six : The News

24 8 1
                                    

Setiap pagi, aku menunggunya dengan mobil hitamnya yang tak pernah tak mengkilap. Menunggu di meja makan sambil mengoleskan selai yang ada di meja. Strawberry, Blueberry, coklat, kacang, aku tak begitu pemilih soal selai roti. Namun cukup pemilih soal roti yang bisa dimakan. Jika hari ini pelayan rumah meletakkan roti coklat yang memiliki pinggiran, Gama yang akan memakannya. 

Pinggiran roti yang tak menyenangkan untuk dikunyah. Rasanya tak manis juga ada sedikit tekstur serabut disana. Terlalu kering untuk dikunyah, hingga membuat Gama sering geleng-geleng jika melihatku menyingkirkan pinggiran roti ke piringnya. Dia tak masalah akan itu, apapun akan dimakannya.  

Saat laki-laki itu masuk ke area dapur, melihat tidak ada papa yang duduk seperti biasa di bagian paling tengah, kepala Gama hanya mengangguk. Mengerti akan pagi hariku yang akan jauh lebih baik daripada biasanya. Tanpa berbicara, tangannya meraih pisau roti yang ada di samping piring dan mengambil piringku yang sudah terisi dengan dua sandwich isi coklat. Tangannya yang terbiasa untuk memotong bagian pinggirnya dan memberikannya kembali padaku setelah tersisia bagian tengahnya. Aku tersenyum memberikan rasa terima kasih atas perhatian kecilnya, yang tentu saja bagi Gama itu bukan hal yang besar. 

Dia hidup dengan semua rasa sopan, the gentleman live within his soul. 

“kemarin aku tak melihatmu di kantin” katanya sambil memakan pinggiran roti yang tadi dipotongnya. 

Berhenti memakan lagi rotiku, aku menoleh padanya. Heran adalah kata yang paling tepat. Kemarin dia duduk dengan nyaman di perpustakaan, bersenda gurau bersama perempuan lain yang seharusnya saat ini aku tak boleh menampakkan perasaan cemburu. Sehingga aku berhasil untuk mengangkat alisku sedetik sebelum memakan lagi rotiku.

“Aku sudah ke tempat duduk kita berdua di kantin, tapi kupikir karena disana kosong jadi di pikiranku hanya mungkin saja kau sibuk di pertambahan jam” katanya tanpa menatap matanya.

“Benarkah? Sepertinya aku yang telat ya? soalnya aku kemarin harus mengembalikan buku ke perpustakaan. Maaf ya tuan putri” katanya dengan lembut. 

ke perpustakaan tentu saja bersama perempuan lain bernama Fira yang kubenci sejak aku lahir. 

“Tak masalah toh aku juga tak terlalu lapar. Tapi kupikir sebaiknya sekarang kita saling mengabari jika memang ingin terlambat atau membatalkan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan” kataku padanya yang seharusnya tak menjadi masalah karena aku berusaha untuk tak melibatkan peasaanku sendiri disana. Setidaknya jika kau memiliki hal yang harus dikerjakan, tidak baik untuk membuat orang lain menunggumu tanpa kejelasan. 

Dia diam sejenak. Mungkin menimbang apakah kalimatku yang didengarnya baru saja dapat diterima atau aku keterlaluan. Seharusnya tidak keterlaluan karena Gama yang berbeda dari biasanya belum bisa kuterima dengan baik. Walaupun mungkin kami berdua akan hidup bersama tanpa cinta nantinya, setidaknya kami bisa saling menjaga perasaan masing-masing. Atau itu masih terasa egois? Aku mulai benar-benar takut jika aku menyinggungnya karena sebenarnya ini pertama kalinya juga aku tidak setuju akan tindakannya. 

“Tentu saja, Je. Aku kemarin memang salah karena tidak mengabarimu sama sekali. Sepertinya memang karena aku terlalu lama di perpustakaan. Lain kali akan kuhubungi” 

Hanya itu? Hanya meminta maaf karena sadar dia terlalu lama di perpustakaan? Mana penjelasan kegiatan yang dia lakukan disana?

Tapi semua kalimat pertanyaan yang baru saja kulontarkan di pikiran hanya mampu kutelan lagi. 

Ternyata hidup seperti ini tak pernah mudah. 

