Sebelas

1.4K 216 14
                                    

Hal yang membuat Suta akhirnya sangat geram adalah ketika ia melihat video pertunangan antara Felisha dengan Garda. Acara itu diselenggarakan dengan meriah di sebuah hotel berbintang lima kawasan Jakarta Selatan.

Suta merasa geram. Ia seperti sedang dikhianati, padahal hubungannya dengan Felisha memang sudah berakhir tiga bulan yang lalu. Namun, masih ada rasa tak terima yang mengganjal di dada.

Randi dan Kennan berusaha menghubunginya, namun Suta mengabaikan panggilan telepon dari kedua sahabatnya itu. Emosi Suta meledak- ledak tak terkendali. Semua staff yang bekerja di kantornya pun memilih untuk menjauhi ruangannya. Takut terkena imbasnya.

Gosip tentu saja beredar secepat api yang menjalar di hutan pada musim kemarau yang kering. Semuanya heboh. Bahkan di bagian admin, Cynthia tak henti- hentinya berdecak dan mengecam Felisha karena telah membuat bosnya sakit hati.

"Ini si jalang emang nggak tahu diri!" umpatnya sambil menatap layar gawai yang menampilkan video pertunangan antara model cantik itu dengan salah satu anggota keluarga Senoadji.

"Gue yakin sih, mbak kalau dulunya itu mereka selingkuh. Secara si Garda ini kan sahabat si bos!"

"Emang sekarang ini zamannya suka nikung temen sendiri, sih."

"Tapi ceweknya juga doyan!"

"Itu mah bukan doyan lagi, tapi udah keganjenan!"

"Udah deh, kerja, kerja!" Linda menengahi. "Kalau bos lewat dan denger, kan jadinya nggak enak!"

"Ya sih," kali ini Fitri yang menimpali dengan wajah manyun. Karena sejak Laras tidak masuk kerja, gadis itulah yang banyak berinteraksi dengan Suta. Dan tabiat pria itu sedang sulit sekali untuk dituruti. "Gue sampai pengin jedotin kepala ke tembok. Saking frustrasinya gue karena si bos itu tatapannya jadi tajam banget. Mana apa- apa yang gue kerjain salah mulu, salah mulu!" gerutunya.

"Lagian, kok Laras lama amat sih, balik kampungnya? Bete deh, kalau dimarah- marahin terus!"

Dan Suta bukannya tak tahu kalau dirinya sedang dijadikan bahan gunjingan oleh para staffnya. Hanya saja ia tak mempedulikan hal itu sama sekali. Ia memang merasa sakit hati, tapi penyebab sakit hati itu bahkan tidak menoleh padanya sama sekali.

***

Tentu saja Laras sangat kaget ketika mendapati ternyata bukan Dito yang menyambangi tempat kosnya, melainkan Suta.

Bosnya itu berdiri menggunakan kruk di ruang tamu rumah Bu Roro. Di atas meja, ada sebotol air mineral yang menampakkan kondensasi, pertanda baru ke luar dari kulkas.

Suta masih mengenakan kemeja warna burgundy dan celana bahan warna hitam. Dan sialnya, Laras masih mengenakan daster yang cuma dilapisi kardigan tipis. "Pak Suta?"

Serta merta, lelaki itu menoleh dan tertegun. Melihat penampilan Laras yang hanya berdaster. Daster itu memang terlihat seperti daster pada umumnya . Tapi efeknya bagi Suta tidak sesederhana kelihatannya.

Pria itu kemudian berdeham. "Kamu serius mau resign?"

"Seingat saya, surat pengunduran diri itu sudah saya kirim ke kantor." Gumam Laras. Dia merasa seperti berada di antara alam  sadar dan alam mimpi, karena melihat pria yang kemarin mencaci makinya kini sedang berdiri canggung di ruang tamu induk semangnya. "Bapak nggak mau duduk?"

Suta akhirnya menurut, dan duduk di ujung sofa tiga dudukan di seberang Laras. "Kalau saya menawarkan solusi supaya kamu tetap bisa kerja, apa kamu mau?"

"Tergantung solusi apa yang mau Bapak tawarkan," Laras menyahut cepat.

"Kamu pasti butuh seorang lelaki yang harus dijadikan tumbal. Mari kita sebut ayah pengganti untuk bayimu,"

Laras menghela napas tajam. Dia tahu, pikiran mantan atasannya ini memang tak pernah beres. Laras tahu, ada sesuatu yang salah. "Saya bisa memberikan solusi untuk itu."

Laras menatapnya datar.

"Kamu pasti nggak mau kalau keluargamu di kampung tahu, bahwa kamu hamil di luar nikah dan pastinya akan bikin mereka malu. Sedih. Kecewa."

Laras masih mendengarkan, meski yang sedang berputar dalam otaknya adalah bagaimana caranya supaya ia dapat menendang pria itu ke luar dari ruangan ini tanpa menimbulkan huru- hara.

"Saya bisa menjadi solusi itu. "

"Saya sungguh nggak ngerti apa maksud Pak Suta mengatakan hal nggak masuk akal itu."

"Sudah jelas, saya menawarkan solusi?"

"Bapak mau menikahi wanita seperti saya? Yang kata Bapak kemarin tidak keberatan untuk tidur dengan seorang pria demi meningkatkan status sosial?"

"Saya tidak pernah bilang begitu,"

"Tapi kata makian Bapak kemarin maknanya sama. Dan sekarang, Bapak datang dan mengatakan menawarkan solusi yang mungkin hanya menguntungkan Bapak sendiri. "

"Bukan saya yang diuntungkan dalam hal ini. Justru saya yang dirugikan karena harus menikahi wanita hamil. Dan yang ada dalam kandunganmu itu juga bukan anak saya. Kamu harusnya bersyukur!"

"Percaya sama saya, Pak. Lebih baik saya tidak usah menikah. Lebih baik saya digantung terbalik di pohon asem sama orangtua saya, ketimbang saya menerima tawaran dari Bapak yang bermaksud merendahkan saya sejak tadi!" Laras lantas bangkit dari tempat duduknya.

Biasanya, ia adalah orang yang sabar menghadapi orang menjengkelkan macam mantan bosnya ini. Hanya saja, kehamilan ini membuat kesabarannya bisa menipis sewaktu- waktu. Lebih- lebih, sisa perasaan mangkel akibat penghinaan Suta tempo hari masih bercokol di dadanya. Jadilah ia muntab dan meluapkan emosinya yang sejak tadi sudah berkobar- kobar, mendengar perkataan Suta yang memerahkan telinga.

Dasar pria arogan!

"Saya rasa ini semua sudah selesai, Pak. Kalau Bapak masih mau bertamu silakan saja, tapi saya mau masuk. Saya nggak akan mau meladeni pembicaraan ngelantur bapak!"

***

Laras masuk ke dalam kamar kosnya sambil masih menyimpan dendam dan amarah dalam dada. Perempuan itu memang sedang berada dalam kesulitan, akan tetapi, bukan berarti dia mau- mau saja menerima atau pun menjalani solusi absurd yang pertama muncul.

Meski terdesak, Laras ogah melakukan segala hal demi menupi kehamilannya. Demi menyelesaikan masalahnya.

Lagi pula, ia tak terlalu mengenal sosok Suta. Laras baru dua minggu bekerja di Ranjana, dan pria itu sudah punya pandangan bahwa Laras adalah tipe perempuan yang mau melakukan apa saja demi status sosial.

Kalau pun mau menikah, Laras tidak akan memilih Suta sebagai ayah bayinya.

Laras kemudian membuka ponsel dan menghubungi Putri. Kemudian menceritakan tentang kedatangan Suta ke kosnya untuk menawarkan solusi pada Laras berupa pernikahan.

"Kamu nolak, Ras?"

"Aku lebih suka digantung terbalik di pohon asem depan rumahku itu, Put. Ketimbang harus menikah sama dia. Mulutnya itu bener- bener bikin emosi. " Laras terengah- engah karena amarah yang masih berkobar dalam dadanya.

"Tapi itu memang bisa jadi solusi tercepat buat kamu, Ras."

"Aku ogah kalau harus dimaki- maki terus sama dia, Put. Mulutnya tuh nggak tahu adat. Ngomong nggak ada saringan sama sekali. Lagian aneh banget, kenapa dia sampai datang ke kosanku cuma mau nawarin itu. Misalkan saja dia mau nikah, di kantor banyak kok cewek yang kejar- kejar dia. Kemungkinan, mereka itu pasti mau- mau aja diajakin nikah!"

****








Miss Dandelion Where stories live. Discover now