Twenty Two : Meeting

7 2 1
                                    

Kebiasaanku mulai berubah sejak aku memutuskan untuk melepas cincin yang ada di jari manisku. Entah itu pergi dari rumah sejak pagi untuk mencari cafe yang letaknya lebih jauh daripada cafe yang biasanya aku hampiri, atau hanya melihat jalanan dari jendela mobil. Bahkan aku pergi ke luar kota dengan berkendara sendiri, hanya untuk menghindar dari bertemu Gama. Sudah beberapa minggu setelahnya aku mulai disibukkan dengan banyaknya kegiatan yang diberikan papa di perusahaan setelah saham anjlok dan bisnis mulai goyah. Aku bahkan melihat beberapa orang mulai memohon untuk tidak dipecat dari perusahaan. Tentu saja semua tidak bisa aku lakukan selain memberikan kata maaf yang luar biasa membuatku tidak nafsu makan.

Melihat kosongnya jariku, tidak ada cincin yang bisa kuputar beberapa kali untuk dimainkan. 

Mejanya terlihat besar sekali di depanku. Mendapatkan banyak cemooh dari ahli yang berjejer di depan dan saling menyikut satu sama lainnya hanya dikalahkan olehku. Mereka semua jauh lebih berpengalaman dari apapun pencapaian yang sudah kulakukan. Mataku meneliti satu persatu wajah para ahli itu. Mereka tidak masalah dengan tatapanku. Tentu saja apapun yang aku lakukan sekarang tidak akan banyak memberikan perubahan pada tingkah laku mereka padaku. Namun yang aku tahu, semua laki-laki berjas di depanku tidak akan menyukaiku.

Tidak ada orang yang menyukaiku tapi dengan kesadaran diri menjadi penjilat agar posisi mereka aman karena jabatanku sebagai anak dari komisaris. 

Menyandarkan punggung, duduk di samping persis presdir dengan setelan biru tua dan make up tipis, rambutku juga dengan rapi kutali di belakang. Melihat sepuluh jariku yang tak dihiasi kuku dengan hiasan apapun. Hanya clear tone dan pinkish look agar aku tidak banyak dipandang, karena disini mereka menilai seberapa 'formal' kau berdandan. Yang mana, tidak akan aku terapkan jika aku nanti duduk di kursi presdir. Tidak ada batasan bergaya, yang penting disini seberapa besar kau memberikan benefit pada perusahaan. Oh tidak aku sudah berpikir tentang hal yang kurang penting. 

"Gugup, Thalia?"

Kepalaku menoleh, disana duduk satu-satunya pemuda yang tidak memiliki kulit bergelambir ataupun perut besar yang kukira umurnya 25 tahunan, tapi ternyata 30 tahunan, Giovan. Gio sudah menjadi bagian dari seluruh rapat besar Davarish. Posisinya sama seperti Gama, tapi dia sudah memimpin perusahaan keluarganya jauh lebih lama dari kami berdua. Rambutnya yang rapi lengkap dengan seluruh setelan formalnya dengan senyum jarang dia tampakkan, memberikan satu botol di depanku. 

Entah kenapa, suaranya membuatku menegakkan punggung dan menaikkan dagu. Antara kaget dan ingin mengubah posturku agar lebih baik.

"Meeting pertamaku juga sepertimu. Bahkan kau jauh lebih terlihat profesional. Tidak perlu gugup, nanti kalau sudah tahu cara bekerja, otakmu akan dipenuhi ide dan berisik. Sekarang enjoy saja meeting kita dan serap apapun yang kau bisa."

Bibirku terangkat menatap wajahnya yang sudah lebih dulu tersenyum.

"Apa papa galak?" kataku mencoba mencairkan suasana, dan masih dengan intonasi rendah tidak ingin orang lain mendengar kalimatku.

"Galak kalau menyangkut keputusan besar. Kau harus banyak belajar kemampuan dari Pak Presdir"

Saat kalimatnya selesai, aku tidak diberikan waktu untuk menjawab karena pintu rapat terbuka. Berjalan masuk papa dan jajaran tim penasehat yang berada di belakangnya. Kami semua berdiri menyambut dan disana, rokku menyangkut ke kaki kursi yang tadi kupakai. Catatan tambahan, aku tidak akan menggunakan rok panjang lagi. Sehingga, setelah melihat hanya papa dan jajarannya yang masuk, aku menunduk menyembunyikan tubuhku seluruhnya di bawah meja dan bertarung dengan kain rokku agar tak robek kupaksakan lepas.

Gio ingin menolong dari gesturnya yang hampir ikut menunduk, namun disana ada tangan lain yang mengulur melepas kain rokku yang nyangkut dengan telaten. Wanginya sama sekali tidak asing. Entah berapa lama aku tidak menyapa feromon khas yang membuatku nyaman ini. Setelah pinggir rokku berhasil dilepasnya dari kursi tanpa merobek kainnya, Gama memberikan senyum ramah tipis sekali, yang tak bisa kubalas karena kakinya sudah menuntunnya berjalan ke kursi di seberangku.

Aku yakin tadi sebelum merunduk di bawah meja, tidak melihat wajahnya yang rupawan di jajaran direksi di belakang papa. Tidak ada wajah muda dan tiba-tiba bagaimana bisa dia buru-buru menolong rokku yang tersangkut. Sudah kubaca berkali-kali sebelum berangkat untuk meeting tadi pagi, tidak ada nama Gama disana. Bahkan aku yakin meeting ini internal untuk team dari perusahaan papa.

Mungkin Soerendra sudah berhasil untuk mengeruk perusahaanku. Memang tidak bisa dihindari walaupun aku sudah sepihak memutus hubungan dengannya.

---

"Bagaimana kabarmu?" Gama mengajakku untuk duduk di kantin kantor, mengawali mengobrol yang aku yakin dia pun sama canggungnya denganku, atau aku saja yang merasa begitu?

"Seperti yang bisa kau lihat, aku baik-baik saja"

"Aku datang bersama dua perwakilan Soerendra. Sudah kubilang, aku akan membantu Davarish. Walaupun tidak dengan hubungan kita"

Mulutnya menyesap kopi yang dipesannya. Memandang rumah di Jakarta yang berjejer dan dengan tanpa melihat ke arahku berujar tenang.

Kami berdua duduk berjajari melihat ke arah kaca jendela di depan. Memegang kopi dengan preferensi masing-masing. Aku memutar gelas kertas di genggamanku sebentar, latte. Gama memesankan Latte karena aku tidak sanggup minum kopi yang terlalu pahit. Melirik pada jari manisnya yang juga tidak ada cincin disana. Mengatupkan gigi keras, aku mencoba untuk tidak segera mengutarakan sakit yang teramat sangat disana.

"Apa perusahaanku terlalu buruk?" Aku berhasil untuk meredakan suaraku agar tidak terlalu goyang, ataupun bergetar.

"Tidak. Dulu siapa capital ventura yang mengajak ayahmu IPO?"

"Tidak tahu. Mungkin Kak Giovan tahu Dia yang banyak tahu tentang kebutuhan perusahaan dan selalu ikut setiap rapat perusahaan. Kau tahu, laki-laki yang tadi duduk di sebelah kananku"

Kepala Gama mengangguk dan menyesap lagi sedikit kopi dinginnya. Sekali lagi, dia terlihat mengagumkan dengan kemeja warna peach yang membuat kulitnya lebih cerah. Potongan rambutnya rapi dan terlihat basah mengkilap karena sehat. Beberapa kali tangannya menarik rambut yang jatuh ke dahi dan menyisir ke belakang. Dulu, aku berandai, ingin mengelusnya namun yang kulakukan lebih sering adalah mengacak rambutnya karena menggemaskan.

Memori itu sedikit membuatku tersenyum menatap latte.

"Aku akan bertemu dengan Giovan menanyakan tentang hal itu. Setelah aku pelajari beberapa kali dengan staff, seharusnya perusahaanmu lebih banyak mendapatkan keuntungan. Lebih dari 2% dari yang dijanjikan. Sehingga tidak mungkin jatuh seperti ini."

"Kau mempelajari perusahaanku?"

Bagaimana mungkin dia jauh lebih tahu tentang perusahaanku daripada aku sendiri? Bahkan kalimat yang tadi dia katakan, secara eksplisit menjelaskan bahwa dia sudah tahu tentang seluk beluk perusahaan ini. 

"Aku akan memberikan bantuan dan dana pada perusahaan ini. Normal untukku mempelajari seluk beluk perusahaan sebelum aku benar-benar melepas dana."

Kepalaku mengangguk dan dengan sedikit kurang ajar menertawakan sangat keras diriku sendiri. Tentu saja, bukan karena hanya membantuku, si mantan tunangannya. Dia melihat semuanya secara objektif. Agak tidak menyenangkan mendengarkan kalimatnya. Seakan-akan dia menjelaskan bahwa dia disini bukan karena ingin bertemu denganku ataupun yang bersangkutan denganku, tapi murni karena sebuah kerjasama perusahaan.

"Kau belum mengatakan pada papamu tentang kita? karena tadi dia mengobrol denganku seakan-akan kita masih bersama"

Melihat air kopiku berwarna coklat muda bergerak-gerak searah dengan gerakan tanganku lagi. Tidak berani untuk mengangkat kepala, tentu saja aku ini pengecut. Menggeleng pelan dan diam saja, hanya berharap laki-laki ini tahu aku takut untuk membuka perbincangan tentang gagalnya rencananya mengenai hubunganku dan Gama.

"Kita satu universitas lagi" katanya dengan topik yang berbeda

"Akhirnya ambil seni?" dan dia mengangguk menjawabku, menatapku sebentar dan tersenyum

"Semoga kau bisa melewati fakultas Bisnis dengan baik, Thalia"

Thalia. Dia tidak lagi memanggilku Jea. Dia memanggilku Thalia. Bagaimana mungkin kalimat panggilan yang berubah ini jauh lebih buruk daripada kata putus yang kuucapkan. Aku tidak menyukai mulutnya yang memanggilku Thalia.

---

cage of majestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang