eleven : Family in bless and failure

17 5 0
                                    


Pagi-pagi sekali mungkin pukul enam pagi, mobil putih Gama sudah terparkir lama di depan pintu masuk rumah. Bibi membukakannya dan disambut dengan senyum manis Gama. Menanyakan dia keberadaanku di rumah itu. Aku masih sibuk mengiris pinggiran roti dan memakannya lambat. Tentu saja aku sudah siap sejak beberapa belas menit yang lalu. Menunggunya datang untuk membayar kesalahan keluarganya yang sampai sekarang aku masih tak berniat untuk membagikan masalahku dimana. 

“Kukira mau makan di jalan” katanya ikut menuang jus ke dalam gelasnya, mengambil roti yang memang sudah disiapkan bibi di atas meja untuk sarapan siapapun. 

Aku menggeleng sambil memasukkan roti ke dalam mulutku. Mencoba untuk menghilangkan fakta bahwa aku masih kecewa bahwa kisah cintaku bersama tunanganku sendiri di mulai dengan cinta bertepuk sebelah tangan. Mereka mengatakan kami makin lama akan saling menyukai karena cinta bisa berbentuk setelah banyak bertemu. Namun hanya aku yang jatuh cinta di cerita ini. Mungkin sampai akhir karena sudah berbelas tahun kami bersama, aku yang masih ada di belakangnya untuk mengikutinya. Kami tidak berjalan bersama. Aku ini hanya tanggung jawab bagi laki-laki ini. 

Setelah menyelesaikan sarapan kami yang terbilang cukup lama karena aku yang mengiris roti kecil-kecil, akhirnya berangkat juga ke- entah kemana Gama akan mengajakku. Dia hanya mengatakan akan membawaku bersenang-senang. tentu saja karena aku yang selalu mengikutinya, aku mengiyakan ajakan jalan-jalannya yang sebenarnya aku pun merasa cukup bersemangat. 

“Kamu benar-benar tak ingin membagikan masalah yang mungkin timbul karena keluargaku?” tanya Gama entah sudah ke berapa

“Engga Gam. Bukan masalah penting” jawabku dengan jawaban yang sama entah untuk yang berapa kalinya juga. 

Gama menganggukkan kepala dengan pandangan masih ke jalanan. Aku sibuk memandang wajahnya dari samping, dia sibuk melihat jalanan yang makin lama kami berjalan makin sepi. Jalanan mulai tak terlalu bagus dengan pemandangan yang luar biasa. Dedaunan yang mulai menguning, Pohon-pohon besar yang menemani kami sepanjang perjalanan dan rumah-rumah yang jaraknya agar lumayan besar dengan pekarangan mereka yang luar biasa besar. 

Aku mulai curiga karena kami berkendara cukup lama. Badanku cukup lelah dan pemandangan yang tidak berubah sejak kami masuk lingkungan ini satu jam yang lalu. Gama menghembuskan nafas dan raut wajahnya mulai menandakan kami memang tersesat. Dia sedari tadi tidak mencoba untuk membuka peta ataupun bertanya pada orang-orang yang ada di sekitar kami. 

Hal yang buruk sepertinya memang tidak boleh dipikirkan sedikit saja karena baru juga aku memikirkan bagaimana jika mobilnya tidak mampu lagi berjalan, mobil kami perlahan benar-benar ikut berhenti. 

“Gam?” kataku khawatir melihat padanya. Dia membelokkan mobil untuk berada di pinggir jalan saat mobil benar-benar berhenti. 

“Sial, kayaknya ada yang salah sama mesinnya deh. Bentar aku cek” katanya buru-buru membuka bagasi mobil dengan peralatannya dan menuju depan mobil mengecek mesinnya.

Tubuh Gama memang tidak terlihat, namun dari asap yang keluar dari mesin, sepertinya memang ada masalah di mesin mobil. Decakan dan hembusan nafasnya terdengar lebih keras dari sebelumnya membuatku memutuskan untuk turun dari mobil dan berdiri di sampingnya yang sedang membungkuk melihat mesin yang berasap. 

“Ada masalah sama mesinnya?” kataku bertanya

“Kayaknya mesin kepanasan deh. Jalannya juga terjal. Kita ga mungkin cari grab atau go car disini” katanya menatapku khawatir

“terus gimana? mau telepon sopir aja biar dijemput?” saranku 

“kan maps juga ga bisa? gimana nelpon?” 

Ha?

Aku buru-buru mengecek koneksi dari telepon genggamku. Ada tanda silang disana menandakan kami benar-benar di luar koneksi telepon. Tidak bisa memanggil siapapun, terlebih layanan taksi online. Tidak bisa juga kami menelepon mobil derek maupun bengkel untuk sekarang. 

cage of majestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang