ten : Unmatch from the start

16 8 1
                                    

Rumah Gama adalah salah satu rumah terbesar dengan bangunan klasik dan pelataran besar. Gaya klasik eropa dengan memadukan warna beige dan putih, juga modern dengan beberapa tempat yang menggunakan batu alam asli berwarna hitam. Seperti biasa jika aku mampir kesini sendirian tanpa Gama, aku akan memakirkan mobil di garasi tamu di samping rumah utama. Namun jika aku datang bersama Gama, aku akan turun di depan pintu besar dan dibukakan pintunya oleh penjaga rumah. 

Melihat parkiran yang penuh, kupikir Gama sedang ada tamu namun melihat nomor polisi dari mobil-mobil yang berjejer membuatku terdiam di dalam mobil cukup lama. Aku yakin sekali ada banyak saudara Soerendra yang ada di dalam. Entah itu karena ada masalah, rapat keluarga atau hanya mampir. Berharap bahwa Tuhan tidak akan meletakkanku di tengah keluarga Soerendra dan masalah. 

Tapi tetap saja kuputuskan untuk keluar dari mobil. Selama papa dan bisnisnya masih lancar dan statusku belum berubah sebagai tunangan dari seorang Gamawira, aku masih tuan putri di rumah besar ini. Mengambil kardus yang awalnya kubawa karena ingin bernostalgia bersama Gama sepertinya harus sedikit direm terlebih dahulu. Menghembuskan nafas cukup dalam sambil kakiku melangkah menuju pintu depan.

Disambut seseorang yang tidak asing denganku, Bibi mengantarkan pada ruang tengah dan disana berjejer saudara-saudara Gama yang tersenyum sumringah menatapku. Menghampiriku yang bahkan membawakan kardus yang aku takut akan hilang dari hadapanku. Jika orang lain melihat kardus itu, terlihat seperti kumpulan sampah yang siap dibuang. Namun itu adalah kumpulan kenangan yang bisa dilihat dan dipegang, bahkan bibirku tersenyum jika teringat memori satu persatunya. 

“Aduh calon Gama tiba-tiba datang. Apa hari ini mau makan besar di rumah ini? Kok bibi kayaknya ga ikut makan ya?” saudara tertua Gama yang kuingat bernama Sarah. Aku benar-benar buruk dalam mengingat nama. Padahal bisa dibilang mereka ini yang akan menjadi saudara iparku nanti. 

“Ah tidak-tidak. Tadi Thalia bosan di rumah dan Gama ga bisa dihubungin jadi Thalia pikir mungkin Gama lagi tidur” kataku berusaha tersenyum ramah sekali. Harus menggunakan nama ‘cantik’ Thalia di lingkungan kami berdua adalah sebuah keharusan yang tidak cukup menyenangkan. 

“Gama tadi pergi mungkin bentar lagi pulang. Kamu bawa apa itu tadi kok kayak sampah” saudara lain ikut bertanya saat aku terlihat duduk dengan “nyaman” di salah satu sofa yang kosong. Aku benar-benar harus siap dengan semua pertanyaan mereka yang sedikit agak kurang waras nantinya. 

“ah begitu. Oh itu hanya memori waktu kecil dulu. Ingin pamer saja ke Gama kalau Thalia masih simpan beberapa” Aku benar-benar hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan secara langsung. 

Lebih baik tak banyak menanyakan hal-hal basa basi agar aku cepat dipersilahkan untuk menunggu di kamar Gama. Namun tak juga mereka berhenti untuk menanyakan hal lainnya. Entah itu bagaimana Gama akan melamarku, yang tentu saja kujawab kami masih SMA tidak begitu mempersiapkan pernikahan kami secara serius, tidak sampai kami lulus kuliah nanti. Atau bagaimana mungkin aku menyimpan barang rongsokan yang ada di kardus. 

Padahal sudah kubilang kalau yang ada di kardus adalah barang nostalgia yang bahkan uang mereka saja tak bisa untuk membelinya. 

Pertanyaan-pertanyaan mereka mulai dari papa yang masih sanggup untuk menjalani seluruh bisnisnya dan betapa papaku beruntung memiliki mama dan aku, karena kami berdua cantik. Hal shallow yang menunjukkan bahwa kami perempuan tidak memiliki nilai lebih tinggi daripada rupa dan kecantikan. Kemudian pertanyaan mengenai bagaimana bisa kami yang masih muda menerima saja pertunangan itu. 

“Gama yang pasang badan untuk menjawab itu karena pada saat itu Thalia benar-benar shock” aku tertawa kecil -lebih ke arah terpaksa agar kalimat tadi tidak terdengar begitu kering-.

cage of majestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang