Twenty One : Thinking This Out Loud

8 2 0
                                    

Ingin menangis pun rasanya tidak bisa karena tidak pernah menyediakan kesedihan terlalu banyak di dalam hati. Bahkan keluarga yang begitu berantakannya tidak banyak mendapatkan ruangan cukup di hati yang bersedih di dalam diri. Menghentakkan kaki begitu cepat saat melihat pengumuman di website universitas yang hampir kumasuki di Boston. Disana dijelaskan bahwa aku tidak diterima, sedangkan saat aku melihat nomor pendaftaran milik Gama, dia berhasil masuk.

Rasa kecewa yang kurasakan rasanya sampai kerongkongan. Maksudku, disini yang ingin berkuliah jauh dari rumah adalah aku tapi semesta malah tidak mengabulkannya. Sedangkan Gama yang memang tidak berminat dari awal diberikan kesempatan. Aku begitu iri dengan hidupnya yang sepertinya lurus dan nyaman seperti jalan tol. Walaupun aku tahu kami berdua tidak akan pernah mengambil kesempatan jauh di luar negeri.

Bahkan entah sudah berapa hari aku dan Gama tidak saling menghubungi. Lebih tepatnya, aku yang menolak semua hubungan yang ingin ditarik oleh Gama. Dia menghubungi lebih dulu, dia berusaha untuk menemuiku, namun semua itu aku tolak. Seperti tidak tahu diri, aku benar-benar menjaga jarak pada orang yang aku sayang. Orang yang selama ini aku pikir menempati hatiku dengan penuh. Namun tidak, kedudukan dia terkalahkan dengan kedudukan perusahaan keluargaku.

Hari itu aku dipanggil ayahnya ke perusahaan. Diberikan banyak wejangan tentang hidup sebagai Soerendra. Jika Gama masih ada di Indonesia, maka wajib bagi kami berdua untuk menempati rumah yang dekat dengan rumah utama Soerendra. Aku diharuskan untuk melahirkan anak laki-laki yang harus kudidik dengan penuh. Yang paling mengejutkan adalah karena saat ini Davarish sedang ada di masa yang sulit, jika aku mau untuk membantu Davarish dengan meminta tambahan dana pada Soerendra, maka aku harus mengizinkan saham terbesar Davarish pada Soerendra.

Itu berarti, Soerendra akan jauh lebih dalam mencampuri urusan keputusan perusahaan.

Entah selama ini Gama mengetahui mengenai aturan itu atau tidak, yang jelas saat ini aku membenci bagaimana Soerendra yang ada di namanya mencoba untuk menundukkan Davarish. Menganggap aku hanya mesin pencetak anak dan Davarish adalah perusahaan yang tidak terlalu penting. Bagaimana mungkin aku akan menikah dengan keluarga yang terlalu pengatur seperti ini? Memanfaatkan keadaan bahkan jauh terlalu mencampuri hak orang lain.

"Thalia tahu, hanya seorang laki-laki yang bisa memimpin perusahaan. Tidak mungkin saya mempercayai kamu untuk mengurus Davarish dan menghancurkan perusahaan itu. Saya peduli pada keberlangsungan perusahaan dan karyawan yang menggantungkan hidup pada perusahaan itu. Maka dari itu, saya mengatakan ini semua"

Mendengarnya sebentar saja, aku bisa tahu betapa mengerikannya hidup bersama orang ini.

---

"apa maksudmu mundur, Je?" Gama dengan senyumnya yang menawan menghilang beberapa detik setelah mendengar kalimatku mengenai aku yang ingin mundur dari perjodohan kami berdua.

"Mundur. Tidak ingin melanjutkan. Putus. Apapun itu."

Menyesap kopi yang sudah melebur dengan es dan mengantarkan rasa hambar pada lidah yang mengecap. Rasa-rasanya kami berdua baru duduk bersama selama beberapa menit. Beberapa menit dalam diam karena aku menolak untuk basa basi dan merangkai banyak kalimat di dalam kepalaku. Cabikannya tidak menyenangkan saat mengatakan aku harus mundur.

"Kenapa tiba-tiba memutuskan itu? Karena tidak jadi ambil universitas di Boston?"

Menghembuskan nafas berat dan tahu bahwa Gama mendengarnya, tidak bisa begitu saja menyembunyikan betapa kecewanya aku saat ini pada keadaan.

"Aku tidak diterima."

Kataku menatap wajahnya yang mengubah duduknya dengan awal menyandar berganti menjadi duduk tegak. Dengan bukti ini, aku tahu Gama tidak terlalu peduli pada hidupku. Kami berdua tahu mengenai nomor pendaftaran satu sama lainnya. Dia tidak repot-repot untuk mengecek milikku dan hanya mengecek miliknya sendiri. Satu dari beribu alasan mengapa aku memang harus melepaskannya.

"Je, maafkan aku. Aku tidak mengecek milikmu karena kuyakin kau pasti lulus" katanya menatapku.

"itulah. Itu salah satu alasan kenapa aku mundur, Gam"

Gama menyatukan dahinya tidak mengerti dengan alasan yang kumaksudkan. Matanya menelisik pada wajahku dan beberapa menit tidak melepas pandangannya pada mata kami yang sedang beradu.

"Davarish juga sedang ambruk. Entah berapa lama dibutuhkan, menunggu perusahaanku benar-benar colaps. Itu artinya, aku tidak akan berguna untuk keluargamu"

Menyesap kopi lagi dan berharap agar cepat habis. Aku tidak ingin menangis di depan wajahnya lagi. Tidak ingin meminta bantuan pada takdirku yang begitu buruk setelah kelulusan. Mungkin ini hadiah yang diberikan pada semesta padaku setelah kelulusan. Bahwa aku ini tidak benar-benar berguna pada hidup Gama.

"Aku akan dengan senang hati membantu Davarish, Je. Perusahaanmu jauh lebih benefit dan maju secara pesat beberapa tahun terakhir. Itu akan menguntungkan Soerendra, jangan khawatir hanya karena itu ya?"

Tentu saja. Kami kan hanya pasangan untung dan rugi. Dia tentu akan mengatakan betapa menguntungkannya perusahaan yang akan dia berikan bantuan. Tapi saat itu, cincini yang melingkar di jari manisku tidak akan ada disana lagi. Kuletakkan pada kotak cantik beludru hitam dan bertengger pada laci hingga aku mati.

"Mengubahku sepertimu jauh lebih kubenci daripada hidup tanpa perasaan cinta di pernikahan kita"

"sudah kubilang aku tidak akan mengekangmu seperti itu. Kalau kau perlu perjanjian, aku akan bantu mengurusnya kalau mungkin kau tak percaya"

"Mungkin bukan kamu. Sering sekali aku lupa bahwa kau tidak sendiri. Kau berdiri di depan orang-orang dengan nama belakang Soerendra. Aku lupa, jika memang kau tak masalah akan kebebasanku, mungkin ada banyak Soerendra yang bermasalah jika aku tidak dikekang"

"Jelaskan lebih lanjut"

Namun aku memutuskan untuk merapikan barangku yang ada di atas meja ke dalam tasku. Berpamitan pada Gama dan dengan cepat berjalan pergi dari hadapannya. Walaupun dia cukup kuat untuk menghalangi jalanku, tapi aku tidak segan untuk menariknya kasar dan mendorongnya menjauh. Tidak peduli banyak orang menatap drama kami berdua. Aku harus keluar dari hadapanya dan tidak membiarkannya melihatku menangis.

---

Hidup tanpa Gama. Hidup tanpa tangannya yang memotong pinggiran rotiku. Hidup tanpa melihat wajahnya yang menawan dengan sepasang lesung pipi dalam saat dia tersenyum. Hidup tanpa senyumnya, hidup tanpa kehadirannya. Aku tak pernah berpikir bahwa aku akan ada di fase dimana cincin pertunangan tidak melingkar lagi di jari manisku.

Berteriak pada bantal yang menyekap wajahku. Memberikan sumpah serapah pada takdir dan semesta. Menyalahkan semua hal dan menyumpah pada kedudukanku yang tidak berguna di dunia. Rasanya begitu sakit saat aku sadar betapa aku tak memiliki siapapun. Saat aku bergantung pada Gama, kesepian jarang sekali mampir pada pikiranku. Entah itu senan, sedih, semua kugantungkkan pada kehadiran laki-laki itu.

Manusia meman makhluk sosial, tidak dibenarkan unntuk hidup sendiri karena pada dasarnya kita semua saling membutuhkan. Tapi tidak dengan salah satu memberatkan satu lainnya. Jangan terlalu memberikan fase hidupmu pada orang lain. Tidak banyak menccoba untuk sendiri menghadapi semuanya. Kesalahanku bahwa aku terlalu mengenalnya, terlalu lama mengenalnya dan hidupnya.

Menangis sepertinya tidak cukup untuk membuang seluruh kesedihan dan rasa sesak di dalam dada. Hingga aku mencoba untuk memukulkan tanganku sendiri pada kepala, pada tangan dan tubuhku. Berharap dengan sakit yang kurasakan secara fisik, maka rasa sakit pada dadaku akan jauh berkurang.

Nyatanya, aku ingin dipeluknya erat. Tidak, aku tidak pernah memeluk Gama terang-terangan. Mungkin lebih sederhananya. Aku ingin ada di depan Gama yang mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

Gama, aku tidak baik-baik saja. Sama sekali tidak baik-baik saja.

---

cage of majestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang