37 | Yang Fana Adalah Waktu, Bukan?

45.6K 6K 956
                                    

When did the world decided

to hide the real tears with fake smiles?

(Atticus)

⏱️

Waktu berlalu seperti merangkak.

Seminggu pertama tak ada tanda-tanda yang berarti dari Mahesa. Begitupun minggu kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Pemuda itu tetap kaku, terpejam di atas bangkar rumah sakit.

Orang-orang di sekeliling Mahesa sudah mulai melanjutkan hidup, namun jelas segalanya sudah berubah. Geraldi tidak langsung tinggal di Jakarta, pria itu di inapkan Prama di sebuah shelter di Bali. Ia perlu berdamai dengan masa lalunya, mengobati lukanya, memaafkan dirinya sendiri, juga belajar menerima kepergian istrinya.

Entah berapa lama waktu yang Geraldi perlukan, yang jelas, Geraldi hanya boleh pulang jika hatinya sudah bisa memaafkan.

Di sisi lain, Azalea Prameswari juga pontang-panting menata hatinya sendiri. Gadis itu berdiri tegak, berpura-pura bahwa ia sudah baik-baik saja. Lea melakukan kegiatan seperti biasanya. Ia kuliah, belajar dan tertawa.

Sesekali Lea menyempatkan diri menjenguk Mahesa, bercerita pada pemuda itu tentang banyak hal. Tentang Bryan, tentang Kania, tentang Maminya, tentang Papanya. Tentang apa saja kecuali tentang Kenandra Januar.

Sekilas, orang-orang akan mengira bahwa Lea memang sudah ikhlas menerima, tapi orang-orang terdekatnya tentu tahu, bahwa gadis itu hanya berusaha menyembunyikan luka.

Bagaimana bisa Lea baik-baik saja, sementara tawa di bibirnya tak selaras dengan hampa di matanya? Bagaimana bisa Lea baik-baik saja, jika sesekali Kania dan Bryan menemukan Lea yang berpura-pura ke kamar mandi dan kembali dengan mata merah? Bagaimana bisa Lea baik-baik saja, jika Prama dan Kinara sendiri yang menyaksikan anak gadisnya kerap merintih di tengah tidurnya?

Tapi begitulah cara Lea menghadapi patah hatinya. Dengan bersikal segalanya baik-baik saja. Bukan untuk orang lain, topengnya hanya untuk dirinya sendiri.

Tiga bulan berlalu, dan mereka mulai putus asa menunggu. Keadaan Mahesa tetap tak menunjukan perkembangan, kecuali pada lukanya yang mengering.

Satu-persatu dokter menyerah. Luka Mahesa terlalu parah. Mereka mengatakan bahwa hanya keajaiban yang bisa membawa pemuda itu kembali tanpa satupun cacat.

Kenyataan menyakitkan itu menghantam mereka sekali lagi. Memburuknya keadaan Mahesa, sama dengan memburuknya keadaan Geraldi. Prama menghabiskan waktunya bulak-balik Jakarta-Bali untuk memantau pasien ayah dan anak itu sendiri.

Kinara sudah lelah menangis, ia sengaja mengurangi intensitas berkunjungnya ke rumah sakit, karena tiap kali ia menatap wajah kaku keponakannya, seketika itu pula rasa bersalah merudungnya tanpa ampun.

Mungkin, diantara mereka semua, Lea lah yang tetap konsisten dengan perannya. Sebagai pencerita yang bersikap seolah Mahesa hanya sedang tertidur sebentar.

Dalam urusan menipu diri sendiri, ia memang juaranya.

Sampai suatu hari, sebuah telepon sampai di ponselnya. Maminya terisak di ujung sana, tak perlu penjelasan, Lea tahu jantungnya baru saja mencelos di dalam dada. Ponsel Lea meluncur ke atas lantai  begitu pula dengan tubuhnya yang tertarik gravitasi bumi.

Keriuhan di sekitarnya seketika senyap ditelan keheningan dalam kepalanya. Seperti sebuah film yang diputar cepat, gadis itu berlari tak tentu arah. Lea tak tahu apa yang ia lakukan, ia tak ingat bagaimana ia bisa sampai di rumah sakit tempat Mahesa di rawat.

About ForeverWhere stories live. Discover now