Twenty Five : Exception

10 1 2
                                    

Gama pusing. Tentu saja dia memikirkan semua kemungkinan. Kemungkinan Jea yang tidak akan pernah lagi menjadi bagian dari hidupnya. Tidak seromantis itu seharunsya, namun hal dan kalimat itu cukup mengusiknya. Matanya bahkan untuk menolak untuk memikirkan kemungkinan bodoh itu. Bagaimana mungkin gadis itu memilih untuk pergi setelah bertahun-tahun mereka Bersama? Apakah waktu tidak cukup berharga baginya.

Menendang angin yang menyela pada sepatunya, Gama menggeram. Menggenggam cukup erat pada pegangan pigura dengan sosok kecil saling tersenyum lebar. Tidakkah Jea mengerti selama ini perasaannya tidak hanya sebagai teman? Tidak hanya sebagai tunangan tanpa perasaan lebih?

Frustasi akan pikirannya sendiri, Gama mendapatkan sebuah kabar yang mencengangkan. Gadis itu dengan senyum yang sama sedang dengan santai mengangkat sebuah kardus dan menoleh pada laki-laki disampingnya. Laki-laki yang dengan sebal harus dianggap sebagai rival. Bukankah seharusnya gama yang ada disana? Membantu apapun yang sedang gadis itu lakukan?

"Bagaimana mungkin itu?" geram Gama pada seseorang yang sedang meneleponnya dari seberang. Tidak ada jawaban tentu saja, seperti sebuah kalimat retoris yang hanya ingin diungkap emosinya pada seseorang, siapapun itu. Sialnya orang yang sednag meneleponnya adalah target empuk.

"Maaf tuan muda tapi-"

"aku tahu jawabannya. Tidak perlu dijawab juga. Ah sialan!" baru kali ini mulutnya mengeluarkan umpatan kecil. Umpatan yang cukup lembut jika dilihat dari orang normal. Intonasi itu hanya bisa dikeluarkan oleh Gama, karena dia tidak pernah menampakkan emosi begitu besarnya pada satu hal.

Sialan baginya, sialan bagi Jea yang melakukan ini padanya.

"dia terlihat baik-baik saja. Tetap cari tahu tentang hidupnya. Cari tahu tentang semuanya. Lebih penting, cari tahu kenapa dia tidak ingin melanjutkan pertunangan. Tidak mau tahu bagaimana caranya" tidak ada jawaban yang diinginkan Gama sehingga yang dilakukannya hanya menekan tombol akhiri secara sepihak.

Melemparkan tubuhnya di atas tempat tidur, lengan menutup sempurna dua matanya. Gama hanya bisa menghela nafas berat bahkan dia tidak bisa untuk menanyakan pada ayahnya. Dia memang pengecut.

"kita bahkan pernah berciuman, Jea" bisik Gama disela-sela kesendiriannya memandang foto-foto terakhir yang dikirimkan padanya. Jea miliknya bersama Gio sedang mencoba pindah rumah. Celakanya, alamat itu adalah salah satu estate yang dimiliki keluarga Gio. 

"dan kau tahu selama ini Gama mengikutimu?" Gio meletakkan kardus terakhir di dekat pintu. Setelah berkardus-kardus dia coba untuk tolong gadis itu memindahkannya.

Kepala Jea bergerak untuk mengangguk beberapa kali. Masih melihat pada satu objek yang sedang dia ubah beberapa kali. Jea melihat potretnya dan Gama yang sedang tersenyum lebar sekali. Disaat itu, mereka tidak memikirkan cinta atau hal-hal remeh masa muda, yang mereka pikirkan hanya bagaimana mereka harus bersenang-senang hari ini. Menyentuh jarinya yang sekarang kosong dengan tidak ada cincin di jari manisnya, hatinya setengah kosong atas fakta itu.

Merindukan masa-masa kecilnya, semua orang merindukan masa lalu saat tidak ada masalah lebih besar bukan? Dia tidak aneh bukan?

"seharusnya memang dia tidak bersamaku, Kak. Seharusnya sadar saja"

"sadar apa? Sadar kalau dia sedang kehilangan satu-satunya kebahagiaan yang dia punya?"

Kepala Jea menoleh, tersenyum kecil yang kemudian terkikik geli makin besar. Dia sedang tidak serius, batin Jea. Gama memiliki banyak hal, banyak kebahagiaan selain dirinya. Mengubah tubuhnya untuk menghadap Gio. Dilihatnya raut wajah laki-laki yang seringkali melihatnya dengan ramah. Gio tak main-main selama kalimat tentang Gama keluar dari mulutnya. Tubuhnya berdiri menyandar pada tembok. Melihat begitu saja Jea yang duduk di sofa untuk beristirahat sebentar. Memandanginya yang berhenti untuk menggoyangkan kaleng bir.

cage of majestyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang