Twenty Nine

14 2 0
                                    

Saling mengetahui kelemahan masing-masing. Memilih untuk tidak memberikan jaminan masa depan pada diri sendiri. Dua orang yang saling memberikan ancaman pada diri sendiri tentang akibat dari ketidakpedulian mereka pada orang lain. Jea melirik pada benda kotak yang terpajang pada meja kerjanya. Bingkai yang dulunya kosong sekarang sudah diisinya dengan foto sepasang kekasih tersenyum kecil. 

Diangkatnya bingkai coklat itu, dilihat beberapa menit sebelum tersenyum. Hanya foto saja membuatnya merasa lebih baik. Tidak butuh banyak hal untuknya menjadi lebih baik. Sudah berminggu berlalu tanpa ada komunikasi tambahan dari laki-laki yang memintanya kembali untuk menjadi tunangannya lagi. Bagaimana seseorang mencoba untuk menuliskan kisah dari awal kertas kosong namun tidak pernah menghubunginya lagi. 

Bagi Jea, laki-laki adalah makhluk paling aneh yang ditemuinya. Inginnya mereka diperhatikan namun tidak banyak memperhatikan bagaimana sekeliling mereka. Apa mungkin kepala Adam dulu memang dirancang berbeda dengan Hawa agar mereka memahami dunia ini dari dua sisi yang berbeda, lalu berargumen, dan menjadi lebih bijak? Ngomong-ngomong soal bijak, kertas mulai menumpuk di atas mejanya membuat fokus Jea teralihkan kembali. 

"Nona, untuk rapat internal sepuluh menit lagi. Apakah ada yang perlu saya siapkan?" Tangan kanan dari ayahnya membuka pintu dan menghadapkan rupa pada Jea. Walaupun umur mereka terpaut jauh, Jea tetaplah hierarki teratas dari kantor itu. 

"Tidak terima kasih. Aku hanya akan mendengarkan banyak hal. Mohon untuk notulensinya saja lebih fokus." Pinta gadis itu disertai senyuman. Raut lelah tidak bisa disembunyikannya begitu saja. Jea ingin seperti dahulu yang hidup hanya untuk sekolah dan melewati semuanya bersama Gama. Lagi-lagi pikirannya ada di laki-laki itu. 

Wanita yang tadinya mengingatkan tentang rapat yang akan dimulai beberapa menit lagi sudah menutup pintu kayu baru saja. Meninggalkan gadis itu bersama pikirannya yang runyam. Memutar kursi hitamnya berkali-kali dengan kepala mengadah. Membuang waktunya dengan memilih semua hal yang penuh berada di kepalanya. 

Gama adalah pusat perhatian yang utama. Tentang bagaimana dia merindukan presensi laki-laki tampan itu. Perhatian yang jelas tidak sanggup dialihkan. Bagaimana kabarnya? Apakah dia benar-benar akan mengawali hubungan mereka yang baru? Apakah dia akan menggulingkan Direktur Utama Soerendra yang berani memintanya turun dari jabatan? Apakah saat ini Gama memikirkan kehidupannya?

Fokus keduanya adalah pada perusahaan. Sikap ayahnya yang tiba-tiba melunak dan memberikan tanggung jawab perusahaan hanya karena penolakan yang dilakukannya pada Soerendra dan mengorbankan hubungannya bersama Gama. Tidak pernah menampakkan batang hidungnya di depan Jea. Meminta perwakilannya untuk menemui gadis itu walaupun Jea dengan jelas bisa melihat ayahnya diam duduk di samping perwakilannya. Tidak jelas apakah itu sikap pengecut atau kegilaan yang lain. 

Terakhir adalah pertemuan terakhirnya bersama Giovano William. Gio yang tiba-tiba menaikkan tingkat agresifnya pada Jea. Terang-terangan mengatakan bahwa merebut gadis itu akan mudah dilakukan dan tidak membiarkan laki-laki lain termasuk Gama mendekat pada tahtanya. Cukup takut akan ancaman beberapa kali yang dilayangkan Gio, Jea tidak tahu harus mengadu kemana. 

---

Duduk di kursi paling tengah diapit jajaran komisaris dan tiga orang yang sedari tadi tak melepaskan pandangan masing-masing. Gio melihatnya dari tatapan tajam sepasang mata sipitnya. Jas formalnya menggantung sempurna dan tidak ada senyum disana. Gama duduk di seberang Gio dengan mata melembut setiap tatapannya bertemu Jea. Memainkan jarinya beberapa kali dan menyandarkan punggungnya perlahan secara elegan, tak membiarkan Gio memindainya lagi. Tentu saja Theodore Davarish, duduk tenang di sebelah kanan Jea. Meminta beberapa kali staff menyiapkan dokumen yang jelas pada Jea. 

Baru saja penyajian data-data dan ide disampaikan beberapa kelompok yang ditugaskan Jea beberapa hari yang lalu selesai. Keadaan cukup hening hingga suara bolpen yang dimainkan jari Gio terdengar sampai telinga Jea. Tatapan Gio tertangkap lagi oleh mata Jea, dan sekali lagi senyum miring laki-laki itu dengan sopan diberikan sebagai hadiah. 

cage of majestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang