Thirty - EPILOG

25 3 1
                                    

Thalia menggenggam gelas dinginnya dengan jemarinya yang lentik cantik. Menggoyangkannya sedikit tanpa memberikan fokus perhatian pada lawan berbincangnya yang terlihat duduk tak nyaman. Duduk tegapnya tidak berubah sejak detik pertama dia memasuki ruangan. Mungkin memberikan salam akan membuatnya lebih baik, tapi ternyata tidak. Pasangan yang seharusnya tidak secanggung itu, tumbuh bersama dari kecil tidak menutup kemungkinan mereka akan dihinggapi rasa canggung luar biasa. Mulut Thalia pun sedang enggan untuk memulai percakapan seperti biasanya.

Bagaimana mungkin mereka bisa begini tidak nyamannya padahal pernah sedekat jari kelingking dengan jari manis. Tanpa cincin, mungkin beginilah manusia-manusia berpasangan lainnya.

"Kalau mungkin aku ada salah, mohon Je berikan penjelasan padaku." Akhirnya Gama membuka suara. Tidak lagi tahan dengan kecanggungan yang menggelitik tengkuknya.

Kepala Thalia mulai mendongak menatap wajah rupawan Gama beberapa detik sebelum kembali pada kopinya yang dingin. Es yang mencair memberikan tambahan rasa dingin dari dua orang yang mencoba untuk saling menatap.

Gama membaca setiap gerakan gadisnya. Aneh menjalir pada pikirannya. Thalia tidak pernah sediam ini sebelumnya. Mulutnya adalah salah satu obat anti depresant paling manjur yang pernah dipunnyai Gama dan saat ini tidak berbunyi lagi. Tak lagi menjadi miliknya seorang. Bahkan jika Gama memaksa pun sepertinya sulit untuk masuk lagi ke dunia milik gadisnya.

"Terima kasih sudah mau menemuiku disini. Bertemu denganku setelah berminggu-minggu tidak bisa dihubungi." Suara Gama terdengar menciut. Mencoba untuk sembunyi dengan menutup kelopak matanya sebentar, memberikan hembusan berat dan banyak oksigen pada paru-paru. Tapi rupanya sebongkah hal mengganjal begitu besar di dalam tubuhnya. "Sudah kucoba untuk sedikit demi sedikit mengalah pada egoku sendiri. Mencoba menjawab seluruh hal yang tidak kusukai. Kau dulu sering sekali memberikan nasehat itu bukan? Hidupku dulu bukan hidupku. Kau tahu segalanya-"

"Apa yang bisa kubantu hingga kau ingin kita bertemu, Gama? Aku harus kembali ke kantor karena ada hal yang perlu kulakukan dengan project terbaru." Tangannya terangkat untuk melihat jarum jam bergerak, memastikan dia tidak akan terlambat nantinya. Memotong kalimat yang menurut telinga Thalia tidak terlalu penting saat ini didengarkan.

"Aku hanya ingin melihat wajahmu. Mengatakan pada diri sendiri bahwa ada hal yang tertinggal disitu sewaktu aku pergi." Ujung telunjuk Gama terarah pada dada Thalia, berharap gadis itu tahu betapa besar perasaan Gama padanya sekarang.

Saat lelaki itu menunjukkan segala ketertarikannya, si gadis justru terlihat tidak nyaman dengan semua yang diterimanya. Mungkin terlambat untuk saling mencoba dari awal. Kepala Gama penuh akan tanda tanya, apakah semua yang dia coba untuk ungkap lewat tindakannya tidak bisa diterima oleh gadisnya. Justru Thalia menganggapnya sebagai pasif. Entah perasaan yang pernah diungkap Gama benar atau tidak.

"Kau cukup takut untuk memberikan pernyataan pada keluarga besar, bagaimana mungkin aku cukup percaya bahwa kau bisa tegas jika kita nanti masih bersama? Aku tidak bisa untuk menangkap sinyal, tidak cukup sensitif akan itu. Kumohon, jika memang ada sesuatu ungkapkan saja. Jangan diam dan pasif."

"Maafkan aku, semuanya rasanya menyerangku secara bersamaan."

Hembusan nafas terdenar dari mulut Thalia, bukan jawaban. "Tidak hanya kau yang menjadi korban. Anehnya, kenapa kau menyerang Kak Gio? Di kantor yang bisa dilihat oleh semua karyawan? Lakukan itu juga untuk Soerendra."

Thalia beranjak keluar tanpa menghiraukan tatapan mata Gama yang tidak ingin melihatnya terlalu jauh dari pandangannya.

---

Hari berganti Minggu, Minggu berganti bulan bahkan bukan berganti tahun dan belum ada satupun panggilan maupun pesan yang dikirimkan oleh Thalia maupun Gama. Mereka berdua seakan bertarung pada waktu. Waktu yang mencoba untuk merenggut semuanya dari kehidupan mereka yang baik-baik saja dahulu. Tidak ada yang menanyakan kabar, bahkan menyenggol sedikit satu sama lainnya tentang kesibukan yang dicoba untuk dibangun. Karir tentu akan menjadi penghalang mereka berdua, dan satu paling besar adalah bagaimana Soerendra mengikatkan besi pada kedua pergelangan kaki Gama.

cage of majestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang