thirteen : Jeanona

10 2 0
                                    

Semalaman mengobrol dengan Gama bukannya menjadi hal yang menyenangkan tapi berubah menjadi hal yang memukul telak kepalaku. Menganggap bahwa aku adalah orang yang paling mengenalnya bahkan lebih dari dirinya sendiri seakan mempermalukan. Melihat ke belakang, ternyata selama ini aku hanya membual. Gama tak pernah begitu saja membuka diri padaku, tapi akulah yang terlalu banyak mengatakan berbagai macam padanya. Dia tidak pernah mengeluh tentang keluarganya yang memaksa keputusan tentang kuliahnya. Namun semalam tiba-tiba dia menjadi orang yang begitu. Fakta yang mengatakan bahwa dia menginginkan menjadi seorang seniman saja sudah seperti berita tentang bom yang dijatuhkan di atas kepala, mengagetkan. Bayangan Gama mengatakan itu pada papanya sudah cukup menjadi alasan dia akan dikurung lagi seumur hidup di rumah.

Tapi tentu fakta itu tidak lebih baik dariku. Setidaknya Gama tahu apa yang harus dia lakukan dengan hidupnya dan memiliki banyak cara nantinya untuk terjun di bidang yang dia sukai. Aku seumur hidup tak pernah tahu apa yang harus aku lakukan di hidupku selain fakta bahwa aku ini calon istri dari pewaris tahta 'kerajaan' Soerendra. Tidak banyak yang harus aku lakukan selain menjadi gadis baik-baik dan menjaga nama baik keluarga.

Meletakkan kepala pada meja sambil memandang teman-teman disini yang tak pernah kuajak bicara. Apakah di dalam kepala mereka, mereka juga memiliki mimpi yang mungkin ingin mereka wujudukan? atau mereka sudah pernah mencoba untuk mewujudkannya? Sering sekali aku mengatakan aku tahu apa yang harus kulakukan di masa depanku karena bisnis keluarga yang kumiliki. Namun nyatanya jauh di dalam diriku tak pernah tahu apakah itu yang ingin kulakukan.

apa yang akan kau lakukan di masa depanmu, Thalia?

mewarisi bisnis keluarga Davarish di bidang real estate, berkuliah di bidang ekonomi dan bisnis administrative, melanjutkan ke jenjang lebih tinggi sekaligus mengambil satu dua proyek, memimpin setelah beberapa tahun di projek dan menggantikan papa menjadi pimpinan di Davarish corp.

Tapi aku tak pernah benar-benar memikirkan apakah itu yang kuinginkan di hidup ini?

Aku tahu kesukaanku adalah menembak bersama Gama, menunggang Jasper kuda yang ku tunggangi sejak aku kecil dan anggar. Namun aku tak mungkin untuk membuat karir dari ketiga hal yang kusuka karena itu semua hanya hobi tak lebih dari itu. Semua yang kulakukan di sekolah juga karena aku tidak boleh menjadi orang yang terlalu bodoh yang menjadi masa depan perusahaan. Tidak terlalu bodoh adalah hal yang kulakukan hampir tiap hari. Jika aku memikirkannya, aku tidak harus menjadi sangat pintar seperti Gama, sangat berprestasi sepertinya. Aku hanya perlu untuk tidak meletakkan namaku di paling bawah ranking sekolah, karena semua akan melihatku dan mengatakan bahwa masa depan Davarish corp tidak akan indah jika jatuh ke tanganku.

Kembali aku mengadah menatap langit-langit kelas. Tidak ada orang yang bisa kumintai tolong untuk menerawang kegiatanku di masa depan. Apa aku ingin duduk diam di rumah sembari menunggu Gama pulang? memakan kudapan kue yang disiapkan beratus pegawai di rumah. Apakah aku akan mati kebosanan di masa depan?

"kau tak apa?"

Seseorang menghampiriku, Hildan namanya. Perempuan yang tak banyak bicara, duduk di sebelah bangkuku dan rajin sekali membaca. Baru saja aku sadar semua orang menghadapkan wajah mereka ke wajahku dan melihatku dengan tatapan aneh. Rupanya aku menghembuskan nafas terlalu keras, menghela nafas berkali-kali sampai orang-orang mengira aku memiliki asma atau apa.

Hildan cukup baik untuk berani bertanya mengenai keadaanku.

"Tidak apa. Ada banyak pikiran saja. Jangan risaukan aku seperti yang biasa kalian lakukan" kataku lebih kepada semua orang yang menatapku.

---

"Ada rumor yang mengatakan kita sedang bertengkar" Gama duduk di depanku saat kami berdua ada di kantin untuk makan siang. Dia meletakkan makanan di depan tubuhku yang melengkung, meletakkan kepala di meja.

"rumor keberapa itu?" kataku mencoba untuk peduli pada kalimatnya.

Gama tak menjawab, tapi aku tahu dia sedang tersenyum sambil mempersiapkan makan siang ku dengan telaten.

"aku bukan anak kecil, Gam. Ga perlu disiapkan" kataku sambil mengadahkan kepala untuk kembali duduk dengan rapi

"kenapa protes? kau tak pernah protes diperlakukan seperti ini sejak kita kecil. Kau belakangan ini aneh" kata Gama sambil memberikan sendok padaku "makan, keburu dingin ga enak"

Dan dia memulai makannya.

"aku ga mau diam di rumah nungguin kamu pulang kerja. Aku bisa mati kebosanan" kataku dengan tangan mengaduk makanan tanpa berniat untuk memakannya

Terlihat dia menghentikan kegiatan makannya dan menatapku seakan-akan obrolan yang sedang aku lontarkan adalah hal yang seharusnya Gama tahu maksudnya tanpa harus kujelaskan. Tentu saja dia diam sebentar masih menatapku. Entah untuk berapa lama kami berdua saling bertatap sebelum dia tersenyum tipis. Sebelum menjawab, aku tahu dia melirik jari manisku yang bertengger cincin tunangan kami berdua.

"ya jangan di rumah kalau gitu. Memangnya tak kerja?" dia mengunyah suapan pertamanya sambil melihatku "kan kau calon pemimpin Davarish masa ga kerja? mau makan gaji buta?" Mencoba berkelakar, dia mengangkat alisnya.

"memangnya Gama tetap mau kerja di perusahaan Soerendra?" kataku mulai tertarik dia tak protes atas kalimat 'menunggunya pulang kerja'.

"seperti aku punya pilihan lain saja" jawabnya

Ha?

Memicingkan telinga dengan jawaban yang kudengar. Bukannya dia sudah mempersiapkan untuk masuk ke kuliah seni, lalu maksudnya dengan masih bekerja?

"Apa yang kusukai bukan berarti hal yang harus aku lakukan seumur hidup Je. Jangan terlalu sempit ah lihatnya. Aku berkuliah di Seni tidak memungkiri aku juga masih menjadi penerus perusahaan Soerendra. Aku masih bertanggung jawab atas itu. Dan kau tuan putri, kau tidak harus menungguku pulang kerja dengan kebosanan. Aku tidak akan mengekangmu untuk melakukan hal yang kau suka"

Entah bagaimana Gama melakukannya. Mengatakan hal paling romantis yang bisa dikatakan seorang pasangan atau disini seorang calon suami kepada calon istrinya bahwa dia juga masih memiliki banyak hal yang bisa dikerjakan selain duduk diam di rumah. Kalimat romantis yang dia katakan itu dia katakan begitu saja dengan mengunyah kentang rebus dan memandangku seakan apa yang barusan dia ucapkan bukan hal yang istimewa sama sekali.

"jadi apa yang ingin kau lakukan? Menembak? Bermain anggar? Naik Jasper sepanjang hari? atau berada di kantor sepanjang hari?" tangan Gama meletakkan satu tempura ke makananku yang dengan senang hati langsung ku makan.

"entahlah. Kau pikir aku harus melakukan apa, Gam?"

"kenapa tanya padaku. Tanya pada dirimu sendiri, Princess." tangannya mengelus kepalaku dan melanjutkan makan siangnya lagi.

Masalah ini mungkin belum ada jawabannya sekarang. Memang kenapa kalau aku harus duduk di rumah dan menunggu Gama pulang? Memang kenapa kalau dia berkuliah di seni? Memang kenapa kalau aku main anggar sepanjang hari seumur hidupku? atau menembak setiap hari lalu sorenya naik jasper?

Lalu tiba-tiba saja semua jawaban ada di kepalaku. Gama menjawabnya dengan santai, memberikan sentuhan pada kepalaku yang dari semalam memikirkan hal ini.

Setidaknya aku masih memiliki pilihan dan calon suami yang tidak mengekangku. Kalau nanti di tengah jalan aku ingin melakukan hal yang baru ya tinggal dilakukan. Sepertinya hidupku terlalu banyak memandang hitam putih. Jika aku tidak berdiri di putih maka aku harusnya ada di hitam. Padahal di dunia ini pilihan akan selalu ada, semua hal akan ada pilihan lain, bahkan di pilihan lain itu akan ada pilihan lain yang harus kita hadapi. Masih ada angka sampai sembilan, jadi jangan terpaku pada dua pilihan saja.

---

cage of majestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang