Empat

1.5K 212 5
                                    

Rumah besar itu berdiri di lingkungan yang asri. Dengan halaman depan yang cukup luas dan ditanami pepohonan yang kebanyakan adalah buah- buahan. Mangga, rambutan, dan jambu biji.

Bangunannya sendiri bercat krem. Terdiri dari satu lantai, tapi sepertinya punya luas bangunan yang bisa menampung banyak anggota keluarga. Rumah itu kokoh dan tinggi, empat jendela besar berjejer di bagian depan.

Di depan teras, ada taman berkanopi yang diisi oleh berbagai macam tumbuhan. Mulai dari jenis paku- pakuan hingga sesemakan. Tampaknya, Bu Rosmala memang hobi dengan tanaman.

Sekuriti yang menjaga rumah tersebut sudah mengenali mobil Pak Gun. Laras bisa masuk dengan mudah. Rosmala sendiri adalah perempuan yang berusia akhir enam puluhan. Tubuhnya mungil namun masih dapat bergerak dengan lincah.

Ketika melihat Laras, perempuan itu mengumbar senyum lebar. "Ah, Suta pasti ingat kalau hari ini ulangtahun ayahnya!"

Laras meringis. Hari ini, terlalu banyak informasi tentang keluarga atasannya, yang sebetulnya tidak perlu diketahui oleh Laras. "Ini saya bawa kue sarang semut, Bu. Kalau Bu Rosmala nggak berkenan, saya bisa ganti."

"Wah! Bolu sarang semut ya? Itu sih kedoyanan Bapak waktu masih ada dulu. Saya dulu sering bikin..." Ujar Rosmala masih dengan senyuman yang betah bertengger di wajahnya.

Jika melihat sosok Bu Rosmala, Laras tidak akan menemukan kemiripan Suta dengan perempuan itu. Justru, perempuan itu lebih mirip dengan Elida. Namun dalam versi yang lebih ramah dan membumi.

Bu Rosmala hanya memakai blus berkancing dan celana panjang. Rambutnya yang pendek cukup ditahan dengan bando hitam. "Ayo duduk dulu, kamu pasti sekretaris baru Suta! Linda udah banyak cerita soal kamu."

"Iya, Bu." Gumam Laras. "Tapi Pak Suta katanya keburu butuh Pak Gun. Sore ini ada jadwal fisioterapi."

"Ah, iya. Saya kok lupa." Perempuan itu bergumam. "Ya sudah. Eh, kamu sudah makan siang? Tadi si Tina sudah masak banyak. Sekalian tolong bawain buat Suta ya? Kebetulan tadi masak sayur bening bayam sama sambal goreng udang, kentang, ati ampela. Ada bakwan jagung juga. Tunggu ya, biar disiapin sama si Tina!"

***

Laras tiba di kantor tepat pukul dua siang. Begitu sampai, ia langsung mengetuk pintu ruangan Suta. Pria itu hanya menyahuti dengan berdeham. Kelihatannya, suasana harinya sedang sangat buruk. "Pak, sudah makan siang?"

Seperti yang sudah- sudah, Suta hanya menatapnya datar dan dingin. Namun kali ini ada tambahan sinis dan meremehkan. Seolah-olah, Laras hanyalah perempuan berotak udang. "Kamu lihat nggak sekarang itu jam berapa?"

"Bukan apa- apa, Pak. Hanya saja tadi Bu Rosmala nitip makanan buat Bapak. Saya bisa pindahin untuk Bapak makan."

"Nggak perlu. Kalau mau, kamu makan sendiri saja!"

"Tapi, Pak..."

Satu tatapan menghunus itu berhasil menghentikan kata- kata yang hendak ke luar dari mulut Laras. Bu Rosmala tadi membawakan cukup banyak makanan. Dan karena tinggal jauh dari ibunya sendiri, Laras berpikir seharusnya Suta tidak menyia- nyiakan masakan yang dikirim ibunya.

Namun, karena masih sayang pekerjaan, perempuan itu akhirnya buru- buru ngacir ke luar. Diikuti tatapan mencemooh dari Suta.

***

Tiga bulan yang lalu, Suta mengantarkan Felisha, kekasihnya yang berprofesi sebagai model untuk berangkat ke Tokyo. Ada peragaan busana sekaligus penampilan perdana kekasihnya itu sebagai spokesperson untuk produk kecantikan bernama Sui.

Sepulangnya dari mengantar kekasihnya, mobil Suta ditabrak dari belakang. Kali kirinya terjepit dan harus menjalani operasi. Dokter mengatakan bahwa Suta tidak akan mengalami kelumpuhan. Hanya saja, pria itu disarankan untuk tak terlalu mengandalkan kedua kakinya ketika menjalankan aktifitas.
.
Fisioterapi membuat kakinya semakin membaik. Hanya saja, menurut Bu Endah, fisioterapis pria itu, butuh waktu dua minggu  lagi bagi Suta untuk beralih dari kursi roda ke kruk.

Felisha sudah melihat kondisi Suta, dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka ketika tahu, bahwa kekasihnya cacat.

Hal itulah yang membuat Suta berubah. Dulunya, pria itu cukup ramah dan menyenangkan. Meski sikap arogannya tetap sama.

Ia mengenal Felisha ketika masih bekerja di London enam  tahun yang lalu. Felisha lebih muda lima tahun darinya.

Gadis itu lulusan hukum universitas terkemuka di Singapura. Sebelum menekuni Dunia modeling, gadis itu sempat bekerja di sebuah LSM, sebelum mengikuti ajang beauty pageant, pada usia 23 tahun, dan membawanya pada dunia gemerlapan dan akhirnya mempertemukannya dengan Suta saat ada pagelaran busana di London.

Ia tertarik pada gaya Felisha yang luwes, pembawaannya yang ceria, kecerdasannya, ambisinya, wajahnya yang cantik serta tubuhnya yang menawan. Tinggi perempuan itu mencapai 173 sentimeter, dengan berat tak lebih dari lima puluh kilogram. Berkulit putih mulus dan rambut cokelat. Ia keturunan Manado- Belanda- Jawa.

Setiap Felisha tampil dalam sebuah peragaan busana, maka sudah pasti Suta tidak keberatan merogoh kocek dalam- dalam untuk mendapatkan kursi paling depan, agar dapat melihat sang kekasih lebih leluasa.

Saat itu, Suta sudah yakin bahwa Felisha lah pelabuhan terakhirnya, hingga kejadian demi kejadian membuatnya terjerumus dalam hubungan toksik.

Ia cenderung menjadi pria pencemburu kalau menyangkut soal wanita itu.

Namun kini, segala sesuatunya yang mengingatkan Suta akan Felisha, membuat pria itu semakin membenci dunianya.

Masih terngiang jelas kata- kata yang dilontarkan kekasihnya itu, manakala mengetahui kondisi Suta yang terbaring dengan satu kaki digips dan kemungkinan ia tak dapat berjalan tegak lagi.

"Aku nggak bisa gini, Suta. Aku... aku... butuh sosok yang kuat supaya bisa menopangku."

"Tapi yang luka cuma kaki kiriku, Fel. Bukan mentalku. Lagi pula, aku masih akan tetap sanggup dan mampu memenuhi semua kebutuhanmu!"

"Tapi sampai kapan, Suta?! Aku nggak punya banyak waktu. Habis ini saja aku mesti flight SG. Ada fashion show Cecily Jung. "

" Jadi semuanya berakhir begini saja? Enam tahun kita bersama hanya untuk berakhir ketika kakiku yang brengsek ini patah dan aku jadi cacat?!"

"Oh, Endrasuta Prabu Wiratsana, kamu jangan terlalu berlebihan. Inilah hidup. Ada yang datang dan pergi. Kamu harus cheers up. Tapi maaf, aku nggak bisa sama- sama kamu lagi. "

Dan dengan begitu, hubungan mereka berakhir. Hubungan yang sudah enam tahun terjalin, bahkan saking lamanya, mereka bukan lagi seperti sepasang kekasih. Melainkan suami istri.

***

Sebenarnya, Laras paling malas kalau harus berurusan dengan Suta. Hari ini mood pria itu luar biasa jeleknya. Tapi mau bagaimana lagi? Laras diterima bekerja di sini untuk jadi sekretaris pria itu. Orang yang paling banyak berinteraksi dengannya.

"Pak, sudah waktunya check up." Suta  memalingkan perhatiannya dari monitor PC. Tatapannya langsung menghunus ke arah Laras yang berdiri kagok di dekat pintu.

Laras selalu membiarkan pintu terbuka jika ia sedang berada di ruangan Suta. "Pak Gun sudah siap, Pak. "

"Hmm..."

"Kamu sudah sortir surat penawaran? Besok tolong telepon bagian fashion buyer. Ada rapat buat bahas mode untuk tiga bulan ke depan."

"Baik, Pak. "

"Sama satu lagi," ujar Suta sebelum Laras sempat pamit lagi. Laras hampir melotot karena kaget. "Besok kamu balik pakai rok saja." Katanya. "Dan nggak perlu keganjenan sama staf di sini!"

Ini maksudnya apa ya?

***






Miss Dandelion Where stories live. Discover now