Twenty Six : Different Scenario

11 2 1
                                    

Orang tuanya seperti mempermainkan arti sebuah pernikahan. Hal yang tidak dimengerti oleh Jea yang meletakkan lengan untuk menutup matanya. Dia hadir tidak diinginkan, terbelenggu dengan masa lalu suram yang terus menghantui sepanjang hidupnya. Orang tuanya menganggap hidup Jea hanya sebuah perjanjian bisnis. Belum lagi memutuskan kemana langkah masa depan yang akan ditapakinya. Merintih dalam hembusan nafas berat, tubuhnya bergerak untuk duduk. Duduk menyandar tembok yang dingin.

Tak sedingin keadaannya sekarang tanpa Gama. Sudah berapa lama ini hingga dia begitu merindukan Gama. Kepalanya menoleh ke arah pintu, mendekat saat mendengar sayup suara asing. Jea mengenal suara ayahnya maupun Gama. Tapi suara yang saling menyahut saat berbincang itu cukup asing di telinganya. Perlahan membuka pintu kamarnya tanpa suara, mendapati di sana sudah duduk dengan tenang Gio. Kesal akan keakraban yang tidak asing itu, Jea turun untuk menemui Gio dengan raut wajah tidak menyenangkan.

Gio yang kaget akan presensi Jea turun dari tangga segera berdiri untuk menyambut gadis berambut panjang itu. Tidak bisa dipungkiri, mata Gio cukup senang dengan wajah rupawan Jea yang datang.

"Je- Thalia. Kukira kau ada di apartment?" Kata Gio menyambutnya.

Jea hanya berdiri di samping tempat duduk ayahnya yang masih diam mengamati anak perempuannya. Ayahnya masih dengan aneh menyambut kedatangannya.

"Papa tidak memberikan getaran aneh dan kasar lagi. Kuputuskan untuk pulang sesekali. Sepatuku juga tertinggal disini." Jea melipat lengannya di depan dada. Tidak memutus pandangan pada seseorang yang saat ini tidak diinginkannya hadir.

Gio menyadari tatapan tidak menyenangkan itu. Rencana keluarga Davarish untuk menyatukan keluarga mereka disambut baik oleh Gio, tidak dengan Jea. Raut wajahnya tidak tersenyum, tidak juga memberikan keramahan.

"Kau harusnya belajar untuk sopan. Sejak kapan aku membuatmu kurang ajar begini?"

Jea melirik ayahnya yang baru membuka suara. Tertawa kecil, Jea menjawab tanpa ragu.

"Sejak kapan kau mengajariku kesopanan?" Tidak peduli bagaimana raut wajah pimpinan Davarish, Jea menghindar untuk pergi dari hadapan dua laki-laki yang saat ini tak menjadi favorit untuk dilihat.

"Aku sedang tidak ingin bermain pernikahan. Aku berhak untuk memutuskan siapa yang menjadi pendampingku. Kalau papa ingin bekerja sama dengan keluarga Gio silahkan. Jauhkan aku dari jangkauan itu." Peringatan itu cukup keras, Gio dan ayahnya mendengar pernyataan Jea yang cukup tegas itu secara jelas. Walaupun tubuhnya bergerak ke arah dapur. Mengambil air putih di gelas. 

Menggenggam air putih dingin dari dalam kulkas, Jea berjalan menuju tangga lagi sebelum berujar untuk terakhir kali.

"Kak Gio baik padaku, tidak berarti aku bisa mengubah perasaan dengannya semudah itu. Sepalsu apapun hubunganku dengan Gama, aku belum bisa memutuskannya. Lebih baik aku sendiri sampai mati."

Jea tidak membenci presensi Gio. Tapi konsep pernikahan cukup mengusiknya. Mengusik ketenangan akan status quo yang sebenarnya menyenangkan untuk hidupnya. Langkah Jea yang menapaki tangga satu persatu, heels yang beradu di lantai marmer licin, menjadi satu-satunya suara yang menggema di rumah besar keluarga Davarish itu.

---

Payah sekali. Jea tidak memiliki satu teman pun di lingkungan manapun. Sehingga, untuk mengusir kebosanan, gadis itu memutuskan untuk duduk di lingkungan luar bangunan kampusnya dan menunggu sampai jam berikutnya menunjukkan pukul empat sore, dimana kuliah berikutnya akan diikuti. Sekarang masih pukul tiga seperempat sore, namun tingkat kebosanannya sudah meningkat tajam. Bangunan yang seharusnya dilihatnya bukan disini, rencana yang telah disusun sedemikian rupa untuk kabur dari Indonesia Bersama Gama harus dikuburnya jauh dari jangkauan setelah laki-laki itu mengungkapkan bahwa salah satu impiannya adalah menjadi seniman.

Sebuah berita yang dulu sempat membuatnya tidak percaya, sampai hari ini pun tidak percaya bahwa Gama berani untuk menentang keinginan orang tuanya. Sifatnya yang penurut itu seperti berubah karena sesuatu, dan Jea cukup menjadi bahan omongan keluarga Soerendra bahwa dialah penyebab Gama berubah.

Manusia berubah karena dirinya sendiri, bukan karena orang lain, Jea tahu betul itu karena manusia pada dasarnya memang egois.

Kepalanya seperti menginginkan sesuatu, sehingga tubuhnya bergerak berdiri untuk merapikan setelan panjang yang dipakainya sebelum berjalan menjauh dari area gedung perkuliahannya. Tidak masalah bukan hanya melihat area bangunan itu? Sebentar saja tidak masalah.

Pikir Jea yang akhirnya menapak pada lantai milik perkuliahan DKV. Karya mahasiswa-mahasiswanya yang dipajang di banyak dinding. Anak-anak dengan setelan khas seniman yang kurang rapi. Presensi Jea seperti alien disana. Setelan bajunya yang cukup formal membuatnya menjadi pusat perhatian, walaupun sebelum datang pun gadis itu sudah menyita cukup banyak perhatian.

Yang dilakukannya hanya duduk diam di pelataran. Melihat bangunan yang tidak sering dikunjunginya setelah sekian lama. Tidak bisa bohong, Jea ingin melihat wajah itu sebentar saja. Terlalu malu untuk tetap terang-terangan mendatangi, namun terlalu rindu untuk duduk diam.

"Nungguin siapa?" Suara seseorang dengan setelan kemeja warna warni dengan kaos warna hitam di dalamnya tersenyum menghampiri Jea. "Mungkin aku kenal? Karena kayaknya bukan anak DKV deh?"

Menoleh, di sampingnya ada presensi laki-laki asing yang mengajaknya bicara. Intonasinya rendah, hafal akan itu Jea tahu orang yang sedang tersenyum dan duduk di sampingnya ini ingin berkenalan dengannya. Mulut gadis itu terkunci, tidak tertarik untuk menjawab. Cukup beberapa menit sebelum terlihat dari ujung ruangan, wajah familiar itu berjalan bersama dua orang dengan tersenyum sambil bercengkrama. Harusnya Jea bergerak untuk menghindar, namun senyum Gama begitu dirindukan netra gadis berambut panjang.

"Kok ga dijawab? Ga usah awkward gak papa. Lagipula aku anak himpunan disini, kebanyakan anak DKV aku kenal kok."

Yang bahkan kalimat di samping Jea tidak terdengar sama sekali oleh rungunya.

Gama tersenyum beberapa kali, berbincang beberapa kali bahkan tangannya yang memegang salah satu tas pegangan punggungnya begitu mempesona dimata Jea. Cepat-cepat gadis itu menunduk sebelum dia benar-benar terhipnotis dan tanpa sadar berjalan menghampiri.

"ohhh Melviano?" laki-laki asing tadi seperti kesal dengan gadis yang masih tutup mulut tak menanggapi sedikit pun pertanyaannya. "jangan terlalu berharap. Melviano sudah punya pasangan."

Hah?

Rasa kaget itu sepertinya besar sekali hingga membuat kepala Jea menoleh. Melihat raut wajah orang asing itu dengan perasaan panik luar biasa. Berita ini belum pernah dibayangkan sebelumnya oleh scenario Jea.

"Jadi mending menyerah saja. Kau bisu atau gimana sih?" sekarang laki-laki itu kesal. Menunggu jawaban Jea yang tidak juga tertarik untuk diberikan.

Tentu saja. Jea hanya tanggung jawab Gama selama ini. Sekarang, karena Jea sendiri yang memutuskan hubungan, Gama tidak lagi harus bertanggung jawab atas apapaun. Tidak harus lagi terkekang untuk menikmati perasaan yang sebenarnya. Perempuan yang benar-benar dia sukai, bukan tanggung jawab.

Setelah pertikaian di kepalanya sendiri, mata Gama berhenti pada sosok Jea yang panik. Mungkin karena terlalu panik sampai gadis itu menjatuhkan telepon genggamnya sendiri. Gama melihat presensinya sehingga Jea harus cepat pergi dari tempat itu. Tubuhnya melesat cepat sebelum mulut Gama terbuka untuk memanggilnya.

"Jea? Je! JEA!" Gama mempercepat jalannya, tapi yang jelas Jea sudah lebih cepat berlari menghindari walaupun dengan kakinya yang terbalut heels tinggi.

cage of majestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang