Eighteen

6 2 0
                                    

"Jea tidak tahu Gama dimana, Om" kata perempuan itu dengan memberikan sedikit wajah kaku melihat Gama yang ada di depannya sedang menenggak satu kaleng bir yang sedari tadi digoyangkan dalam genggamannya.

"iya om nanti kalau Jea ketemu Gama, saya suruh pulang" katanya lagi sebelum benar-benar menutup telepon kemudian mulutnya mendesah panjang. Menarik pipi kanan laki-laki yang sekarang tersenyum spontan.

"Sudah kubilang, menjadi anak nakal untukmu sekarang sudah terlambat Gamawira"

Namun yang diajak berbicara malah hanya diam saja dan mengangguk beberapa kali tanpa menggubris makna yang baru saja dilontarkan si gadis. Sekarang ini memang pandangannya hanya pada kaleng yang masih digoyang-goyangkan beberapa kali. Merasakan isi birnya semakin bergerak-gerak di dalam kaleng. Namun pikirannya hanya pada satu permasalahan yang sedari tadi menggenggam erat isi kepalanya.

"kupikir jika aku terus menurut, mereka akan membiarkanku pada akhirnya menentukan jalan pikiranku sendiri" Mulut Gama mendesah keras sekali, seakan dengan desahan itu, semua permasalahan akan menjadi tidak terlalu berarti dan dengan mudah bisa keluar dari mulutnya.

"kau pikir, orang tuamu sebaik itu? Gam, mereka akan mendengarkan ketika pendapatmu sama dengan jalan pikiran mereka. Tidak ada orang tua yang jika sudah enak menjadi orang yang terus dituruti, akan mengalah. Tidak akan terjadi sama sekali. Mereka akan sangat kaget dan lebih mengurungmu lagi"

"Lalu apa yang harus aku lakukan, Je?"

Tubuh Jea bergerak untuk duduk bersila di atas matrasnya. Bergerak lagi untuk menyandarkan kepala pada headboard tempat tidur. Tanpa kalimat balasan namun dengan pandangan masih terpaku pada wajah rupawan milik laki-laki dengan raut khawatir itu.

"lakukan saja yang menurutmu baik. Mau tidak mau, mereka akan menerimamu. Kau satu-satunya pewaris yang mereka punya. Apapun yang kau lakukan, orang tuamu tetap akan membuka pintunya kembali padamu. Tapi kamu masih bersedia untuk melanjutkan perusahaan, Kan?"

"Entahlah. Tapi memang rencanaku seperti itu. Aku hanya ingin kuliah di tempat yang benar-benar aku mau. Baru setelahnya aku akan bekerja menggantikan papa. Tapi tidak ada yang benar-benar mengerti itu"

"Aku mengerti, Gam. Kalau memang yakin, berikan saja mereka kejutan bahwa kamu akan kembali kok dalam waktu empat tahun itu"

---

Sebuah kejutan benar-benar membuat satu sekolah menengah itu gempar. Tidak hanya kaget akan pilihan mengejutkan anak satu-satunya Soerendra, namun mengenai si laki-laki yang seharusnya terus patuh itu. Sehingga, rasanya asing begitu melihat Gama dan Jea berangkat tidak bebarengan. Bahkan laki-laki Soerendra itu datang beberapa jam sebelum bel mulai sekolah. Tentu saja mereka tidak bisa begitu saja menghindarkan tatapan curiga, bahkan Jea yang biasanya diam saja dengan seluruh tatapan itu beberapa kali berkomentar untuk tidak terlalu mendekatkan tatapan itu padanya maupun pada Gama.

"Biarkan saja mereka" kata Jea menghampiri Gama yang terlihat duduk diam di pojok perpustakaan. Tidak menjawab, namun bibir tipis miliknya melengkung ke atas memberikan senyuman manis pada wajah rupawan milik Jea yang menghampirinya.

"kadangkala, kau memang harus patuh pada dirimu sendiri. Baru kali ini ya jadi anak nakal?" katanya menggoda dengan menyenggol lengan Gama menggunakan lengannya.

"kau seperti sudah sangat pro dalam menghadapi konflik seperti ini"

"memang sudah pro." kata Jea menjawab dengan nada jahil. "Tinggalah di apartmentku sampai pengumuman penerimaan. Hey, sadar tidak kalau aku sekarang ini menjadi anak baik dengan menuruti keinginan orang tua sedangkan kau menjadi anak tidak patuh. Kenapa kita saling bertukar peran ya?"

Jea memberikan senyum paling manisnya yang bisa dia berikan pada lelaki yang masih suntuk untuk berpikir apakah keputusannya benar atau tidak. Namun sepanjang gadis yang tersemat cincin di jari manisnya itu masih berada di sampingnya dengan baik dan memberikan candaan seperti tadi, sepertinya Gama akan baik-baik saja. Dipandangnya wajah rupawan itu beberapa kali sebelum wajah Gama mendekat perlahan ke wajah Jea,

"aku sepertinya mulai menyukai bagaimana kau yang sekarang menjadi bijak" kata Gama sedikit lebih lirih dari yang sebelumnya namun tentu saja laki-laki hanya berniat mengatakannya pada gadis dengan raut datar melihat wajah Gama hanya berjarak sesenti dari wajahnya.

---

Terus terang, jika Jea yang berada di posisi Gama saat ini sepertinya jalan keluar terbaik yang ingin dia lakukan adalah kabur dan tidak akan melihat wajah menyebalkan itu untuk waktu yang lama. Saat ini yang sedang berada di dalam masalah adalah Gama, namun tatapan tidak menyenangkan juga jatuh pada wajahnya. Seakan-akan mereka mengatakan bahwa semua yang Gama lakukan saat ini adalah akibat dari influence Jea. Walaupun sedikit pikiran itu juga datang.

Ingin protes namun Jea tidak ingin ambil resiko dengan dibatalkannya pertunangan mereka berdua.

"Bagaimana mungkin kau tetap mau menjadi keras kepala setelah papa memberikan penjelasan panjang tadi? Bagaimana mungkin kau akan menjadi pimpinan jika basic knowledge saja tidak kau mengerti? Mau jadi apa? Guru seni?" katanya dengan kepala memanas memandang Gama

"Aku tidak ingin banyak berdebat dengan papa masalah ini. Sudah bulat tekadku pa, kalau memang nantinya aku kesulitan dalam mengelola perusahaan, setidaknya ada banyak kaki tangan papa yang bisa aku ajukan pertanyaan. Gama tidak serta merta melepas tanggung jawab begitu saja pada perusahaan ini"

Kalimatnya masih tenang dan dengan tubuh tegap memandang pimpinan Soerendra itu. Satu dari banyak hal yang membuat Jea kagum pada sosok Gamawira.

"kalau kau tidak di debat, mana mungkin pikiranmu itu jadi normal lagi"

"selama ini Gama memang tidak normal, Pa. Tidak ada sedikitpun permasalahan di kepala Gama saat itu untuk menjadi anak emas papa. Tapi pikiranku berbeda dengan apa yang ada di hatiku. Harusnya kedua hal itu bersamaan saling bantu"

"anak kecil tahu apa? Hanya bersenang-senang tanpa tahu bagaimana papa ini berpikir keras agar perusahaan tetap berjalan"

"jangan lupakan Gama yang sudah ikut andil dalam beberapa kali keputusan perusahaan dibuat, Pa. Gama cukup tahu bagaimana susahnya cari tender dan lainnya. Gama tahu memikirkan karyawan dan bagaimana perusahaan kita yang sebentar lagi IPO harus punya reputasi yang baik. Gama tidak bodoh, Pa. Tidak ada orang yang mengenal Gama tidak tahu bahwa Gama selama ini adalah anak yang pintar dan penurut"

Nafas laki-laki itu sedikit lebih tercekat dari pembicaraan sebelumnya.

"dan untuk sekali ini, Gama akan tetap memilih pilihan Gama yang sebelumnya yakni DKV. Entah itu dengan izin papa atau tidak."

Saat tubuh Gama berdiri, Jea yang sedari tadi sibuk meremas jari-jarinya ikut berdiri di sampingnya. Menundukkan kepala hormat pada kepala keluarga Soerendra yang ditinggalkan pergi begitu saja oleh Gama. Tanpa menoleh sekalipun. Melirik pada wajah Gama yang di sampingnya, Jea hanya tersenyum prihatin. Wajah yang begitu tenang atas segala hal saat ini seperti ketakutan. Anak laki-laki yang tak pernah menentang orang tuanya itu seakan mengambil suaranya sendiri untuk dijadikan tongkat berjalan. Mengambil kembali suara dan opini yang selama ini dengan sabar dia tahankan di dalam diri.

---

cage of majestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang