Twenty Three : Surrender

8 3 0
                                    

Tidak banyak yang bisa kulakukan setelah mencoba untuk beradaptasi pada kesendirian. Tidak buruk untuk berjalan sendiri di tengah orang-orang yang berkelompok. Akhirnya aku memutuskan untuk mengeluarkan mobil yang bertahun-tahun teronggok di dalam garasi tak terpakai karena terus bersama Gama. Tidak juga masalah mencari makanan sendiri dan menikmati mengunyah makanan melihat orang-orang yang berlalu lalang melewatiku tanpa melihat sedikitpun padaku. Tidak masalah, tidak masalah sama sekali. Bermasalah setelah semua kegiatan dilewati, dan aku harus berdiri di dalam rumah yang terlalu besar, terlalu kosong. Melewati perabotan yang mungkin melihatku dalam olokan.

Saat masa perkenalan di fakultas bisnis, aku juga tidak banyak berhasil untuk melakukan obrolan dengan orang-orang baru. Aku bisa melihat tidak nyamannya mereka berbincang dengan orang yang diam saja tidak tertarik pada semua tema perbincangan. Hal baru adalah, aku merasa terintimidasi pada presensi mereka saat aku sendiri. Ternyata Gama adalah alasan aku tidak memikirkan anggapan orang lain, karena alasan bahwa dia satu-satunya orang yang aku pedulikan opininya.

Tidak masalah berpura-pura saja untuk mendapatkan perkenalan setidaknya aku tidak terlalu sendirian nantinya.

Namun kegiatanku setelahnya juga tidak banyak berubah. Hanya duduk di mobil beberapa menit setelah terparkir. Berpikir apa yang harus kulakukan hari ini setelah kelas. Apa yang harus aku lakukan nanti makan siang, bahkan apa yang harus aku lakukan nanti setelah aku tiba di rumah. Tangan yang menggenggam stir mobil dengan erat. Menghembuskan nafas dalam-dalam, sampai akhirnya tanganku membuka pintu mobil dan berjalan keluar.

Sepanjang perjalanan, aku tidak pernah menunduk. Menunduk adalah tanda pasif, tidak ingin dianggap pasif aku hanya berjalan terus tanpa melihat dengan fokus orang-orang yang tidak sengaja bertatapan mata denganku.

"Thalia, hari ini ada kelas di jam berapa?"

Seseorang menghentikan langkahku untuk bertanya. Perempuan dengan mata yang tertutup garis kacamata dan tersenyum memperlihatkan kawat giginya berwarna ungu.

"Jam 10" Menjawab seadanya dan tersenyum kecil sebelum aku berpamitan untuk berjalan duluan.

Walaupun tidak pasif, aku terlihat terlalu menyedihkan.

---

Matahari menyengat seperti di atas kepala hingga aku memutuskan untuk berjalan cepat menuju mobil agar bisa cepat merasa dingin dihinggap aircon. Beberapa kali orang menoleh mendengar suara heels yang sedang kupakai menapak pada lantai marmer. Tentu saja tidak banyak orang yang mau dengan repot menggunakan heels ke kampus.Tapi aku tidak, tidak masalah merasa sakit di tumit maupun warna merah yang ada di kaki setelahnya yang penting aku mendapatkan visual yang menyenangkan setiap melihat pantulan kakiku di kaca.

"Thalia.." Seseorang memanggilku dari belakang, sedikit berteriak membuat kakiku berhenti secara otomatis. Menoleh pada asal suara, disana ada wajah asing yang berusaha menghampiriku dengan cepat. "Kau ditunggu laki-laki tampan di kantin. Tadi ada yang berdiri lama sekali di hall. Hampiri aja mumpung ganteng kan, tapi dia malah tanya aku kenal sama Thalia Jeanona tidak. Seingatku nama itu hanya kau yang punya. Darimana kau kenal dia?"

Tidak banyak menjawab pertanyaan itu, aku bergegas berjalan menuju kantin. Tersenyum lebar karena entah sudah berapa lama aku ingin bertemu dengannya. Rasanya perasaanku ingin meledak karena mendengar kata tampan itu tadi. Hanya satu nama yang hinggap di pikiranku, Gama.

"Kak Gio" berjalan melambat dan melihat orang yang harusnya ada di kubik kantor papa berdiri dengan wajah cerah melihatku, menghampiri masih tersenyum ramah. "Kenapa tiba-tiba ke sini?"

"Mau makan siang bareng?" katanya.

---

Kalau bukan Gama, aku tak mau. Tapi aku dulu juga terpaksa menerima bahwa aku ini dijodohkan. Kami berdua bukan orang yang saling jatuh cinta. Terpaksa oleh keadaan dan bersyukur aku maupun Gama menikmatinya, walaupun selama ini tidak jelas apakah benar Gama menikmatinya.

Tapi duduk di sebuah restoran dengan semua orang berdandan rapi. Memakan steak yang harganya sama seperti harga mata kuliah yang tadi kujalani bersama orang yang sama sekali tak kuinginkan. Giovan bukan orang baru. Dia mengenalku sama seperti aku mengenalnya. Bahkan dia datang saat pertunanganku waktu itu. Dia dengan wajah cerah berjalan ke arahku dan memberikan kata selamat, menyalami Gama dengah ramah. Sekarang dia mengajakku makan siang bersama.

Matanya tak lepas dari beberapa kali melirik jari manisku yang tak lagi melingkar cincin. Tentu dia sudah mengira beberapa hal. Mungkin dia tidak memberitahu papa, tapi aku yakin dia sudah menebak dengan benar karena aku tak mungkin sendirian jika ada Gama. Tentu saja aku bukan orang bodoh yang tak tahu maksud dan tujuan dia mendekatiku. Sama seperti semua laki-laki yang menginginkanku karena aku ini "boneka porselen yang cantik".

Sama seperti boneka porselen cantik yang lain, mereka hanya untuk pajangan. 

"Kenapa memutuskan Melviano, Thalia?"

"Kenapa kak Gio tiba-tiba tanya itu?"

Bibirnya menarik garis tersenyum lembut mendengarku balik bertanya. Tidak nyaman tentu saja hal pertama yang ditanyakannya adalah hubunganku yang sudah kandas dengan alasan ayah Gama yang rakus akan kekuasaan.

"Entahlah. Ada hal yang ingin ku simpan untukku sendiri saja" kataku jujur mengaduk saus steak yang kental, menusuk-nusukkan garpu ke beberapa kacang polong yang tak kumakan sama sekali.

"Maafkan kalau aku lancang. Tapi aku bertemu dengan pimpinan Soerendra bersama presdir beberapa hari yang lalu. Mereka menyambut kami dengan baik, mengatakan bahwa sudah lama menunggu kedatangan Davarish kemudian dengan percaya diri mengatakan bahwa dia sudah prediksi bahwa kau akan mengatakan hal yang bijak pada pak presdir" Kak Gio menyesap wine yang tadi dipesannya. "Sudah berapa lama kau tidak mengobrol dengan pak presdir, Thalia?"

Kapan? Saat dia mengatakan aku harus ikut pada rapat pemegang perusahaan. Mereka harus tahu aku adalah penerus perusahaan dan aku harus mengenal satu-satu orang yang memegang keputusan di perusahaan. Hari itu juga papa menambahkan bahwa aku harus sering untuk mengecek perusahaan.

Dan itu lama sekali. Saat kami berdua tahu bahwa kami ada di rumah yang sama, papa sama sekali menolak untuk mengatakan apapun padaku, sibuk bersama wanitanya. Bermain-main di ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan. Tidak bisa menghitung betapa banyak aku melihat adegan menjijikan itu.

Anehnya, beberapa hari ini papa tak pernah pulang bersama wanitanya. Dia hanya banyak duduk di sofa dan masuk ke ruang kerja.

"Presdir berpura-pura untuk tahu apa yang dia maksudkan karena kau tak pernah mengobrol dengannya. Pimpinan Soerendra menyodorkan surat pengalihan kekuasaan. Saat itu aku tahu, dan presdir sadar bahwa kau sudah bertemu dengannya. Membicarakan penolakan itu dan kulihat kau tak pernah bersama Melviano lagi. Bisnis mengerikan ya?"

Mengambil botol wine yang awalnya hanya untuk Kak Gio, aku menuangkan pada gelasku sendiri. Menyesapnya sedikit saja sebelum mengaduk gelasnya halus menggunakan tangan, memutar kecil. Papa sadar aku sudah membatalkan pertunangan. Kemungkinan besar papa juga sadar aku menolak jika Davarish sampai diakusisi oleh Soerendra. Hanya saja, aku kurang peka untuk tahu papa sadar tentang itu semua sebelum Kak Gio menjelaskannya.

"Aku tidak membenci Gama- Melviano maksudku. Hanya saja, jika mau menikah dengannya, aku harus siap menerima keluarganya yang seperti itu."

Sudah berapa lama kalimat itu hanya tergantung di kepalaku? Diam saja tidak bisa untuk berbicara pada siapapun.

"Mengatakan bahwa aku harus melahirkan anak laki-laki. Bahkan mengatakan aku harus tinggal dekat dengan istana megahnya. Dia juga harus menjadi pimpinan tinggi Davarish." Memberikan cengiran meremehkan yang hanya bisa kuberikan pada gelas yang kupandang, Kak Gio tak menjawab apapun. Hanya melihatku yang menikmati Wine sambil menumpahkan semuanya.

"Melviano tidak tahu tentang ini semua. Apalagi dia laki-laki yang patuh. Jika nanti aku harus menikah dengan laki-laki yang penurut pada pimpinan seperti itu, kupikir aku akan mati muda"

Ada jeda panjang disana. Menikmati temaram ruangan yang hanya diberikan cahaya redup. Di meja kami juga terdapat beberapa lilin yang menyala, menyelam pada redupnya ruangan. Apinya menari-nari pada cahaya minim, sedangkan kami berdua tenggelam pada wine yang ada di gelas masing-masing.

"Jea, Melviano memanggilmu Jea. Bolehkah aku memanggilmu dengan panggilan yang sama?"

---

cage of majestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang