Twenty : End Up Here

9 2 3
                                    

Entah sudah berapa lama gadis itu duduk di tempat yang jarang sekali dia tempati. Di dekat jendala ada sepasang tempat duduk besar menghadap ke balkon dari dalam kamarnya. Berbentuk seperti bola dengan hiasan bunga mawar merah muda dengan daun yang menyulur di beberapa bagian. Tidak ada keinginan untuk segera berbicara dengan siapapun yang bisa diajak berbicara. Thalia memang bukan gadis yang banyak berbicara, namun kesunyian tanpa mengatakan apapun juga bukan kebiasannya.

"Nona, makan siang sudah siap. Apa perlu bibi siapkan lebih banyak?"

Mata Thalia dengan malas menatap bibi yang sudah bertahun-tahun memberikan pelayanan terbaiknya. Bahkan jika boleh dikatakan, dia jauh lebih mengerti tentang kebutuhannya dari ibunya sendiri.

"Sedang tidak ingin makan, Bi."

"Lho kenapa? Nona belum makan sejak kemarin lho. Kemarinnya juga cuman makan satu pisang aja. Kalau diet jangan ekstrim Non" kata Bibi duduk di bawah dengan menggunakan tangannya untuk mengelus lengan milik gadis itu.

"Entahlah, Bi. Benar-benar tidak nafsu makan. Daripada nanti muntah, mending tidak masuk sekalian" katanya lesu.

"Bibi bikinkan jus saja ya kalau begitu, Non? Nona kan suka mangga. Bibi bikin alpukat sama mangga. Setidaknya tinggal sedot gitu Non"

"Yaudah iya Bi." Tersenyum menanggapi bibi yang terlalu memikirkan asupan makannya, tidak tega bagi Thalia untuk menolak lagi untuk kesekian kali.

Menunggu pintu tertutup, Thalia menghembuskan nafas cukup berat dari mulutnya. Menyandarkan punggung pada kursi bulat dan kembali mengamati seluruh daun yang bergerak-gerak, pikirannya entah terbang kemana.

Satu-satunya memori yang saat ini sedang dengan risau dia pikirkan adalah bagaimana dia begitu merindukan Gama. Seharusnya kemarin saat dia berdiri begitu dekat dengan Gama, lari saja mendekat dan memeluk laki-laki itu erat. Seakan-akan tidak mengerti akan emosi baru yang dia rasakan, Thalia malah menolak hal yang menggebu dan melarikan diri sendirian. Sekarang dia menolak semua hal yang berkaitan dengan Gama, bahkan takut jika nanti sewaktu-waktu dia bertemu dan bertatap mata padanya.

Meyakinkan diri atas hal yang seharusnya dia tidak begitu lemah untuk hadapi.

"Kau seharusnya tetap disana. Sekarang Soerendra sudah memutuskan kerja samanya. Harusnya kamu menjadi satu-satunya jalan keluar papa agar menjadi orang yang bisa menyelamatkan perusahaan kita!"

Kalimat itu terus terngiang di telinganya. Sudah berapa lama larut-larut oleh keputusannya untuk tak segera bertindak meminta tolong pada Gama.

Hari itu dia berdiri menatap satu garis merah yang terus turun. Matanya menangkap sinyal itu menguat untuk semakin turun dan beberapa orang yang ada di kantor mulai ramai berdatangan telepon yang masuk. Baru juga memulai IPO namun tidak banyak yang didapatkan selain kerugian mencapai triliyunan hanya terhitung hari. Ada kesalahan fatal yang dilakukan tim manajemen resiko yang kurang prediksi mengenai masalah IPO, sehingga sekarang seluruh bagian bisnis terkena.

Harusnya Jea saat itu tidak ada di kantor sehingga tidak melihat betapa riskannya bisnis yang nantinya akan dipegang olehnya. Resiko gagal yang terus menghantui perusahaan itu seharusnya bisa dia pikirkan. Kadangkala, semua orang mengatakan tidak pernah melihat sisi gelap hanya karena mereka berdiri di ruangan putih, yang pasti mereka tidak cukup melihat sekeliling dengan seksama, bahwa bayangan mereka juga cukup gelap.

Jea memutuskan untuk mengatakan pada Gama mengenai perusahaannya yang mengalami kebangkrutan karena IPO. Pukul empat pagi dengan jari yang memerah karena digigit beberapa kali. Namun Gama hanya menjawab seadanya, seakan masalah perusahaan Davarish tidak benar-benar serius sedang diucapkan. Gadis itu ingin meminta tolong untuk menyelamatkan perusahaannya namun Gama yang setengah mengantuk mematikan teleponnya dan tidak sadar akan kelakuannya sendiri.

cage of majestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang