Sepuluh

1.4K 223 17
                                    

"Apa bahkan kamu tahu, siapa ayah dari bayi dalam kandunganmu itu?" Suta bertanya dengan dingin. Membuat bulu- bulu disekujur tubuh Laras meremang seketika. "Mengingat saya sering melihatmu bersama banyak pria." Ujarnya lamat- lamat. Dengan tatapan tajam yang melekat pada wajah Laras.

"Saya nggak heran kalau akhirnya kamu mengalami Hal seperti ini. Hamil di luar nikah mungkin cara tercepat supaya bisa keluar dari belenggu kesulitan hidup. Mungkin saja kamu memang sengaja melakukannya."

Cara Suta mengatakan hal itu seolah-olah melecehkan Laras. Menghina perempuan itu. Dan tentu saja ia berhak tersinggung, walau mulutnya tak membantah kata- kata jahat yang seolah meluncur mulus dari bibir yang sebenarnya amat seksi milik pria itu.

"Kenapa diam saja? Saya benar kan?"

"Saya nggak perlu menjawab pertanyaan Bapak, kan? Saya hamil anak siapa, itu urusan saya. Bukan kewajiban Bapak untuk tahu siapa ayah dari janin yang saya kandung. " Laras mengucapkan pembelaannya sambil menahan emosi. Pria ini memang keterlaluan. Akan tetapi, biar bagaimana pun, dia masih tetap atasan Laras.

"Itu memang hakmu untuk nggak memberitahu saya," Suta mencibir. Setengahnya ia kesal pada dirinya sendiri karena keingintahuan yang tiba- tiba terbit dari dalam dasar hatinya.

Pria itu akhirnya bangkit dari tempat duduknya, sebelum berjalan tertatih ke arah jendela besar yang selalu jadi spot favoritnya.

Pada dasarnya, Suta adalah seorang pengamat. Sejak dulu, ia suka mengamati segala macam hal yang ada di hadapannya. Orang- orang yang berlalu lalang, mobil- mobil yang melintas, bangunan- bangunan yang berjajar, awan- awan yang berarak di langit, atau tetesan air hujan. Juga lampu- lampu jalanan, bintang- bintang, serta ikan- ikan koi serta kura- kura yang ia pelihara di rumahnya.

Lalu, semenjak Laras hadir dalam kehidupannya, entah mengapa pria itu jadi terlalu sering mengamatinya, lebih dari  porsi yang seharusnya.

Ia tidak mungkin tertarik pada perempuan itu. Suta menyukai perempuan cantik yang cerdas, serta mempunyai ambisi. Bukan wanita penurut yang mau melakukan apa saja yang diperintahkan padanya. Ia butuh seseorang yang hidup dan hangat. Bukan sesuatu yang mirip robot karena terlalu patuh padanya.

"Kalau memang nggak ada yang mau dibicarakan lagi, lebih baik saya permisi. Saya harus segera beristirahat. Saya juga bakal mengajukan surat resign saya dalam waktu dekat. "

Suta tetap bergeming di depan jendela. Dengan mata yang menerawang ke arah lalu lintas di bawah sana. Juga gemerlap lampu- lampu kota yang menyemarakkan malam.

Laras pun akhirnya berlalu dari ruangan tersebut. Dengan membawa amarah serta kegelisahan yang masih terus menyelimuti hatinya. Entah sampai kapan.

***

Keesokan harinya, surat resign itu benar- benar ada di meja Suta. Pria itu mengatupkan rahangnya dengan keras karena, rupanya kata- kata perempuan itu bukan ancaman kosong belaka.

Hari itu, juga hari- hari berikutnya, Suta mencoba untuk tidak memikirkannya. Ketika Linda bertanya, Suta hanya mengatakan bahwa Laras sedang pulang ke Jogja. Karena memang tidak ada yang mengetahui perihal surat pengunduran diri perempuan itu.

Laras juga menjelaskan bahwa dirinya bersedia membayar denda atas pembatalan kontrak yang kemungkinan akan menguras habis tabungannya.

Lama Suta memikirkan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Mengapa belakangan ini dia begitu merisaukan ketidakhadiran Laras.

"Pak, permisi. Ada Bu Rosmala." Linda terpaksa meminjamkan Fitri untuk menjadi sekretaris sementaranya. "Mau ditemui di bawah atau..."

"Bawa masuk ke sini, Fit. Dan bilang sama Bu Dartik, bikin teh buat ibu saya. Jangan dikasih gula." Fitri mengangguk, kemudian permisi.

Miss Dandelion حيث تعيش القصص. اكتشف الآن