twelve : Gamawira

13 3 0
                                    

Gamawira lahir di keluarga berkecukupan, bahkan lebih. Itu adalah syarat utama yang ditetapkan papa untuk menjadi pendamping hidupku selain untuk menunjang bisnis dari keluarga. Sebuah sinkron dari kehidupan yang telah ditata sedemikian rupa hingga mencapai balok paling puncak, namun si perempuan pemeran utama yang seharusnya dengan keras menentang hak nya dilanggar malah mengikuti permainan itu dan kalah karena jatuh hati. 

Orang-orang memanggilnya Melviano namun Gama tak begitu menyukainya dan meminta untuk memanggilnya Gama selain orang-orang di keluarganya, dia maklum karena keluarganya adalah keluarga ‘formal’. Hidup menjadi anak satu-satunya sampai dia sekolah dasar dan anggapan bahwa dia satu-satunya ternyata salah. Gama memiliki dua orang kakak tiri dari ibu yang berbeda. Keluarganya ‘membuang’ kenangan yang mencakup seluruh hidup dari keluarga ibu tirinya. Bahkan Gama dilarang mengucap maupun membicarakan mengenai keluarga itu di sekeliling keluarga Soerendra. Aku pernah bertanya mengapa, namun tidak ada jawaban. Gama hanya diam, entah karena memang dia juga tidak mengetahuinya atau dia tidak ingin menjawab. 

Sudah kukatakan sebelumnya bahwa kami berteman sejak kecil. Keluarga Gama memindahkan Gama ke sekolahku pada saat kelas enam sekolah dasar. Aneh sekali pada saat itu karena ada anak baru di tingkat akhir sekolah. Alasannya adalah sekolah itu lebih elit dan eksklusif karena merupakan sekolah internasional sehingga Gama dipindahkan disitu tanpa persetujuannya juga. Persetujuan bagi Gama adalah sebuah kesempatan emas, dia jarang memilikinya. 

Aku tidak begitu mengenal Paxton, kakak tiri Gama yang dari Gama pernah ceritakan memiliki sifat tertutup dan tidak banyak omong, lebih terkesan sombong. Namun Paxton memiliki ruang tersendiri di hati laki-laki itu. Paxton telaten setiap hari mengajarinya bisnis keluarga sejak kecil. Walaupun Paxton mengatakan membenci Gama, namun aku yakin kalimat itu hanya sebatas di mulut saja. Tidak pernah ada orang yang membenci lalu dengan gratis memberikan ilmu bisnis. 

Kamu seperti Paxton. 

Kalimat itu yang diberikan Gama padaku saat kami baru beberapa bulan mengenal. Baginya, aku begitu keras di depan namun lembut di dalam. Ada banyak kesulitan dan rasa sakit yang dirasakan sehingga tembok besar dibangun sedemikian rupa. Sama seperti Paxton, semarah apapun pada Gama, aku tak pernah bisa untuk benar-benar membencinya. Bagiku, Gama jika melakukan kesalahan adalah hal yang jarang karena dia dengan sigap akan memperbaikinya. Sedangkan Paxton, kupikir dia terlalu keras karena tidak tahu bagaimana cara melembutkan diri. 

Sudah tertancap di dalam hatinya bahwa dia harus membenci adik tirinya itu. Tanpa diketahui, dia tak pernah bisa untuk membencinya sepenuh hati. Gama terlalu sopan padanya, bahkan menuruti banyak permintaan Paxton. Mereka berdua bagai orang yang memiliki ketergantungan satu sama lainnya namun tak pernah menyadari hal tersebut. Aku tak pernah benar-benar bertemu secara langsung dengan kakak tiri itu. Hanya beberapa kali bertegur sapa dan tak pernah bisa berbincang secara bebas. Papa melarangku untuk mendekati hal-hal yang membuat keluarga Soerendra tidak nyaman. 

“kenapa tidak mengajak Gama untuk ikut main papa? Kamu tidak bisa main biar sekalian dibantu Gama main golf” kata papa 

Sudah berapa kali papa meminta Gama untuk bermain dengannya, namun aku banyak memberi alasan karena malas berbincang dengan papa. 

“Gama kan tidak suka golf, Pa. Masa Jea paksa”

“ya dipaksa gak papa kan ini calon mertua dia. Gimana sih” si nenek lampir ikut-ikutan memberi komentar. 

Sekuat tenaga aku tidak menganggap wanita itu ada di lingkungan rumah ini. Ada begitu banyak kamar yang tersedia, kenapa papa mengizinkannya tidur bersamanya dimana disana ada foto mama? Aku menggesek garpu begitu nyaring karena terganggu atas suara yang dihasilkan dari kerongkongannya. 

cage of majestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang