one : Young Majesty

183 18 8
                                    

Kemudian aku terbangung dari hal yang paling menyenangkan dari rangkaian hidup yang kujalani, tidur. Menatap langit langit kamar dengan harum peach dan menggerakkan tubuhku untuk duduk. Lebih banyak memang untuk melamun beberapa saat sebelum kesadaran seratus persen ada di kepalaku. Melihat telapak kaki yang mencoba untuk menjadi tumpuan sebelum otak lebih cepat untuk memutuskan, duduk lebih lama di tempat tidur dan berusaha bangun seratus persen lebih baik. Aku setuju, takut nanti si kaki tidak berfungsi tanpa si mata.

"Pagi, Nona. Sudah kami siapkan seragam sekolah nona beserta barang yang perlu nona bawa nanti. Air hangat juga sudah kami siapkan. Mau kami bawakan sarapan terlebih dahulu?"

Dan realitas menabrakku saat kurasakan denyut tidak menyenangkan di pipi kanan. Pipi kananku seperti lebih sakit dari sebelum-sebelumnya karena tamparan dari nenek lampir. Rasanya ngilu dan tak bisa dipegang karena aku takut bisa berubah menjadi biru. Padahal sudah beberapa hari ini dia tak datang ke rumah. Sialan juga kemarin berani masuk menggandeng papa. Parahnya aku harus dengan sabar meladeni suara-suara mereka yang bisa kudengar dari balkon kamar. Nenek lampir bisa berbahagia karena papa tak pernah kasar padanya. Tentu saja bahagia, menganggap dia sudah seratus persen jadi anggota keluarga Davarish. Harusnya ada orang yang menyadarkan dia dari imajinasi tidak menarik itu, bahwa papa hanya menganggapnya sebagai visual menyenangkan perempuan.

Hingga akhirnya aku susah tidur dan bangun terlalu pagi akibat merintih mencoba untuk tidak menggunakan pipi sebagai tumpuan tidur miring. Semua petugas yang biasanya harus berusaha ekstra keras karena aku malas bangun pagi, tadi kaget dan meminta maaf karena tidak membangunkan lebih pagi. Kalau aku bangun lebih pagi dari hari ini, sepertinya aku harus melempar batu pada kepalaku hingga aku bisa tidur lebih lama. Bonus mati.

"Gama datang tidak?"

Hal pertama yang ada di pikiranku adalah Gama. Bocah laki-laki sialan yang terus mengganggu kepalaku karena penuh dengan fotonya disana. Bocah sialan yang membuat hidupku jauh lebih baik daripada yang sebelumnya walaupun aku tahu Gama hanya menganggapku sebagai salah satu bantuan agar keluarganya bisa normal lagi. Anak baik yang kurang ajar. Walaupun aku juga bahagia-bahagia saja dia melakukan itu.

"Tuan Gama belum terlihat, Nona. Mungkin sedang perjalanan kemari"

Untunglah belum, aku tidak mau terlihat seperti baru saja ditonjok karena bawah mataku yang masih membengkak dan menghitam. Aku tidak menangis, hanya terus menguap tapi tidak bisa terpejam sempurna. Bukannya aku tidak tidur sama sekali. Aku hanya tidur beberapa jam yang mungkin tidak akan bagus untuk kulitku yang berusaha untuk menghisap lebih banyak minyak baik. Berdoa saja kulitku tidak akan kering kerontang.

---

Saat mengoleskan roti dengan selai aku sadar seseorang berjalan mendekat ke arah meja makan. Berdiri dengan senyum menawan, wajahnya terlihat menyala karena kulitnya yang terawat dan sehat. Menarik tempat duduk di samping tempat dudukku, dia mulai bertanya mengenai bagaimana tidurku. Tentu saja aku tak mengatakan aku tak bisa tidur sama sekali. Aku hanya mengatakan tidurku lumayan dengan raut wajah biasa saja, konsentrasi penuh ingin kuberikan pada roti di genggaman. Bukan wajah menawannya,

"Maaf aku terlambat. Tadinya mau lebih pagi tapi ada beberapa hal yang mengganggu di meja makan." Katanya melihatku yang memotong roti berbentuk kotak-kotak untuk mengulur waktu. Aku tidak ingin pergi ke sekolah sekarang juga.

Wanginya maskulin. Ada sedikit harum vanila disana, manis seperti dua lesung pipinya yang tertarik saat senyumnya melebar.

Gama tumbuh dengan baik. Tanpa bantuan banyak orang, tanpa banyak terlibat pada masalah di sekolah. Menjadi anak baik yang sering sekali di panggil ke podium untuk diberikan selamat atas kemenangannya karena banyak lomba yang dia ikuti. Ditambah dia yang dengan sukarela masuk ke ektrakurikuler sepak bola. Tentu saja, masuk ke sepak bola menambah karismanya. Entah dengan alasan apa aku bisa keluar dari pesona Gama. Laki-laki ini tentu lawan yang berat bagi siapapun yang ingin menyingkirkannya.

"Kita harus berangkat sekarang tuan putri atau mobilku tak dapat parkiran yang bagus." Katanya melihatku yang mengunyah roti dengan perlahan.

Aku hanya ingin papa bertemu dengannya dan memulai pertanyaan kapan kita berdua bisa menikah. Tak peduli entah itu karena keserakahan papa yang ingin bisnisnya lancar dengan bantuan keluarga Gama. Hanya ingin mendengar papa memuji Gama. Di permainan ini, aku sudah kalah bahkan sebelum permainan dimulai.

Tapi setelah menit-menit berlalu, papa tak juga keluar dari kamarnya. Akhirnya aku memutuskan untuk segera berdiri dari kursi makan dan mengikutinya menuju mobil yang seperti biasa dia parkirkan tepat di depan pintu rumah.

"Ada berapa surat cinta yang kau dapatkan hari ini?" kataku mencoba untuk berbincang lagi dengannya sambil membenarkan duduk dan menggunakan sabuk pengaman.

"Kau pasti tak percaya. Aku baru sadar Fira selama ini mengirimkan satu untukku"

Berpura-pura acuh melihat suasana pagi dari jendela, tapi banyak memicingkan telinga untuk mendengar lebih banyak. Gadis yang entah sejak kapan menjadi fokus yang banyak membuat Gama berbicara. Parahnya aku tak bisa membencinya karena dia gadis yang baik.

Gadis baik, dari keluarga baik, lingkungan baik dan cerdas sama seperti Gama. Walaupun tak ada titel tunangan Gama disana, tapi tentu saja aku ingin Gama tertarik padaku.

---


cage of majestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang