Twenty Four : Story of Us

15 2 0
                                    

Keadaan berbalik ketika aku pulang ke rumah. Papa dengan setelan kerjanya yang masih menempel, mama yang duduk tidak nyaman seperti menunggu sesuatu. Sepertinya mereka menungguku. Kakiku diam saja menatap wajah mama yang sudah lama tidak datang di sekitar rumah ini. Rasanya aneh, tidak bahagia sama sekali. Berbeda sekali dari aku beberapa tahun yang lalu, mengejarnya dengan wajah sumringah walau dijawab dengan dorongan agar tidak menyentuhnya sama sekali. Aku yang sekarang memang anak gadis yang sudah membenci ibunya. 

Kak Gio mengatakan pada papa, atau memang papa tahu dan mengerti tentang semuanya sekarang. Anggapku, mereka akan meminta penjelasan. 

Tidak banyak yang kulakukan selanjutnya, hanya berjalan tanpa menyapa dan duduk di salah satu sofa. Meletakkan tas di samping tubuhkan dan menyilangkan kaki sama seperti yang dilakukan mama. Anak lain, lebih tepatnya aku beberapa tahun yang lalu akan begitu berbahagia melihat disana mama pulang setelah bertahun-tahun menolak menginjakkan kaki di rumah ini.

"Sepertinya banyak hal yang perlu kau jelaskan pada kami."

Lamanya kami bertiga terdiam setelah kalimat papa keluar dari mulutnya. Dia belum juga duduk untuk melihatku, hanya berdiri dan mondar-mandir seperti memiliki kehidupan yang ingin segera dilepas dari tubuhnya. Pikiranku seperti memberikan kesempatan pada mereka berdua untuk meminta maaf, tapi untuk apa? Masalah ini bukan seratus persen kesalahan mereka, aku sendiri yang malah menyukai Gama.

"Biasanya kalian berdua tak pernah peduli dengan keputusan yang sudah kuambil? Wanita ini lebih memilih untuk pergi bertahun lamanya dan hanya pulang untuk mengomentari tubuhku. Sedangkan laki-laki terhormat yang sepanjang hari hanya sibuk untuk mengurus wanita lain tidak pernah mengatakan bagaimana keadaanku." Sindiran tak ayal keluar dari mulutku begitu saja. 

Harusnya aku dihadiahi tamparan atau bentakan dengan kalimat aku ini anak durhaka, tapi kali ini yang terjadi jarang sekali kudapat hanya hening. 

"Kenapa sama sekali tak pernah mengatakan kalau perusahaan kita diminta untuk diakuisisi dari pihak Soerendra? Apalagi pertunanganmu gagal?" Papa menghiraukan sarkasme yang kulemparkan tapi memberikan pertanyaan yang mungkin sudah ada di ujung mulutnya dan ingin segera menyelesaikan urusan ini.

Dahinya mengerut tak ingin lebih lama berada di ruangan ini. Entah itu karena aku atau presensi mama yang cukup mendominasi papa. Entah kenapa mereka tetap memutuskan untuk bersama. Papa tidak lagi memberikan penjelasan tentang hubungan mereka yang seburuk ini. Mama juga tidak sudi untuk melihat mata papa.

"Aku akan pergi dari rumah ini." Menolak untuk memberikan penjelasan atas hal yang awalnya mereka tolak untuk peduli, kenapa aku harus peduli pada mereka juga?

Beranjak dari sofa tempatku duduk, disertai bentakan-bentakan yang seringkali kudengar, rasanya yakin dan mantap untuk segera pergi dari keluarga yang berantakan ini. Rencana yang hanya ada di bawah pikiranku saja, pertimbangan tentang ketakutan untuk menghadapi dunia lebih besar dari ini. Tapi bertahanpun untuk apa? Ketika pulang kosong, ketika hal buruk terjadi aku sendirian.

Memandang telepon genggam dengan id caller Gama disana, jariku sepertinya memiliki pikirannya sendiri namun segera kubatalkan telepon itu dan menelepon orang lain.

"Kak Gio, aku butuh bantuan"

---

Tower yang sekarang kutuju adalah salah satu anak perusahaan keluarga Gio. Jika ini bukan menyangkut kewarasanku, seharusnya aku akan tetap di rumah dan bertahan dengan semuanya. Sungguh sudah sebesar ini dan cukup kenyang mendengar bentakan maupun desahan tapi entah kenapa, sekarang aku muak. 

Kardus yang sekarang ada di kedua lenganku rasanya tidak berat. Tertawa atas hal ini, aku hanya membawa sedikit sekali barang. Ternyata aku memang tidak menilai hal-hal yang ada di hidupku berharga, tidak ada yang berharga bahkan isi dari kardus yang kubawa. 

"Ini penthouse yang ingin kuhadiahkan pada ulang tahunmu yang berikutnya." Suara Gio adalah suara pertama yang menyambutku sedetik setelah tanganku membuka tempa yang dibagikan Gio di pesan singkat kami tadi malam. Aku memintanya untuk mencarikan rumah agar aku bisa segera minggat dari rumah. 

Menghadiahkan penthouse seperti membeli permen jeli satu untuk adikmu yang craving makanan manis.

"Aku hanya akan disini selama satu bulan, aku tidak mau menumpang gratisan."

"Kan sudah kubilang, aku menghadiahimu penthouse ini di ulang tahunmu. Lihat? Aku benar kan memberikanmu barang-barang interior sekalian? Kau saja hanya membawa tas dan satu kardus. Benar ini Thalia konglomerat Davarish?" Gio mencoba berkelakar namun dihadapkan pada wajahku yang kusut dan sedang tidak ingin tersenyum manis.

"Terserahlah, yang jelas aku hanya ingin tidur dengan tenang seminggu ini. Tidak ada waktu untuk cari rumah. Nanti kalau aku sudah ketemu tempatnya, aku tidak akan ada disini." 

Duduk pada salah satu sofa yang diletakkan di tengah ruangan, aku melepas heels yang sedari tadi membuat tumitku memerah. Menelungkupkan wajah pada tangan sendiri agar tidak ada cahaya yang masuk mengenai wajahku. Ternyata lelah sekali berada di drama ini. Lelah juga mengangkat kardus dan menghindari orang yang terlihat mengikutiku. 

"Jadi kita akan merayakan dengan wine?" Gio masih berusaha untuk mendekat, tangannya melepas kancing lengannya dan mulai memilah botol wine yang ternyata sudah berjajar di meja pantry. Aku yakin itu juga termasuk hadiah yang diberikannya padaku. 

"Aku tidak mau memberimu kesempatan untuk mendekatiku, Kak. Aku tidak akan bisa membuatmu menjadi pasanganku."

Sepertinya Gio mencoba untuk tidak mendengarkan dan masih menarik tutup botol wine itu hingga berbunyi plop terbuka. Aku tahu Gio itu mempesona, dengan pikiran dewasa dan kekayaan yang sudah jelas akan membantu perusahaan. Papa sudah pasti menyukainya, walaupun tidak bisa sekaya Soerendra setidaknya Gio juga anak konglomerat. 

Bunyi plop itu sudah terdengar, dan sekarang aku melihatnya mendekat dengan dua gelas kaca dan senyum. Senyumnya hambar, tidak mempesona. 

"Kita harus merayakan segala hal. Apalagi sekarang kau sudah sendiri." Meletakkan gelas di meja depan tubuh kami dan dia ikut untuk duduk di sofa tidak menungguku untuk minum dan sudah menyesapnya duluan. "Sekarang karena papamu sudah membenci Soerendra, aku akan mencoba untuk mendekatimu lewat dia. Aku tidak mau berbohong soal itu, Thalia."

Kepalaku mengangguk-angguk seperti sudah sadar akan ke arah mana hubungan kami jika dia memang nekat untuk mendekati papa. Tapi jika dia benar-benar memutuskan untuk melakukan hal itu, aku tidak akan segan-segan memesan satu tiket ke luar negri tanpa kembali. HIdupku tidak akan hanya berputar di persoalan pernikahan. 

"Jadi, kau tahu kalau diikuti orang suruhan Soerendra?" 

"Ya. Entah kenapa bocah itu malah mencoba untuk masuk ke kehidupanku. Laki-laki kalau ditarik ga pernah tarik balik. Mereka akan menarik kalau tanganku ini sudah mencoba untuk melepaskan rotannya." Mataku memandang jari panjang di tangan-tanganku. Membuatnya cantik, apalagi jika masih ada cincin pertunangannya. 

"Aku tidak. Jika memang Thalia ini mau, aku akan tetap menarik mau seperti apa kau ingin aku lakukan."

Rasanya, ada sesuatu yang tercekat di tenggorokanku. Rasanya mual dan ingin muntah mendengarnya terang-terangan akan mencoba mengejarku. 

Masalahnya, kuncinya masih ada di Gama. 

cage of majestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang