Dua Puluh Empat

1.6K 256 10
                                    

Keberadaan Ratih di rumah Suta, sedikit banyak memang mengalihkan perhatian Laras. Perempuan kerap menghabiskan waktu lebih banyak dengan sang adik.

Suta sendiri memberikan izin cuti selama beberapa hari untuk Laras, supaya istrinya itu bisa menemani sang adik berkeliling Jakarta. Namun Ratih menolak dengan sopan. Dia tidak datang ke Jakarta untuk mengganggu aktivitas sehari- hari kakaknya.

Lagi pula, Ratih datang bertepatan saat akhir pekan. Jumat malam tepatnya. Jadi, Laras dan dirinya punya Sabtu dan Minggu yang bisa mereka lewati bersama.

"Eh aku sempet ketemu sama Mbak Putri deh, Mbak. Dia nitip kado sama aku. " Ujar Ratih, ketika keduanya pagi itu pergi ke pasar untuk berbelanja.

"Oh, ya?" Laras bersemangat mendengar nama sahabatnya sejak SD itu disebut sang adik. "Gimana, gimana kabar Putri sekarang? Dia pulang ya, ke Wates?"

Ratih mengangguk. Mereka mampir ke kios buah. Sementara Ratih memilih- milih jeruk yang di display dalam keranjang kayu. "Beli jeruk ini ya, Mbak. Tinggi asam folat. Bagus buat bayi. " Kata Ratih. Laras hanya mengangguk.

"Iya. Pulang. Kabarnya sih, Mbak Putri mau dijodohin gitu. Entah sama siapa. Tapi kabar yang beredar sih begitu."

Laras ikut iba mendengarkan berita itu. Sepengetahuannya, Putri sudah menjalin hubungan dengan salah seorang rekan di tempatnya bekerja saat ini. Tapi Putri itu sangat manut pada orangtuanya. Laras jadi tak bisa membayangkan kalau hal itu benar- benar terjadi. Putri pasti sangat dilema saat ini.

Ratih selesai memilih sekantung jeruk. Saat Laras mengeluarkan dompet, adiknya itu menggeleng. "Biar aku yang bayar, Mbak. Sekali- sekali, ya. Mumpung ada rezeki. Meski belum dapat jackpot bisa nikah sama sultan kayak Mbak Laras sih. " Ratih mengulurkan selembar uang pada ibu pemilik kios buah itu. "Mau apa lagi? Pepaya? Semangka? Anggur atau stroberi?"

"Udah. Itu udah ada di kulkas. Mbak Ermin rajin beli kalo yang itu. "

"Sebenarnya aku datang ke sini karena Bapak itu khawatir sama Mbak. Takut kalo gosip yang disebarkan sama Ibunya Mas Satria itu bener. Dan Mbak nutup- nutupin dari keluarga."

Laras hanya mengangguk. "Setelah kupikir- pikir ya, Tih, kekuatiran Bapak sama Ibu itu ya memang wajar. Dulu pernikahan kami memang seadanya kok. Cuma catet di KUA."

"Katanya waktu itu Mas Suta masih pakai kruk ya?"

"Ya gitu. Dia habis kecelakaan mobil di jalan tol."

Dari kios buah, mereka berbelok ke tukang jual tahu tempe. Suasana pasar pagi itu hiruk pikuk. Banyak pengunjung yang mungkin berbelanja mingguan untuk mengisi kulkas. Untungnya, pasar- pasar di Jakarta ini sudah sangat bersih. Modern. "Sebenarnya, aku juga mau cerita," Ratih berkata agak ragu.

Laras dapat menangkap nada kegalauan dari suara adiknya. Tapi ia hanya diam dan menunggu. Ia memandangi Ratih dengan sorot sabar.

Di masa lalu, mereka adalah tim yang solid. Meski tak jarang juga keduanya kerap bertengkar karena hal- hal sepele. Ratih adalah sahabat terbaik bagi Laras. Yang bisa menjadi support systemnya. Menjaga rahasianya. Partner in crime nya.

"Mbak masih ingat sama Mas Haryo?"

"Heem?"

"Itu yang rumahnya dekat sama Mbah Uti. Kemarin dulu, Paklik Wito datang ke rumah. Dia bilang, keluarganya Mas Haryo tertarik buat melamarku."

"Hah?" Laras tidak bisa menutupi kekagetannya. Haryo adalah pria yang lima tahun lebih tua dari Laras. Kalau Laras tak salah ingat, pria itu bekerja di dinas pengairan. ASN yang dulu pernah dijodohkan dengan Mbak Menik, tetangga mereka juga.

Miss Dandelion Where stories live. Discover now