05 | Jangan Pergi

77.5K 8.5K 475
                                    

You were the one

I wanted most to stay.

But time could not

be kept at bay.

The more it goes,

the more it's gone,

the more it takes away.

(Lang Leav)

⏱️

Sebuah Wrangler hitam melintang angkuh di tengah parkiran rumah sakit. Gagahnya bahkan membuat Pajero disampingnya minder. Jika mobilnya saja sudah begitu sombong, maka bisa dipastikan bahwa pemiliknya jauh lebih jumawa lagi.

Ken tersenyum miring seraya menutup pintu mobil kesayangannya. Dengan gerakan santai di lemparkannya kunci pada satpam yang sebenarnya tidak melayani valet. Matanya menjelajah, menatap gedung di hadapannya. Ada rasa senang dalam dadanya yang tak mampu ia jelaskan.

Tanpa repot-repot menyapa resepsionis, pemuda itu naik ke lantai atas gedung ini. Lantai yang berisi kantor para dokter senior. Dalam perjalanannya menuju ruangan paling ujung, ia membuat setidaknya empat satpam teronggok tak berdaya di atas lantai.

Orang yang dicarinya sedang tak ada di ruangannya, tapi dengan santai Ken duduk di kursi utama ruangan tersebut.

“Ck, baru jadi dokter aja udah susah banget ditemuin, gimana kalo jadi presiden? Masa iya, gue harus bawa basoka buat lawan paspampres.” Ken menggelengkan kepala mengingat nasib korbannya barusan.

Biasanya, kalau ia sudah berbuat onar begini, tak butuh waktu lama untuk para orang penting muncul di hadapannya. Yang pertama, akan muncul dalam waktu sepuluh detik.

Sambil berputar, Ken mulai berhitung.

Satu...

Dalam bayangannya, lelaki itu sudah ada di dalam lift, meninggalkan pasiennya di lantai bawah.

Dua...

Pria itu terus-terusan melihat jam tangan, berharap lift rumah sakit bisa bergerak sekilat kecepatan cahaya.

Saat sampai pada hitungannya yang ke tiga, tanpa sengaja matanya menangkap sebuah pigura di atas meja. Seorang gadis yang tersenyum menatap kamera. Gambar tersebut otomatis menghentikan geraknya. Gemetar, ia sentuh sosok di dalam sana.

Berapa tahun mereka tak bertemu?

Berapa kalipun Ken berusaha mencari, ia tak pernah sanggup bertemu dengan gadis tersebut.

Ujung bibirnya tertarik, membentuk senyuman sedih. Waktu seolah bergerak lambat, sampai Ken tak sadar bahwa sang pemilik ruangan sudah berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan raut tak percaya.

“Kenandra...?”

Dalam sekejap, Ken mampu mengambil kembali kesadarannya. Senyum sedih itu berubah menjadi seringai. Ia bangkit dengan kedua tangan dalam saku celana, geraknya santai dan anggun, namun siapapun dapat melihat ancaman dari kedua mata elangnya.

“Hai Om, long time no see,” katanya seraya membaca papan nama di atas meja. Prama Ilyas. Nama yang sampai matipun takkan sanggup ia lupakan.

“Ada perlu apa kesini?” tanya Prama dingin.

Take it easy, Om, kenapa harus sedingin itu sih kalau saya datang? Beda banget kalau yang datang Mahesa? Disayang-sayang, dielus-elus udah kayak kucing anggora kesayangan.” Ken melangkah mendekati Prama, membuat pria itu semakin waspada. “Padahal Om, kucing anggora nggak lebih berguna daripada seekor singa.”

About ForeverWhere stories live. Discover now