---

Kami jalan beriringan sepanjang lorong sekolah. Beberapa kali mencoba untuk menahan diri agar kepalaku tak menoleh pada Gama yang ada di sampingku. Mencoba untuk terus melihat lurus, melihat sepanjang lorong tak peduli banyak orang yang berbisik kami bersama karena tanggung jawab dengan orang tua. Jika aku mengingat kejadian di gym itu, rasanya aku lebih marah pada diriku sendiri yang membiarkan mulutku mengatakan kalimat itu. Lebih marah dari orang yang menuduhku hamil. 

Mengantarku sampai tempat duduk, Gama merapikan tasku dan mencoba untuk berbicara denganku namun fokus yang diterima dari seluruh mata yang memandang kami terlalu membuatnya tak nyaman. Dia hanya melihatku duduk dengan nyaman dan mengatakan bahwa kami akan bertemu nanti istirahat dan pergi dari kelasku menuju kelasnya. Tidak banyak yang aku lakukan setelah Gama keluar dari kelas. Melihat mata-mata yang masih menatapku secara sembunyi. 

Namun aku bersyukur, dari kejadian di gym itu aku tahu ada atau tidaknya perasaan Gama padaku, setidaknya dia memperlakukanku secara istimewa. Masih mau mengantarku, masih bersamaku bahkan mengatakan kita akan tetap bersama nanti di kantin. Sepertinya aku harus mulai merencanakan hidup jika memang Gama tak pernah mencintaiku dan kami tetap menikah. Toh aku tetap akan tinggal bersamanya di satu rumah, satu ranjang dan satu ikatan. Setidaknya aku memilikinya seorang diri. 

Mungkin memiliki Gama tak lebih baik dari dicintainya. Namun tidak bersama Gama lebih buruk daripada itu semua. 

Jika dipikirkan, Gama adalah laki-laki nomor satu di sekolah ini. Walaupun jika dibandingkan dengan kepintaran Fira memang jauh, setidaknya aku memiliki izin dari orang tua Gama, lebih dahulu berkenalan dengannya dan aku jauh lebih cantik daripada wajah Fira,

“Thalia, jika memang kau hanya bertanggung jawab bersama Gama. Apa tidak masalah kami perempuan-perempuan mulai mendekatinya?” aku menoleh pada sumber suara. 

Gadis mungil yang tahun pertama mencoba mendekatiku yang kupikir ingin berteman denganku namun ternyata dia hanya ingin bersama perempuan yang pasti akan populer. Aku lupa namanya, kupikir bernama Jane atau siapa. Berani sekali mengutarakan dengan jujur ingin mendekati Gama? 

Aku tersenyum menanggapinya. Menunduk untuk melihat layar teleponku lagi, melihat begitu banyak notifikasi masuk seperti biasa. 

“Coba saja” kataku enteng mengatakannya. 

dan kudengar semua perempuan disini berbisik, ada yang berbahagia ada yang mulai terang-terangan mengatakan dia lebih baik dariku. 

Gama memang bukan laki-laki yang memilih fisik atau kepintaranmu. Dia tidak pernah berniat untuk mendekati banyak perempuan dan hanya bersama orang yang sejak lama bersamanya. Aku memang memberikan izin tapi aku sudah tahu pasti, Gama bukan orang yang nyaman dengan tipe-tipe perempuan yang sering menempel dan dengan ambisius berusaha untuk mendekatinya. 

---

“Kau memang gila” kata Gama saat kami berdua ada di kantin setelah kuberitahukan banyak perempuan yang akan mencoba mendekatinya

“Bisa-bisanya mengizinkan banyak orang mendekati tunanganmu” aku tahu dari nadanya, dia hanya bercanda

“Kau bukan tipe orang yang gampang di dekati”

“Aku tidak mau membuat perempuan menangis” 

Jadi itu yang merisaukannya? Bukan merepotkan dengan semua surat cinta yang sebentar lagi akan memenuhi lokernya namun karena dia akan membuat perempuan menangis. 

“Kupkir karena kau tak mau repot-repot. Ternyata karena membuat perempuan menangis?” kataku hampir saja tergelak tawa 

“Perempuan menangis itu lebih menakutkan, Je”

Aku menganggukkan kepala mencoba untuk mengerti posisinya walaupun sejatinya aku tak pernah tahu kenapa dia menganggap perempuan menangis itu menakutkan, Juga, aku malas untuk menanyakan padanya langsung. 

cage of majestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang