20 | Punggung Paling Kesepian

48K 6.1K 486
                                    

I am sorry they abandoned you

when you needed them the most and

it has made you believe that

love is an awful thing that hurts.

(Nikita Gill)

⏱️

Azalea menjatuhkan dirinya di atas genteng. Matanya merambat ke sekeliling, lalu menghembuskan napas lelah saat menyadari bahwa tak ada jejak Mahesa yang tersisa di sana.

Sudah hampir satu jam Lea membedah tanaman-tanaman mawar di rooftop FISIP. Ia bahkan membongkar beberapa pot di sana, namun tetap saja Lea tak menemukan petunjuk apapun.

Padahal hanya rooftop inilah yang menjadi saksi bahwa Mahesa pernah ada. Hanya di rooftop ini pertemuan mereka terasa lebih intim, bukan hanya sebagai dua orang asing yang kebetulan berkuliah di fakultas yang sama.

Getaran di sakunya mendistraksi lamunan Lea. Lea meraih ponselnya hanya demi menemukan panggilan dari Ken yang kesekian.

Dengan gerakan tak acuh di gesernya layar.

“Susah banget ya nelepon lo langsung di angkat?” belum apa-apa saja Ken sudah bersungut di ujung sana.

“Kan lo yang bilang, lo lagi marah?”

Ken berdecak di ujung sana, samar-samar Lea mendengar Ken mengomel panjang pendek. “Terus kalau gue marah, lo nggak mau usaha ngebaikin gitu? Lo kenapa ngeselin banget sih? Lebih ngeselin lagi karena gue nggak bisa marah sama lo.”

Bukan jenis gombalan, Lea tahu Ken benar-benar gusar.

“Ngadepin orang ngeselin, harus sama ngeselinnya, right?”

“Terserah!” seru Ken kesal. Kalau orang lain yang menyahutinya seperti Lea, bisa dipastikan hidupnya tidak akan tenang, untungnya ini Azalea. “Lo dimana? Gue tanya Kania sama Bryan, katanya lo udah berangkat ke kampus?”

Lea mengedarkan pandangannya ke sekitar, menimang-nimang apakah akan memberikan Ken akses untuk menghampirinya ke sini.

“Dimana?” tanya Ken tak sabaran.

“Di rooftop FISIP,” jawab Lea akhirnya. Tak ada salahnya membawa Ken ke sini, toh taman ini juga kado kembarannya untuk ibu mereka.

“Oke gue ke sana,” tukas Ken sebelum memutuskan sambungan. Tak lama kemudian Ken muncul dari balik pintu. Hari ini pemuda itu kembali ke dandanan asalnya, ripped jeans  hitam serta jaket Levis berwarna senada. Lea tak bisa menahan geli, saat melihat kaus bergambar anak ayam yang mengintip di antara jaket tersebut.

“Nih,” Ken menyodorkan sebuah sterofoam berwarna putih.

“Apaan ini?” tanya Lea seraya menerima bungkusan tersebut.

“Bubur ayam, gue yakin lo terlalu sibuk mikirin Mahesa sampai lupa sarapan,” ujar Ken dengan wajah tertekuk. Bibirnya mengerucut dan wajahnya seperti anak kecil yang merajuk.

Kalimat Ken membuat Lea tergelak di tempatnya.

Thanks ya, gue nggak tahu kalau lo bisa perhatian juga.” Lea tersenyum lebar, lalu mulai menyuap bubur ayamnya. Ken benar, ia memang tak sempat sarapan tadi pagi. Sejak terbangun jam 3 tadi malam, nama Mahesa terus mengganggu benak Lea, hal itulah yang membawanya untuk datang ke rooftop ini pukul delapan pagi.

About ForeverWhere stories live. Discover now