seventeen : This too Shall Pass

7 2 0
                                    

Maafkan saya yang beberapa minggu ini tidak update dikarenakan sakit dan harusnya memang bisa dijadwalkan otomatis update tapi karena saya benar-benar lemas yang bahkan tidak bisa duduk sehingga sampai tidak sempat untuk melakukan setting. Semoga dimaafkan terima kasih.

Mari kembali ke cerita Thalia/Jea dan Melvinao/Gama yuk ~

Ohiya untuk tambahan, Jea adalah panggilan akrab dari Gama dan seharusnya hanya dia yg bisa memanggilnya demikian. Sedangkan Thalia adalah panggilan umum namun gadis kita tidak begitu menyukainya.

---

"Sudah lebih baik?" Gama menoleh pada gadis yang sekarang sedang menggeliat pelan.

Jas sudah terlepas dari tubuh Gama dan sedang disampirkan pada tubuh Jea yang terbungkus sempurna. Bahunya seperti sedang ditarik oleh berat kepala Jea yang menyandarnya santai. Menggerakkan kepala di bahunya membuat Gama menolehkan sedikit kepala, gadis itu mulai terbangun.

"Andre yang memasukkan alkohol ke jeruk limau. Aku tidak banyak memberikan komentar, namun sepertinya malam ini cukup menyenangkan bagimu?" Gama bergumam sesekali memastikan gadis yang ada di sampingnya baik-baik saja.

Tangan Jea sedang menunduk menyentuh kepalanya. Dentuman musik jazz masih terdengar sayup-sayup dari telinga. Matanya masih terpejam menikmati beberapa sisa alkohol yang ada di kepala. Tidak mempedulikan kalimat dari Gama yang terdengar berdengung, erangan kecil dikeluarkan oleh mulut merah muda Jea yang segera ditanggapi dengan senyuman oleh satu-satunya laki-laki di sana menjaganya dari angin sayup yang sebenarnya juga dingin dirasakan.

Tiba-tiba saja beranjak dari tempat duduknya, Jea berjalan sempoyongan. Seakan-akan cahaya dari lampu sorot memberinya ketidaknyamanan lebih. Kepalanya ditempa palu bertubi-tubi dengan kelopak beberapa kali mencoba untuk mengedip, ingin lebih fokus agar keseimbangannya tak terlalu membuatnya tak bisa berjalan. Namun nihil, gravitasi menariknya turun kembali ke bumi dengan tubuhnya sempurna sedang tersungkur pada karpet biru.

Beberapa mulai memberikan pandangan pada Jea yang dengan sigap Gama menutup kakinya yang lebih terekspos. Mengangkatnya perlahan untuk berdiri menumpu pada kakinya sedikit dan menuntun untuk keluar dari ruangan. Menghirup udara malam mungkin lebih baik daripada hanya diam menunggu gadis itu sepenuhnya sadar.

Duduk di bangku luar gedung, Gama mengacak rambutnya sendiri karena mulai lelah. Beberapa orang terlihat mondar-mandir di rumput agak jauh dari tempatnya duduk bersama Jea, sehingga dia bisa dengan nyaman menyamakan nafas bersama Jea.

"Kapan kau sadar sih, Tuan putri. Aku takut membawamu pulang dengan keadaan seperti ini dan bertemu papamu"

Erangan lembut terdengar dari telinganya. Dengan sedikit bergerak, Gama menoleh pada jea yang membuka matanya namun kepala masih menyandar pada lengan laki-laki itu.

"Rambutmu berkilauan" kata Jea akhirnya berbicara.

Tersenyum kecil mendengar kalimat acak dari Jea itu, Gama mengangguk.

"Aku pakai gel tadi. Sudah sadar?"

Mulut Jea tak lagi menjawab lagi. Dengan matanya yang mengabur, mencoba untuk fokus bagaimana rupawannya laki-laki yang tadi ada di dalam mimpinya. Rambutnya berkilauan walaupun sudah malam hari. Bibirnya terlihat lembut, hidungnya mancung dengan dua mata yang cantik. Satu tahi lalat di dekat hidungnya, persis sekali dengan Gama. Namun Gama yang sekarang sedang berusaha dia lihat sepertinya bukan Gama, karena jauh pendek dari yang mampir di mimpi.

"Kau bukan Gama" katanya masih merengek mengedipkan mata menatap Gama.

"Kenapa aku bukan Gama?" dengan sabar, jari lentiknya menarik beberapa helai yang menempel pada hidung Jea. Merapikan lagi ke belakang dengan halus tak ingin merusak setelah dirapikan berjam-jam tadi.

"karena kau lebih pendek"

"karena aku duduk, princess. Kalau aku berdiri, maka kau tidak ada tempat untuk menyandar." Gama berujar dengan lembut, entah kenapa dia menjawab padahal gadis yang mengajaknya mengobrol pun sedang tidak dalam keadaan sadar. "Hm belum sadar ya ternyata" ucapnya lebih pada dirinya sendiri.

Namun Jea belum juga mengatupkan kelopak. Dia masih setia untuk memandang laki-laki yang mirip dengan Gama namun lebih pendek. Kalau memang dia orang yang hanya mirip dengan Gama dan tidak mungkin Gama ada disini, apakah tidak apa-apa dia mengatakan pada orang yang mirip dengan Gama ini bahwa dia menyukai Gama yang asli?

Bukan dengan kalimat, tangan Jea menarik rambut laki-laki itu dengan lembut. Membiarkan mata mereka saling beradu dalam diam, nafasnya saling menempa namun tidak dengan ekspresi yang sama. Laki-laki dengan rambut berkilau itu kaget dengan keadaan yang sekarang begitu dekat, sedangkan Jea menatapnya dengan raut wajah datar.

Jea memajukan bibirnya untuk mengecup pelan sekali pada bibirnya. Menutup matanya dan meremas rambutnya yang terasa lembut di sela jari-jarinya. Melumatnya kecil walaupun tidak memiliki pengalaman di dalamnya. Ciuman yang lembut, tidak buru-buru dan tanpa rencana. Hanya menempel pada kelembaban bibir keduanya.

Gama merasakan manis dari bibirnya yang tersentuh. Ada beberapa kali nafas gadis itu yang mengenai kulitnya. Meremang dan membuat satu titik pada kulit wajahnya memerah. Keduanya sama sekali tak menggerakkan tubuh satu sama lainnya namun cukup menempel agar tak jatuh. Terlalu lama mereka berdiri saling memberikan beban pada masing-masing tubuh walaupun Gama jauh membutuhkan tenaga agar menahan beban mereka berdua, Jea melepaskan kecupannya.

Terlalu dekat untuk tahu bagaimana harum masing-masing. Perutnya bergejolak dengan tidak tenang. Tak ada satu kalimat pun, bahkan kata yang berhasil keluar dari mulutnya. Bibirnya terkatup rapat dengan pandangan mengarah pada gadis yang tersenyum di depannya. Senyum manis dengan kelopak mata menutup perlahan. Gama baru menyadari bahwa dia baru saja melakukan kontak fisik terjauh dari 10 tahun pertemanan mereka.

Walaupun salah satunya dalam keadaan tidak sadar sama sekali.

---

Tidak mungkin Gama membawa Jea kembali ke rumah setelah gadis itu benar-benar tak membuka matanya barang satu detik pun. Tidak hentinya dia bergumam sendiri walaupun kalimat apapun tidak cocok dengan gumamannya. Mengangkat tubuhnya untuk dibawa ke penthouse yang secara mendadak diminta Gama malam itu. Dengan bantuan staff, gadis itu berhasil tertidur dengan nyaman di tempat tidur utama di kamar itu.

"Kau benar-benar membuatku bingung, Je. Untunglah tidak ada rengekan atau hal yang lainnya"

Kakinya sudah terlepas dari heels yang katanya sudah menyiksa telapak kaki Jea sejak tadi. Agak memerah dan sedikit lecet karena strapnya sampai memberikan tanda pada beberapa tempat di kaki gadis yang masih terlelap itu. Entah sekarang heels itu ada dimana, Gama tidak peduli. Lebih baik Jea sama sekali tak menggunakan hal yang menyiksanya walaupun itu cantik digunakan oleh kakinya yg jenjang.

"Kapan kau tidak cantik sih, Je. Selamat malam, mimpi indah"

Bahkan walaupun perempuan itu sama sekali tak sadar, Gama tidak berani untuk menyentuhnya. Hanya mengatakan selamat malam dan merebahkan diri di sofa tak jauh dari tempat tidurnya. Malam ini tidak masalah tidur di sofa.

---

cage of majestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang