29| Lengkapnya Kekalahan

43.4K 5.7K 1.4K
                                    

My biggest fear

is that eventually

you will see me

the way

i see

my self.

(Anonymous)

⏱️

Ketika Mahesa mengatakan akan mengajak Lea bertemu Ken, Lea tak menyangka bahwa pemuda itu akan membawanya ke rumah mereka.

Rumah bergaya mediterania itu terletak di selatan kota Jakarta. Dinding dan atapnya yang berbentuk kubah di dominasi warna putih dan emas yang mengkilap. Langit-langitnya yang tinggi di sangga oleh pilar-pilar berornamen rumit.

Lea tak henti-hentinya berdecak kagum melihat arsitektur rumah ini. Sekarang ia tak heran mengapa Ken dan Mahesa tak pernah segan menggesek kartu kredit mereka.

Tapi sayang, tak ada satupun foto keluarga yang terpajang di rumah besar itu. Satu-satunya foto yang ia lihat adalah foto pernikahan orang tua Ken dan Mahesa yang di pajang besar-besar di ruang tengah.

Beberapa saat, Lea sempat terpaku di hadapan bingkai foto tersebut. Entah mengapa, hatinya menghangat melihat potret keduanya.

"Sekarang kamu percaya kalau Ayah saya memang begitu mencintai Mama?" suara Mahesa di sampingnya menarik Lea dari lamunan. Gadis itu menoleh lalu menganggukan kepalanya.

"Iya, saya percaya." Lea harus mengakui, bahwa hanya dengan gambarpun dapat ia lihat kasih sayang terpancar dari sorot mata keduanya.

Beberapa detik, Mahesa membiarkan Lea tenggelam dalam kekagumannya pada gambar di hadapan mereka. Perasaan magis yang Mahesa selalu rasakan acap kali ia melihat foto ini.

Foto ini adalah satu-satunya bukti bahwa pernah ada cinta di keluarga ini, pernah ada cinta di rumah ini.

"Sekilas saya pikir kalian mirip Ayah kalian, tapi setelah diperhatikan kalian lebih mirip Mama kalian," ujar Lea jujur, membuat sebelah alis Mahesa naik. Azalea mungkin satu-satunya orang yang pernah bilang begitu.

Azalea terkekeh pelan, mata gadis itu berbinar senang. Air mata yang tadi jatuh di taman sudah hilang tidak berbekas. Mungkin, air mata tadi merupakan ledakan atas rindu yang selama ini di redamnya. Baik-baik Mahesa rekam binar mata itu, menyimpannya dalam memori terkekal di ingatan. Jika bisa, Mahesa ingin berharap, bahwa waktu akan terhenti di sini. Bahwa detik bisa membeku hingga ia tak harus kehilangan Azalea.

Tapi waktu terus bergerak. Mahesa tersenyum lalu meraih jemari Azalea. "Lea, ayo ikut saya."

Lea menurut tanpa bertanya, mata gadis itu sibuk menjelajah rumah besar ini. Ia tak sadar bahwa pemuda yang menggenggam tangannya tengah sekuat tenaga berusaha menahan tangis.

Lagi-lagi, masa memang tak pernah bersahabat dengannya, bukan?

⏱️


"

Masuk saja, saya tidak akan macam-macam." Melihat keraguan di mata Azalea, Mahesa membuka pintu kamarnya lebih lebar.

Lea menatap ruangan itu ragu. Ia tidak biasa masuk ke kamar laki-laki sembarangan. Terlebih lagi, ia baru mengenal Mahesa dalam hitungan bulan. Normalnya, Lea akan langsung menolak ketika Mahesa memintanya untuk masuk ke kamar pemuda itu.

About ForeverOnde as histórias ganham vida. Descobre agora