunya.” Saat matahari mulai merangkak turun, cowok itu tersenyum culas.  Ken merogoh ke dalam jaketnya, lantas mengeluarkan sebuah cincin berwarna perak. Bentuknya sederhana, hanya sebuah permata berbentuk lingkaran di tengah, namun siapapun yang melihat bisa tahu bahwa cincin itu tak dibeli dengan harga murah.

Tiffany and co.

Ken menarik tangan Lea dengan paksa, lalu memakaikan cincin tersebut di jari manis tangan kiri Lea. Untuk sementara Lea akan bersikap kooperatif, seraya memperhitungkan cara membunuh yang lebih efisien. Melempar ke laut lepas, atau ke jalanan sana biar dilindas kontainer yang sejak tadi bulak-balik.

“Mulai sekarang, lo resmi tunangan gue,” Ken menyerigai, tak menyangka bahwa mudah sekali menyegel gadis di hadapannya. “Laut dan matahari terbenam yang jadi saksi.”

About ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang