eight : Explanatory is not necessary

17 7 0
                                    

Aku sudah cukup menangis pada saat aku masih muda. Anak yang harus tahu diusianya muda bahwa orang tuanya tak pernah menyukainya. Anak kecil yang sering bertanya pada cermin di dalam kamarnya yang besar dengan selimut linen dan kemewahan yang mengelilinginya, kenapa dia hadir di tengah keluarga yang tak menginginkannya. Anak yang sewaktu belia melihat dengan matanya sendiri bahwa bibir ayahnya mencium banyak perempuan lain selain ibunya.

Wajahnya yang terlalu mirip dengan ayahnya. Makin lama, dia mengerti bahwa tidak ada cinta tulus yang mengelilinginya. Semua adalah timbal balik dan mana yang diuntungkan dan tidak diuntungkan. Keuntungan dan kerugian itu harus dipikirkan matang-matang saat kau sudah membuka hatimu untuk laki-laki. Mereka tidak akan pernah puas dengan satu perempuan dan kau diberitahu sejak muda bahwa pernikahan itu hanya tanda tangan dan pelengkap dokumen.

Walaupun hidupku jauh lebih normal daripada saat Gama belum ada di sampingku, namun tetap saja konsep mengenai untung rugi dan pernikahan tetap sama di benakku. Toh Gama dan aku tak pernah tahu bagaimana mungkin kami berdua keluar dari perjanjian, pernikahan yang telah 'dipaksakan'. Sesuatu yang dipaksakan tidak akan menarik bukan?

"Je, kau belakangan ini lebih sering merenung. Ada yang dipikirkan?" Kata Gama membukakan botol minuman yang baru saja dia ambilkan untukku.

"Aku kan memang pendiam." Kataku agak kaget melihat wajahnya

"Kau tidak pendiam denganku." Jawabnya dengan suara khawatir.

Kepalaku menggeleng untuk memberikan keyakinan padanya bahwa aku baik-baik saja. Bahwa aku baik-baik saja tentang pernikahan kami yang nanti tanpa cinta. Aku baik-baik saja tentang dia sebenarnya menyukai gadis dari kelasnya bernama Fira dan bersamaku karena rasa tanggung jawabnya yang besar dan tentu saja karena Paxton.

"Nanti, kalau kita lulus dan ternyata aku tidak bisa masuk ke Universitas yang sama, bagaimana?" Kataku menghindar

"Tiap hari kita akan tetap bertemu karena tidak ada yang berubah dari aku yang menjemputmu dan mengantarmu pulang, Kan?" Katanya santai sambil memakan makan siangnya.

Tapi aku tidak bisa melihatmu makan dengan santai di depan wajahku.

"Kau benar," kataku mengangguk, sudah mulai malas untuk memakan makan siangku.

Gama menghentikan sendok dan garpunya. Dari pandangannya aku bisa sadar bahwa sekarang kedua matanya sedang memandangku dalam diam. Aku belum berani untuk mengangkat kepalaku, takut kalau tiba-tiba saja aku mengeluarkan emosi yang akan aku sesali nanti.

"Serius Je."

"Apa yang serius?"

"Aku ga akan kemana-mana. Kamu mau kita satu kampus bareng hm?" Katanya mencoba untuk membuatku menatap wajahnya. "Hey, kalau ini karena nilaimu yang kurang, aku yakin tidak seburuk itu? Kau pasti bisa, Je. Lagipula kita tidak tahu aku juga bakalan masuk."

Otakku tidak pernah kupermasalahkan. Hatiku yang kupermasalahkan.

"Nilaiku memang ga buruk. Tapi aku tidak yakin bisa bersama lagi. Fira gimana? Dia cerita mau kemana?" Akhirnya aku benar-benar memberanikan diri untuk melihat wajahnya.

"Fira? Kenapa kau berfikir dia akan menceritakan kampus impiannya padaku?"

"Ya karena kan kalian satu kelas"

"Lalu kalau satu kelas, kita langsung dekat?" Terlihat dahinya berkerut.

Kenapa dia terlihat benar-benar bingung dengan pertanyaanku? Beberapa hari yang lalu dia lupa untuk makan siang denganku karena sedang berduaan di perpustakaan. Tentu saja mereka akan lebih dekat setelah aku mengatakan pada semua orang bahwa kami tak pernah menyukai satu sama lain. Ditambah Fira juga mengiriminya surat cinta. Gama sudah mulai seperti papa atau bagaimana.

"Kupikir kalian dekat?"

"Atas dasar?"

"Entahlah. Kalian tidak dekat?"

"kami teman, tapi ukuranmu dekat seperti apa? Kalau seperti kita yang dekat ya tidak"

Sekarang aku yang mengerutkan dahi mendengarnya bingung. Gama ingin membodohiku karena aku tak mengerti tanda-tanda orang menyukai satu sama lain?

"Mungkin di bawah level kedekatan kita?"

"Sebentar. Kenapa kita tadi ngomongin Fira?"

"Universitas, Gam" kataku cepat

"Kau benar-benar khawatir pada universitas yang berbeda, khawatir tidak diterima, khawatir aku tidak diterima, khawatir dengan nilaimu, atau khawatir tentang Fira?"

Tanganku menjambak rambutnya tiba-tiba.

"Aaaa. Je- Je! yakali rambutku nanti gundul ah!"

---

Kapan papaku itu akan sadar bahwa aku sama sekali tak memiliki niat untuk hormat padanya. Laki-laki yang memang memiliki banyak harta, pandai dalam mengelola bisnis, namun tidak dengan kesetiaan. Aku akan dianggap gila jika mengatakan itu di depan wajahnya karena di dunia ini tak ada yang lebih penting dari harta, kepandaian dan kemampuan mengelola bisnis.

Racauannya mulai lagi pada seharusnya aku bersyukur dilahirkan di keluarga konglomerat dan tidak memiliki banyak masalah seperti keluarga Gama. Saat mulutnya itu mengatakan aku harus bersyukur dan merendahkan Gama, aku ingin mendorongnya sampai tulangnya patah atau apa. Si Jalang biar berteriak juga karena seluruh tugas mau tak mau akan dilimpahkan padanya, namun harta tetap untukku. Toh aku tahu bagaimana papa hanya bersenang-senang dengan si jalang.

Gama sudah lama sekali memilih bisnis atau ekonomi untuk nanti dia melanjutkan kuliah. Walaupun entah kapan secara jelas dia mengatakan itu. Tunanganku yang tampan itu hanya senyum-senyum saat diberikan pertanyaan yang sama oleh ayahnya dan papaku. Sehingga kami semua setuju bahwa anak laki-laki yang tak pernah melanggar kalimat ayahnya itu akan sama saja. Tentu Gama akan melanjutkan bisnis Soerendra karena dia memang pewaris tunggal.

Bisa kau bayangkan betapa kuatnya keluarga masa depanku dengan Gama sebagai suaminya.

Awalnya aku hanya mencoba untuk memberikan opini bahwa bisnis tidak terlalu berbanding lurus dengan minatku. Opsi yang kuberikan pada papa adalah Jurnalistik atau Komunikasi. Dengan pemikiran yang sempit dan bahan argumen yang tidak cukup mumpuni, aku mengatakan bahwa dua hal itu tidak akan sulit karena tidak berhubungan dengan angka. Berbeda dari keyakinan papa bahwa setidaknya untuk memimpin perusahaan, aku harus punya ilmu bisnis secara formal walaupun sedikit.

Sedikit menyesal bahwa aku tidak menyiapkan masa depanku dengan baik. Apa yang ingin aku lakukan ataupun hal-hal yang kuminati sehingga argumentasiku dangkal dan pemikiranku terdengar serampangan. Lebih baik memang aku tidak menyuarakan opiniku saja dan diam-diam mendaftar pada program studi yang kuinginkan. Sekarang aku terjebak dengan pemikiran pelik di depan si jalang dan papa yang menganggapku bodoh karena tidak dapat menjawab apapun pertanyaan mereka mengenai langkah yang kuambil.

Terlalu sedikit pemikiranku pada masa depan.

"Seharusnya kau tidak memberikan opsi itu pada papamu." Terdengar kalimat si jalang itu mulai angkat suara ketika ruangan sunyi tidak menyenangkan.

Aku melihat wajahnya dengan raut kau-mau-mati-atau-apa? Mendelik tidak percaya pada telinga yang menangkap bunyi menjijikan dari suaranya. Bahkan sesederhana kalimat basa-basa rasanya aku mengunyah sampah jika berhadapan dengan si Jalang.

Tentu saja dia diam setelahnya walaupun papa harus melihatku dengan tatapan yang sama. Heran sekali. Katanya darah lebih kental daripada air, namun ini jelas sekali darah yang mengalir di dalam tubuh papa dan tubuhku adalah berbeda. Sehingga dikatakan bahwa darah lebih kental daripada air adalah omong kosong belaka.

Entahlah, aku harus bagaimana dengan lanjutan sekolahku. Toh aku juga ingin bersama Gama dan dia belum mengatakan padaku mau melanjutkan ke luar negeri atau di sini.

Akhirnya? Akhirnya aku tidak menemukan jawaban atas opiniku mengenai masa depan pada papa. Pada Gama yang tidak juga banyak memberikan suaranya tentang bagaimana dia dan masa depannya. Sepertinya aku tidak termmasuk pada rencana masa depannya.

cage of majestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang